Kami bawa 2 botol itu ke P. Embuiru yang sedang menonton TV. P. Embuiru menuangkan bier itu ke satu sloki untuk saya. Saya minum 1 sloki bier malam itu lalu pergi ke kamar. Sungguh, 1 sloki bier bintang dari tangan P. Embuiru sendiri adalah kenangan terakhir bersama beliau yang tak terlupakan. P. Embuiru adalah cendikiawan besar NTT yang sederhana dan rendah hati. Semasa hidup, ia tampak ramah dan mudah bergaul. Uang untuk minum bier itu berasal dari gajinya sebagai pensiunan perwira militer berpangkat Letkol.
Di tahun 2001 itu juga, hanya berselang beberapa bulan kemudian, P. Embuiru terkena serangan jantung. Sayang sekali, beliau mangkat dan jenazahnya disemayamkan di aula Seminari Tinggi Ledalero. Saya berlutut dengan khusuk tidak jauh dari peti jenazahnya sambil berdoa kepada Tuhan mohon peristirahatan kekal di surga bagi jiwanya. Ini adalah salah satu kenangan yang tak terlupakan, tentang seorang pemikir besar dari NTT yang berjasa amat luar biasa di bidang-bidang, seperti: pendidikan, kemasyarakatan, lingkungan hidup dan kemanusiaan.
Sekarang, melalui internet, saya hanya bisa membaca riwayat hidup alm. P. Embuiru dari tulisan alm. P. John Prior, SVD, rekan kerja alm. P. Embuiru yang juga kini sudah mangkat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H