Pada tahun 1980-an, seorang tetangga keluarga kami yang bertugas sebagai tenaga medis saat awal Operasi Seroja di Timor-Timur mengadobsi seorang bayi mungil ke rumahnya di Belu. Bayi itu diadobsi begitu saja tanpa dokumen karena situasi perang dari sebuah rumah sakit di kota Dili. Ayah dan bunda bayi itu tidak diketahui rimbanya.
Bayi berjenis kelamin laki-laki itu ditemukan tentara sedang menangis di semak-semak ketika tentara melakukan patroli keliling di sebuah hutan di Timor-Timur. Tentara membawa bayi pria mungil itu ke rumah sakit di Dili. Di rumah sakit itu, kerabat tersebut melakukan pekerjaan sebagai tenaga medis. Bayi mungil itu dirawat oleh sang petugas medis.
Ketika mantri itu mengetahui bahwa bayi itu benar-benar tidak diketahui identitas diri dan identitas kedua orang tuanya, bayi itu dibawanya ke rumah. Ia memberi nama bayi berjenis kelamin laki-laki itu Pedro. Ia memelihara dan mengangkat Pedro sebagai anak angkatnya. Pedro akhirnya dibawa juga oleh mantri ke Belu, Halilulik.
Di Halilulik, bayi Pedro semakin besar. Ketika Pedro sudah mencapai cukup umur untuk sekolah, Pedro dimasukkan ke Sekolah Dasar (SD). Saat di SD, Pedro mungkin baru sedikit menyadari dirinya sendiri bahwa dirinya sebenarnya adalah anak pungutan dari salah satu generasi yang hilang selama perang di Timor-Timur. Pedro adalah 'bule Timor' yang bernasib kesasar.
Meskipun tampang Pedro mirip bule, Pedro merasa ada yang kurang dari perlakukan orang-orang di sekitarnya. Banyak orang-orang di sekitar saya menduga bahwa Pedro kemungkinan adalah seorang anak peranakan Timor-Portugis. Salah satu orang tuanya berdarah Portugal. Ia tumbuh dan besar dalam lingkungan Timor Barat. Ia bersosialisasi sebagai anak seorang pengungsi yang identitas kedua orang tuanya tidak dapat diketahui secara jelas.Â
Saat saya bersekolah di Sekolah Dasar (SD) saya dapat menyaksikan Pedro yang sudah tumbuh sebagai anak-anak SD. Kini ia sudah menjadi dewasa. Seperti kebanyakan anak-anak pungutan dari Timor-Timur selama operasi Seroja, nasib Pedro hingga saat ini tidak dapat dikenali. Ia kemungkinan sudah kembali ke Timor Leste lagi atau hidup di salah satu daerah di Indonesia dengan nasib hidup yang serba tak pasti.
Dengan banyaknya anak-anak Timor-Timur yang seolah-olah terbuang pada masa perang, rasanya kita sebagai manusia patut menggugat segala presepsi orang Timor tentang anak-anak mereka. Bagi mereka semasa perang, anak-anak adalah beban ibu dalam keluarga yang tidak ringan. Kebanyakan anak dilahirkan dalam keluarga yang tidak jelas persekutuan hidup mereka. Pedro adalah bukti bahwa orang-orang Timor tidak menghargai anak-anak mereka sendiri.
Di masa lalu, saat perang, anak-anak bagi keluarga Timor-Timur adalah beban yang harus disingkirkan. Betapa kejamnya presepsi orang tua demikian ditujukan kepada darah dagingnya sendiri. Semoga saat ini sudah berubah presepsi orang Timor Leste tentang anak-anak yang mereka lahirkan sendiri karena Timor Leste sudah merdeka.Â
Dengan sudah merdeka sebagai negara berdaulat, kini tentu Timor Leste merawat dan membesarkan anak-anak mereka dengan penuh tanggung jawab. Juga anak-anak mereka dapat menentukan masa depan mereka sendiri. Jika tidak, sungguh runyam nasib anak-anak orang di Timor Leste jika presepsi mereka tentang anak mereka sendiri adalah beban yang harus disingkirkan.
Di NTT, orang-orang seperti Pedro ada. Sekarang di wilayah NTT, orang-orang seperti Pedro ada dalam bentuk anak-anak yang ditinggalpergikan orang tua mereka merantau di tanah orang untuk mencari uang. Salah satu pasangan pergi ke Malaysia atau Kalimantan, dll. Mereka meninggalan isteri dengan anak-anak, isteri menikah lagi. Suami-isteri meninggalkan anak-anak dan ditampung oleh keluarga lain. Dengan cara-cara demikan, orang tua melepaskan sebagian besar tanggung jawab mereka atas anak-anak demi mencari uang.
Sepertinya uang adalah segala-galanya dalam dunia sekarang, pengasuhan dan pertolongan dilakukan atas dasar uang. Uang telah membeli keramahan, kebaikan dan pengasuhan. Jadi demi uang, manusia kini tidak memberi cinta. Manusia telah kehilangan cinta yang sesungguhnya karena uang, ia hanya merupakan motor penggerak dalam dunia modern. Semoga cinta sejati dapat mempertemukan manusia lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H