Dalam hidupnya setiap hari, manusia selalu memperjuangkan untuk mendapatkan banyak uang, kesehatan yang baik dan kesuksesan hidup. Sehingga hal-hal itu adalah hal-hal yang baik bagi manusia. Menurut Aristoteles, tujuan hidup terbaik manusia ialah kebahagiaan hidup. Tetapi untuk menjadi bahagia dalam hidup, manusia harus melakukan kebajikan-kebajikan. Kebajikan atau keutamaan etis tertinggi adalah keadilan.
Secara umum, konsep kebajikan Aristoteles didasarkan pada pengajaran Plato. Dalam hal ini, Plato telah mengajarkan bahwa kebijaksanaan (Sophia), keberanian (Andreia) dan moderasi (Sophrosyne)Â adalah nilai-nilai utama bagi manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup manusia, karena nilai-nilai ini membawa manusia ke tujuan tertinggi hidup manusia, yakni: kebahagiaan.
Menurut Aristoteles, untuk menjadi bahagia, salah satu tuntutan yang harus dipenuhi manusia ialah kebajikan. Untuk hal kebajikan, kebajikan etis adalah salah satu kebajikan yang terpenting.
Patut dicatat bahwa bagi Aristoteles, kebajikan etis berkembang dalam konteks kehidupan sosial dan berhubungan dengan bidang-bidang, seperti: bidang ekonomi, bidang sosial, yakni: cara manusia saling berinteraksi dan kehidupan di bidang politik. Tiga bidang kebajikan ini memiliki cara berbeda namun ingin mencapai satu tujuan dalam hidup manusia, yakni: meraih kebahagiaan hidup.
Sehingga bagi Aristoteles jelas bahwa "Keutamaan etis tertinggi adalah keadilan, yang dalam hubungannya dengan sesama manusia memberikan miliknya satu sama lain dalam arti keseimbangan atau kesetaraan tertentu." Dengan demikian, keutamaan etis memenuhi syarat untuk tindakan yang baik secara moral.
Semuanya itu dapat terjadi jika manusia hidup bersama dalam masyarakat. Jika manusia tidak hidup bersama dalam masyarakat maka manusia tidak akan berkembang dalam hal kebajikan.
Manusia tidak akan berkembang dalam kebajikan jika tidak ada masyarakat. Manusia tidak bisa mengambil kebajikan dari alam karena kebajikan adalah sifat murni manusia. Dalam hal kebajikan, Aristoteles memiliki pandangan yang lebih natural atau lebih berpusat pada alam. Hal ini wajar sebab menurut mitologi Yunani kuno, kehidupan manusia tidak dimulai dari Adam dan Hawa.
Menurut Aristoteles, kebajikan yang berkembang dalam diri manusia tidak secara alami membuat manusia melawan alam. Sebaliknya, manusia secara alami dirancang untuk menerima alam.
Hal ini menggambarkan salah satu ide inti dari Aristoteles: Saat lahir, manusia bebas dari kebajikan etis dan kebajikan intelektual, tetapi manusia akan mampu mencapainya di masa depan. Kemampuan bawaan manusia memungkinkan manusia untuk dapat melakukannya, antara lain melalui proses pendidikan seumur hidup.
Jika manusia memiliki wawasan sebelumnya tentang dunia dan manusia maka manusia hanya dapat mengaktifkan setelah lahir. Jadi apabila manusia tidak aktif dalam hidupnya dalam kehidupan sosial, kemampuannya untuk memberi dan mendapatkan kebajikan tidak berkembang dengan baik.
Kebajikan hanya dapat diperoleh manusia jika manusia mengaktifkan kebajikan dalam hidup sosial. Kebajikan itu sudah ada, tinggal manusia mengaktifkannya saja pada waktu ia besar.
Dalam konteks ini, menurut Aristoteles, manusia harus didukung oleh negara dalam perjalanan hidup mereka. Negara mendidik para warga untuk membiasakan diri mereka dengan hukum-hukum kebajikan. Negara harus mendidik warganya taat hukum dan membuktikan fakta bahwa aturan dalam negara itu dapat membuat manusia menjadi baik dan berbudi luhur.
Lalu bagaimana manusia bertindak agar menjadi bajik? Pertanyaan ini bagi Aristoteles, adalah sangat penting, "karena manusia tidak meminta untuk mengetahui apa itu kebajikan, tetapi agar manusia harus menjadi bajik, karena jika manusia tidak menjadi bajik, maka manusia tidak bisa menggunakan kebajikan."
Terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, Aristoteles menemukan dua jawaban dan pedoman tentang jalan menuju kebajikan etis, yaitu:Â
Pertama, manusia harus bertindak dengan wawasan yang benar.
Kedua, tindakan manusia tidak boleh didasarkan pada kelebihan dan atau kekurangan. Karena kelebihan dan atau kekurangan itu berbahaya pada tingkat kebajikan. Contohnya ialah olahraga. Kehati-hatian yang terlalu banyak atau terlalu sedikit (sebagai kebajikan etis) adalah sama berbahayanya dengan terlalu banyak atau terlalu sedikit berolahraga.Â
Bagi Aristoteles, tindakan yang tepat  adalah jika manusia menciptakan kesehatan yang baik, ia harus meningkatkan kesehatan dan menjaga kesehatannya. Sebab hal-hal itu adalah sama dengan kehati-hatian, keberanian dan kebajikan lainnya. (*).
Sumber:
(1). Meiner, Felix. (1985). Aristoteles: Nikomachische Ethik. Hamburg (bersetzer: Eugen Rolfes).
 (2). Rotter, Tim. (2002).Der Weg zur Tugend ist der Weg zur Mitte - Die Mesotes-Lehre von Aristoteles. https://www.hausarbeiten.de/document/38009, diakses pada 29 Juli 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H