Saya pembaca yang rakus. Apa saja saya baca. Dari novel-novel percintaan hingga cerita-cerita stensilan; dari buku yang utuh hingga sobekan koran pembungkus jajanan. Selama kertas itu berisi tulisan, mata saya akan melahapnya dengan rakus. Itu terjadi sejak saya masih kanak. Tumbuh di tengah keluarga pendidik merupakan karunia besar bagi saya, karena ketersediaan asupan bacaan yang memanjakan kerakusan itu.
Saya lahir pada zaman buku-buku bacaan Inpres disalurkan hingga pelosok, bahkan ke kampung saya—Borongtammatea—yang dulu takkan kalian temukan di peta sekeren apa pun. Keberuntungan saya semakin bertambah karena dua paman saya, Syarifuddin Punda dan Muhammad Bachar, adalah pendidik yang kemudian menjadi Kepala SD. Dari merekalah saya temukan buku-buku bacaan Inpres itu.
Sungguh, saya merasa beruntung menjadi bagian dari “generasi buku-buku bacaan Inpres”. Betapa tidak, buku-buku itu mengantar saya bertualang ke suku Apache atau menjelajah dunia masa lalu tatkala Datu Museng dan Maipa Deapati sedang dimabuk cinta. Beruntung karena buku-buku itu dibiayai oleh negara dan disebar hingga tiba di pangkuan saya, sesuatu yang tidak akan kalian temukan sekarang. Alih-alih murah, buku-buku malah amat mahal. Dulu? Menemukan buku bacaan tidak sesukar sekarang. Asal getol membaca, pasti ada bacaan. Tak ayal, membaca di punggung kerbau atau di bawah pohon lontar adalah pemandangan yang lumrah ketika saya masih kanak.
Tetapi, itu dulu. Sekarang tingkat kerakusan saya menurun drastis. Mungkin karena usia yang menuju tua, mungkin karena mata yang minusnya setengah lagi akan mencapai dua digit. Tunggu dulu. Itu baru kemungkinan. Musabab lain yang jadi muasal penurunan daya baca saya karena saya mulai memilah-milah bacaan. Setiap yang saya baca pasti akan saya selisik mulai dari alinea atau bab pembuka. Jika dua alinea awal sebuah cerpen gagal membetot mata saya, cerpen itu pasti saya tinggalkan. Bila dua bab awal novel yang dimamah mata saya kurang memikat, novel itu pasti segera saya kembalikan ke rak buku sambil menandainya dengan kalimat “akan saya baca bila tak ada lagi bacaan lain”. Membaca esei atau tulisan nonfiksi pun begitu. Apakah saya jahat? Tidak. Itu bagian dari hak saya selaku pembaca.
Pengalaman membaca itulah yang menjadi latar batin saya dalam mengarang. Terus terang, saya selalu kesulitan mengarang bagian awal tulisan. Sepatu Dahlan, misalnya. Meskipun novel setebal 370 halaman itu rampung hanya dalam delapan hari, menulis bagian prolog dan epilog menyita tiga hari. Dengan demikian, 32 bab lainnya hanya butuh lima hari. Arajang, sebuah cerpen dalam Gadis Pakarena, saya anggit selama dua hari. Hanya saja, dua alinea awal dan dua alinea akhir dalam cerpen itu “meminta jatah” sehari penuh. Hal sama juga berlaku pada Natisha. Tiga bab pada bantaran awal saya karang nyaris tiga minggu. Bahkan, dua bab penutup pada bantaran akhir masih terus diperbaiki hingga naskah novel itu tiba di meja penyunting.
Pengalaman membaca pula yang memantik keyakinan di batin saya bahwa karya fiksi tidak semata suguhan hiburan yang disajikan lewat barisan kalimat, tapi sekaligus “anak ruhani” yang, sejatinya, menyuguhkan “sesuatu” bagi khalayak pembaca. Itu pula sebabnya saya sangat berhati-hati, ditambah kecemasan akan menyuguhkan bacaan yang bisa bikin jenuh dan jemu, tatkala menganggit bab-bab awal Natisha. Suguhan kabar ihwal abbatte (tarung beladiri Turatea), patonrok (ikat kepala segitiga khas Makassar), dan silariang (kawin lari) sangat mungkin menyulitkan pembaca yang asing dan buta pada tradisi masyarakat Sulawesi Selatan. Butuh kejelian, ketelatenan, dan ketepatan meracik kata agar suguhan kabar itu bermakna.
Meski begitu, saya bahagia karena akhirnya Natisha rampung lengkap dengan pernak-pernik budaya, sejarah Turatea, dan tetek-bengek lain yang pasti bakal menyita waktu pembaca. Hanya saja, maafkan saya. Tolong jangan bertanya “bagaimana meracik kata agar tulisan renyah dibaca”, karena saya tidak mahir menuturkannya. Kalaupun saya jawab, pasti sebisa-bisa saya atau dengan jawaban seadanya. Sederhananya begini. Jika “kerakusan membaca semasa kanak” diibaratkan menanam bibit, keterampilan meracik kata adalah kerja-nikmat memanen buah dari bibit yang telah ditanam itu. Adapun kemahiran, bagi saya, adalah hasil dari keterbiasaan saja. Hanya itu. Jadi tidak ada resep rahasia. Makin sering menulis alamat mahir makin dekat untuk digapai. Sebaliknya, kemalasan akan membuat kecerdasan gramatikal kita lambat-laun makin tumpul.
Yang memberati pikiran saya sekarang adalah: Apakah kalimat atau bab pembuka tulisan saya sudah mampu menarik minat pembaca? Belum tentu. Lihat saja pembuka tuisan ini. Saya tidak mungkin memastikan pembaca akan menyukai pembukaan tulisan ini, apalagi penutupnya. Yang bisa menjawab pertanyaan itu jelas-jelas khalayak pembaca.
Walaupun kepala saya pening tiap memikirkan hal itu, saya tidak akan menceburkan diri ke dalam kawah permenungan berlarut-larut. Tugas saya adalah lebih gigih mengasah diri, membangkitkan ingatan keriangan membaca di masa kecil, terus-menerus menulis, dan usaha tak henti-henti mengayakan batin dengan bacaan-bacaan bernas. Hanya itu yang bisa saya lakukan untuk menulis bagian-bagian yang sangat menyiksa: bagian awal dan akhir tulisan.
Selebihnya, biarlah mengalir laksana air. [kp]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H