Bulan Oktober adalah bulan musim gugur yang kesasar di Belu dan Malaka. Daun-daun dan rerumputan  yang mengering tidak lama lagi habis dihantam si jago merah yang dibuang oleh orang-orang iseng. Apipun melalap rumput dan semak yang kering.Â
Ekosistem dan habitat hewan-hewan telah lama hancur di Timor, khususnya Belu dan Malaka. Belu dan Malaka adalah daerah-daerah miskin untuk para satwa langka. Bukan hanya karena habis diburu, tetapi alamnya membakar mati satwa-satwanya sendiri.
Ayah saya berasal dari Kec. Mapitara, Sikka yang mengabdi di daerah Belu-Malaka yang susah sejak tahun 1952 hingga beliau berpulang pada tahun 2002 yang lalu. Wilayah Mapitara di Sikka- Flores adalah pusat budaya Krowe dan daerah yang subur dan kaya dengan hasil-hasil ladang. Jika membicarakan daerah NTT yang kering-gersang, Mapitara di Flores adalah kekecualiannya, karena sangat subur.Â
Saya lahir dan mengabdi di Belu sebagai guru sejak tahun 2002. Di Belu, dua tahun lalu, saya baru mengurusi Akta Kelahiran saya. Selama bertahun-tahun saya hanya mengandalkan Surat Permadian saya sebagai bukti identitas diri saya hingga Pendidikan S1.Â
Surat Permandian saya dibuat 1 bulan setelah saya lahir. Menurut Catatan Buku Permandian saya, Pastor Josef Duelfels, SVD adalah Pastor yang mempermandikan saya.Â
Lembaga agama adalah lembaga yang pertama kali mencatat identitas seseorang di NTT. Sehingga untuk mengurusi Akta Kelahiran, saya harus menunjukkan bukti Surat Permandian saya. Setelah menerima Surat Permandian dengan didukung oleh beberapa bukti saksi kelahiran, Akta Kelahiran saya diterbitkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.Â
Bagaimana rasanya selama saya tidak memiliki Akta Kelahiran? Ah, saya tidak bisa menceriterakannya sebab setelah tamat S1 Filsafat, saya sibuk mengajar dan menjadi guru mulai dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2020.Â
Saya tidak dapat merasakan akibatnya sebab Surat Permandian saya sudah cukup melindungi identitas saya sendiri. Apalagi dalam keseharian saya, saya tidak berpisah dengan orang tua saya sendiri. Orang tua dan keluarga saya tetap memperhatikan saya, meskipun saya sudah bekerja.
Saya menjadi guru di daerah yang miskin, yakni: Kabupaten Belu (yang dahulu meliputi Malaka). Daerah ini tampak kurang subur dibandingkan dengan TTU atau Kabupaten Sikka yang lebih subur dan kaya.Â
Bahkan di Mapitara, Sikka, hutan-hutan tetap hijau selama musim kemarau. Sedangkan di sini pada bulan Oktober, hutan-hutan tampak gugur seperti di Eropa.Â
Saya menyebutnya sebagai "musim gugur' kesasar di Timor. Daerah Belu dan Malaka memiliki musim gugur pada setiap bulan Oktober tanpa henti. Pada puncaknya, hutan-hutan berubah jadi seperti arang karena dibakar manusia jahil. Pembakaran hutan membuat Belu-Malaka tak ubahnya seperti neraka di daerah terpencil.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H