Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ayat-ayat Sederhana tentang Kepenulisan

30 Juni 2016   12:40 Diperbarui: 30 Juni 2016   12:53 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock

Ayat Ketiga: Terus Membaca, Terus!

Menulis adalah proses pembelajaran seumur hidup, harus terus kita lakukan sepanjang hayat. Tak boleh terhenti, tak boleh selesai. Sebuah tulisan sudah kita pajang di blog, misalnya, jangan sampai membuat kita terlena dan berpuas diri. Apalagi mengira bahwa tulisan itu adalah puncak atau akhir capaian—lantaran pujian dan makian yang memenuhi kotak komentar. Malah, seyogianya, cacian dan pujian itu kita jadikan bara baru untuk memantik agar kita terus menulis.

Salah satu cara mengasah kemampuan menulis, ya, dengan membaca. Mustahil bisa melahirkan tulisan yang baik—dan terus membaik—tanpa disertai pembiasaan membaca. Begitu pendapat Arman Dhani.[9] Esais yang kerap saya gelari “ulama buku” ini menjaring ide buat bahan tulisannya berdasarkan fenomena menarik yang terjadi di sekitarnya, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Jarang sekali ia bertopang dagu atau mengetuk-ngetuk dahi demi pencarian ilham. Baginya, fenomena apa saja bisa jadi bahan tulisan. Kadang fenomena itu sesuatu yang amat serius, sesekali malah terlihat sepele atau senda gurau belaka. Kemudian, ia melahap dua hingga tiga buku atau artikel guna merampungkan sebuah esai. Membaca, bagi Arman, bukan lagi sekadar aktivitas iseng buat mengisi waktu luang. Baginya, membaca adalah kebutuhan jiwa: memenuhi bagasi kepala, memperkaya diksi, mengasah gaya bahasa, dan lain-lain.

Bernard Batubara, prosais muda yang memulai karier kepenulisan lewat puisi, juga mengimani hal yang sama. Waktu itu, lewat akun twitter-nya, ia sedang menekuri karya-karya sastra para peraih Nobel. Bagi Bernard, peristiwa membaca adalah ibadah intelektual agar terhindar dari persoalan serius berkenaan dengan tata bahasa, ejaan, kosa kata, dan lain-lain.

Jadi, mulailah membaca. Tak peduli apa pun tujuan awal petualangan membaca itu, lakukan saja. Bila ingin tulisan bergizi, membacalah. Baca apa saja!

Ayat Keempat: Menulis Itu Tak Mengenal Ruang dan Waktu

Bagi anak-anak muda di seantero dunia, nama J.K. Rowling tentulah tak asing lagi. Penulis yang melahirkan cerita fantasi Harry Potterini punya kebiasaan menulis secara rutin setiap hari. Kadang selama tiga jam, kadang lebih sepuluh jam. Pengakuan J.K. Rowling ini dimuat dalam buku karya Marc Shapiro, J.K. Rowling: The Wizard Behind Harry Potter (Hernowo: 2003, 117).[10] Menurut J.K. Rowling, menulis itu bisa kapan saja, di mana saja, dan kadang dilakukan dengan tulisan tangan.   

Barangkali ingatan kita masih menyimpan dengan kuat sekalimat pepatah “ala bisa karena biasa”. Dalam hal menulis, pembiasaan adalah sebuah keniscayaan. Makin sering berlatih, makin terampillah kita. Teknologi juga semakin memudahkan kita dalam menulis. Saat ini, kita tak perlu menulis di atas selembar daun lontar. Tak perlu pula sabak atau batu tulis lantaran sekarang tersedia banyak sabak elektronik (gadget). Menulis pun tak harus di kertas konvensional, kita bisa memanfaatkan blog atau media “dalam jaringan”(online) lainnya. Ketika ada huruf atau kata atau kalimat yang salah, kita tinggal menekan tombol backspaceatau deletedi papan tombol komputer.

Ayat Kelima: Menulis Itu Seni, Harus Berasal dari Hati

Belajar menulis itu tak perlu buru-buru. Harus telaten, sabar, dan tekun. Ketelatenan, kesabaran dan ketekunan itulah yang penting dimiliki oleh para penulis. Tatkala ide yang ditunggu tak kunjung muncul, tekun dan sabarlah mencarinya. Manakala hati sedang tak “nyaman” buat menulis, carilah penghiburan yang tepat agar perasaan nyaman itu datang dan tak pergi-pergi lagi. Sekali lagi, tak perlu buru-buru. Lihatlah bayi yang tak langsung melompat: mereka belajar merangkak dulu, berdiri, lalu berjalan. Setelah mahir, barulah mereka berlompatan atau berlarian. Hal sama berlaku dalam proses kreatif kepenulisan. Butuh proses, butuh tahapan. Ibarat pepatah kuno Inggris yang menyatakan, “Learn to walk before you run.” 

Ketika satu tulisan rampung, endapkan dulu. Tak perlu buru-buru memajangnya atau memamerkannya demi memuaskan hasrat keterbacaan. Baca lagi, sunting lagi, dan baca lagi. Perindah tulisanmu dengan sentuhan rasa. Gunakan emosi, libatkan hati. Segala yang berasal dari hati lesapnya ke hati juga. Terus berlatih, terus menulis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun