Ia yang telah merasakan kesedihan terdalam akan mampu merasakan kebahagiaan tertinggi. —Alexandre Dumas
[1]
Aku tak pernah bertemu dengannya, tetapi aku jatuh cinta kepadanya. Ganjil rasanya jatuh cinta kepada seseorang tanpa diawali sebuah perjumpaan. Namun, begitulah kenyataannya. Baiklah, akan kututurkan kepadamu bagaimana bisa aku jatuh cinta kepadanya.
Sebermula dari perjumpaan tak disengaja, pamanku gara-garanya. Saat itu, aku duduk di kelas II di SD Inpres Nomor 243 Bumbungloe, sebuah sekolah berdinding gamacca—dari anyaman bilah-bilah bambu—dan berlantai tanah. Sekolah itu masih baru, usianya masih sangat muda. Mungkin itu sebabnya sekolah masa kanakku itu gampang masuk angin: bocor dan berlumpur di musim hujan, berdebu dan panas pada musim kemarau.
Ah, maaf, aku malah mengisahkan sekolah gamacca-ku. Baik, kita kembali pada pamanku. Syaripuddin namanya, seorang Kepala SD. Ia sepupu ayahku yang sangat peduli pada kegilaan dan kerakusanku membaca. Dulu, saat peristiwa perkenalanku dengan yang kucintai tanpa pertemuan itu, kucatat tanggal kejadiannya. Sayang, catatan harian itu sudah dijual oleh ibuku, bersama kertas-kertas dan buku-buku simpananku yang berkardus-kardus, ketika aku merantau ke Jakarta. Tidak, aku tak menyalahkan ibuku yang telah memicu lupanya aku pada tanggal penting yang menyejarahkan perjumpaanku dengan yang kucintai tanpa pertemuanitu.
Yang tersisa dalam ingatan, aku dipanggil paman sepulang sekolah sebelum tubuh letihku sejenak tergolek di dipan kayu di rumahku. Ia lambaikan tangan dengan teriakan menggelegar. Aku terjelengar. Dari caranya berteriak, sepertinya ada kelakuanku yang tak berkenan di hatinya. Tapi, sudahlah, aku beranikan diri saja. Tak dinyana, paman malah mempertemukan aku dengan sejumlah buku yang berserak di lantai papan.
"Kamu boleh baca buku-buku ini," seru Paman dengan mata berbinar.
Tampaknya, ia sedang tidak bergurau. Meski memang sulit membedakan kapan ia serius dan kapan ia bercanda. Aku tak peduli. Kegembiraan terbesar bagiku adalah dihadiahi buku-buku. Saking gembiranya, aku bahkan lupa berterima kasih. Pamanku protes, beberapa jam setelahnya, selepas salat Magrib di langgar di depan rumahku. Mukaku memerah, lalu berkata, "Terima kasih, Om."
Begitulah. Dari sana perjumpaan tak disengaja terjadi. Dari sana pula aku jatuh cinta kepadanya.
[2]
Aku nyaris melupakan perjumpaan dengan yang kucintai tanpa pertemuan itu, hingga Reno Azwir berkabar tentang sebuah buku yang wajib kubaca. The Count of Monte Cristo judulnya. Sudah lama aku tahu perkara buku itu, malah punya versi PDF—yang kemudian raib bersama laptop di sebuah angkot dalam perjalanan pulang ke rumah—tapi tak pernah kubaca lantaran tak mengerti bahasa Prancis. Yang pasti, karena Reno, aku teringat lagi pada yang kucintai tanpa pertemuan. Alhasil, aku punya The Count of Monte Cristo yang dihibahkan oleh Noura Books sebagai bahan baca, sebelum menganggit novel Sepatu Dahlan. Artinya, aku bertemu lagi dengan yang kucintai tanpa pertemuan. Bila dulu lewat perantara Nur Sutan Iskandar—yang menerjemahkan Les Trois Mousquetaires menjadi Tiga Panglima Perang, sekarang melalui Nin Bakdi Soemanto—yang menerjemahkan The Count of Monte Cristo dengan judul yang sama.
Jika pada Tiga Panglima Perang, lelaki yang kucintai tanpa pertemuan itu berkisah tentang perseteruan antara D'Artagnan dan Athos, Porthos, dan Aramis (kelak menjadi sahabat-sahabatnya), maka dalam The Count of Monte Cristo lelaki kelahiran 24 Juli itu menuturkan kelabu nasib Dantes yang dikadali oleh sahabat-sahabatnya—Danglars, Fernand, dan Villefort—yang kemudian menjadi musuh-musuhnya. Ya, anak seorang jenderal yang terpuruk setelah ayahnya meninggal itu menyandingkan kemalangan dan keburuntungan dengan piawai, menikahkan cinta dan pengkhianatan dengan dingin, serta meramu kejutan-kejutan dan alur tak tertebak yang berpotensi menempelak pembaca.
Itu sebabnya aku jatuh cinta kepadanya.
[3]
Tentu kamu sudah tahu siapa lelaki yang kucintai tanpa pertemuan itu. Ya, Alexander Dumas namanya. Meski tidak menempuh pendidikan formal, ia manfaatkan setiap peluang saat bekerja bagi Duke Orleans untuk membaca apa saja. Sekali lagi, apa saja! Lantas manakala Duke Orleans menjadi Raja Louis Philipe, ia sudah bisa menulis naskah drama yang menuntun takdir kepengarangannya menjadi pengarang novel yang andal.
Saking cintanya aku kepada lelaki yang jatuh bangkrut pada usia tuanya itu, aku selalu menyarankan siapa pun untuk membaca Tiga Panglima Perang dan The Count of Monte Cristo. Sesekali ada yang bertanya soal tak mungkin lagi Tiga Panglima Perang ditemukan di pasar buku, lantaran novel terjemahan Nur Sutan Iskandar itu diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1922. Mudah saja, ada Trio Musketri yang diterbitkan Serambi pada Januari 2010. Malanglah nasib kutu buku yang belum membaca kedua novel itu. Terjemahannya pun tak apa, kan?
Namun, buah dari penganjuran itu sungguh tak enak. Sudah delapan kali kubeli The Count Monte Cristo, tujuh kali dipinjam karib atau kerabat dan tak balik-balik lagi. Hanya saja, namanya juga cinta, tak berhenti pada berapa kali beli itu. Begitulah. Aku mencintai Alexandre Dumas: meski tak bernah bertatap muka; meski aku tahu ia punya banyak istri; meski aku sadar ia telah tiada. [kp]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H