Mohon tunggu...
Alifah Najla Azzahrah
Alifah Najla Azzahrah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang perempuan yang hobi rebahan sambil menuangkan ide-ide kreatif melalui tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tiga Rona dalam Satu Warna

11 September 2024   12:07 Diperbarui: 11 September 2024   12:14 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tiga Rona dalam Satu Warna

Di sebuah kota kecil yang damai, terdapat tiga sahabat yang telah bersama sejak mereka masih kanak-kanak. Ara, Lia, dan Ica. Tiga nama yang tidak bisa dipisahkan dalam ingatan penduduk kota itu. Mereka seperti tiga warna yang saling melengkapi dalam satu palet, saling mengisi dan memperkaya satu sama lain.

Ara adalah sosok yang lembut dan penuh perhatian. Selalu ada senyum di wajahnya dan dia memiliki bakat luar biasa dalam melukis. Lia, di sisi lain, adalah penghibur dengan semangat yang tak pernah padam. Dia memiliki suara yang merdu dan sering menjadi pusat perhatian dengan nyanyiannya. Dan Ica, yang merupakan teman mereka sejak awal, adalah sosok yang ambisius dan kadang keras kepala. Meskipun sering kali tampak egois, dia juga memiliki keberanian dan tekad yang membuatnya bersinar di antara mereka.

Mereka bertiga sering menghabiskan waktu bersama di taman kota, tempat mereka berbagi cerita, tertawa, dan merencanakan masa depan. Suatu hari, saat musim semi menyapa dengan lembut, mereka memutuskan untuk membuat sebuah karya bersama sebagai simbol persahabatan mereka. Sebuah mural besar di dinding taman. Mural itu akan menggambarkan ketiganya dalam berbagai pose, menari di bawah langit biru, melukis keindahan di kanvas hidup mereka.

Selama berminggu-minggu, mereka bekerja keras, menggabungkan warna, dan menciptakan sesuatu yang luar biasa. Proses ini semakin memperkuat ikatan mereka, dan saat mural itu akhirnya selesai, itu adalah karya seni yang indah. Sebuah perayaan dari persahabatan dan kreativitas mereka.

Namun, di balik keindahan itu, ada hal yang menyedihkan yang terjadi. Ica didiagnosis dengan penyakit yang tidak hanya mengancam fisiknya, tapi juga membuat banyak orang di sekitar mereka takut. Beberapa teman bahkan keluarganya mulai menjauh, khawatir akan terpapar atau tertular meskipun itu sebenarnya tidak mungkin. Namun, Ara dan Lia tidak pernah goyah. Mereka menemani Ica setiap hari, menguatkan hatinya, membawa buku, makanan, dan sesekali menghiburnya dengan cerita lucu meski hati mereka sendiri sering terasa berat melihat keadaan.

"Ica nggak sendiri, kamu tahu itu kan?" Ara pernah berkata pada Ica, saat gadis itu menangis dalam diam.

"Iya, tapi aku takut..." jawab Ica dengan suara gemetar.

"Kita ada di sini, Ca," Lia menimpali. "Apapun yang terjadi, kita nggak akan ninggalin kamu."

Waktu berjalan lambat, tetapi akhirnya kabar baik datang. Setelah berbulan-bulan menjalani perawatan dan terapi, Ica perlahan pulih. Berita itu membawa harapan dan kebahagiaan tak terlukiskan bagi mereka bertiga. Ara dan Lia merasa seolah berhasil memenangkan perang besar bersama sahabat mereka.

Namun, setelah kesembuhannya, perlahan tapi pasti, Ica mulai menjauh. Pada awalnya, Ara dan Lia mengira itu hanya karena Ica sibuk menata hidupnya kembali setelah sakit. Ica juga mendapat pekerjaan baru di perusahaan besar yang tampaknya menuntut banyak waktu dan energi. Namun semakin lama, semakin sulit untuk menemui Ica. Setiap kali Ara dan Lia mengajaknya bertemu, selalu saja ada alasan: rapat mendadak, lembur, atau sekadar merasa terlalu lelah untuk bertemu.

Sore itu, Ara memutuskan untuk mengirim pesan panjang pada Ica. Ia berharap, mungkin dengan kata-kata, Ica bisa mengerti betapa mereka merindukan kehadiran sahabat lama mereka. Ia mengetik dengan cepat:

Ca, kita kangen banget sama kamu. Aku ngerti kamu sibuk, tapi rasanya udah lama banget kita nggak ketemu. Kita mau cerita, mau dengerin cerita kamu juga. Apa masih ada waktu buat kita?

Ara menunggu, berharap ada balasan cepat. Tapi sejam berlalu, jarum jam terus berputar. Ica tak kunjung juga membalas pesan Ara.

Ara dan Lia merasa terabaikan. Mereka telah berusaha memahami Ica, tetapi setiap kali mereka berbicara, Ica tampaknya terlalu sibuk dengan agenda pribadinya sekarang.

Hari-hari berlalu, dan Ica semakin sering tidak hadir dalam pertemuan mereka. Dia mulai memprioritaskan pekerjaan dan teman-teman baru yang dia anggap lebih penting daripada kebersamaan mereka. Mural yang mereka buat bersama tampaknya semakin pudar dalam ingatan Ica, yang telah terjebak dalam dunia barunya.

Satu malam, setelah perayaan ulang tahun Lia, Ica datang dengan berita yang mengejutkan. Dia memberitahukan Ara dan Lia bahwa dia telah menerima tawaran pekerjaan di kota lain, yang memerlukan dia untuk pindah. Ica menunggu sambutan mereka, tetapi yang dia terima hanyalah kesedihan dan ketidakpahaman di mata sahabat-sahabatnya.

"Kenapa kamu tidak memberitahu kami lebih awal?" tanya Ara, suaranya bergetar.

"Aku tidak ingin membebani kalian dengan keputusan ini," jawab Ica. "Ini adalah kesempatan besar untukku."

Lia mencoba menenangkan Ara yang mulai menangis. "Kami hanya merasa kamu terlalu cepat meninggalkan kami. Kami telah berbagi begitu banyak bersama."

Ica tampak bingung dan terkejut oleh reaksi mereka. "Kalian tidak mengerti, ini adalah impianku!"

Malam itu, mereka bertiga duduk dalam keheningan yang berat. Meskipun mereka mencoba untuk berbicara, kata-kata mereka terasa hampa. Hubungan yang sebelumnya penuh warna kini terasa penuh dengan kesedihan.

Akhirnya, hari keberangkatan Ica tiba. Dia pergi tanpa banyak perpisahan formal. Ara dan Lia berdiri di depan mural mereka, yang kini terasa seperti kenangan dari masa lalu. Mereka memandangi karya yang mereka buat bersama, sebuah simbol dari persahabatan yang telah berubah.

Setelah Ica pergi, Ara dan Lia berusaha untuk melanjutkan hidup mereka. Mural mereka tetap ada di dinding taman, tetapi itu tidak lagi hanya mewakili kenangan indah. Kini, itu juga mengingatkan mereka akan kehilangan yang mendalam.

Ara kembali fokus pada lukisannya dan menemukan kenyamanan dalam seni. Lia, yang memutuskan untuk fokus pada karier musiknya, juga berusaha untuk menemukan kebahagiaan dalam pencapaian pribadi. Mereka masih sering mengunjungi taman, memandang mural mereka, dan mengenang saat-saat yang lebih bahagia.

Suatu hari, ketika mereka sedang duduk di bawah pohon besar di taman, Lia berkata, "Kadang aku berharap kita bisa kembali ke masa lalu, sebelum semua ini terjadi."

Ara mengangguk. "Tapi aku juga tahu, kita tidak bisa mengubah masa lalu. Kita hanya bisa melanjutkan hidup dan menghargai kenangan yang telah kita buat."

Keduanya sepakat bahwa meskipun persahabatan mereka telah berubah, mereka akan selalu menghargai waktu yang telah mereka habiskan bersama. Mural di dinding taman tetap menjadi bagian dari kisah mereka, dan meskipun itu adalah simbol dari persahabatan yang hilang, itu juga menjadi pengingat dari betapa indahnya masa lalu mereka.

Seiring berjalannya waktu, mereka belajar untuk merelakan dan melanjutkan hidup. Mereka tahu bahwa persahabatan, seperti warna dalam sebuah lukisan, kadang bisa memudar, tetapi kenangan yang tersisa akan selalu menjadi bagian dari diri mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun