Kata Logos berasal dari bahasa Yunani: Λόγος, yakni: sabda sebagai buah pikiran dan hasil pertimbangan nalar. Pemahaman tentang Logos berkembang dari mithos-mithos Yunani kuno. Lalu pemikiran tentang Logos dikembangkan oleh para filsuf pertama Yunani kuno, hingga filsuf Plotinos di zaman Romawi kuno.
Bagi para filsuf, logos manusia ialah buah pikiran sebagai hasil pertimbangan nalar yang rasional dan objektif. Logos adalah Kekuasaan Ilahi yang memberi kesatuan, pertalian dan makna pada alam semesta (logos spermatikos). Logos pada manusia berada dalam rasio budi (logos endiathetos) dan kemampuan berbicara (logos prophorikos).
Logos pada manusia terdiri dari 2 pengertian, yaitu: logos prophorikos, yaitu: ide yang dikomunikasi dalam kata dan tulisan, dan logos endhiathetos, yaitu: ide yang tidak dikatakan atau tidak ditulis yang hanya ada dalam pikiran atau nalar.
Heraclitus (540-475 SM) mengatakan: Panta Rhei kai uden menei, yang berarti: semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang tinggal tetap. Manusia harus mengembangkan diri dengan kekuatan sendiri dengan meminimalkan bantuan orang lain. Dengan akal dan pikiran, manusia dapat mengembangkan diri bersama orang lain.
Baca juga : Homer's Odyssey Dari Mitos Menjadi Logos
Aliran filsafat Stoa di zaman Romawi kuno mengatakan bahwa Logos adalah Budi Ilahi dan menjiwai segala yang ada. Sejauh manusia mengambil bagian dalam kesatuan itu, ia memiliki hubungan dengan Logos itu, Logos menjiwainya dan menghubungkan dengan segala yang ada.
Agar manusia tetap bersatu dengan Logos maka manusia harus bersetia dengan Logos yang menjiwai dirinya. Manusia tidak perlu mencari simpati ke orang lain untuk berkembang tetapi ia juga bisa hidup apatis. Manusia menjadi apatis agar manusia tidak hanyut oleh nafsu-nafsu yang tidak teratur. Hidup bersama memiliki hubungan dengan Logos, yakni: melalui hukum universal.
Hukum universal terkandung dalam Logos. Logos adalah hukum abadi (lex aeterna). Hukum abadi adalah hukum alam (lex naturalis). Hukum alam tidak berubah, selalu berlaku dan tidak tergantung pada orang.
St. Augustinus mengatakan bahwa jalan untuk mengenal Tuhan ialah melalui Kitab Suci. Tapi filsafat dapat digunakan untuk menerangkan kebenaran yang ada dalam iman. Filsafat adalah pelayan teologi. Menurut St. Augustinus, Allah bukan merupakan Budi Ilahi, melainkan Kehendak Ilahi atau Cinta Ilahi. Kebenaran tidak ditentukan oleh akal budi teoritis.
Baca juga : Gaduhnya Ruang Publik dan Logos yang Etis
St. Agustinus tidak setuju dengan Neoplatonisme yang mengatakan bahwa kebenaran ditentukan oleh ide-ide kekal. St. Agustinus berpijak pada Aristoteles yang mengatakan bahwa ilmu yang utama ialah mengenal Tuhan melalui ide-ide metafisika yang disebut filsafat pertama (prima philosophia).
Ide-ide filsafat tentang Logos di atas membuka jalan kepada kekristenan. Di era kekristenan, Logos ialah Sabda Allah yang dinyatakan dalam diri Yesus Kristus yang harus diwartakan dan ditaati.
Orang yang beriman kepada Yesus Kristus harus menyerahkan diri seutuhnya kepadaNya secara tak terbagi. Kekristenan percaya bahwa manusia mengambil bagian dalam Kemahakuasan Tuhan demi keselamatan abadi di surga di mana takarannya ialah kesaksian hidup di dunia.
Logos milik manusia terbatas, sedangkan Logos Allah adalah Maha Sempurna. Bahkan Logos adalah gelar Yesus Kristus. Logos dijelaskan dalam Injil Yohanes (Yoh. 1:1-18). Logos adalah Sabda Allah. Sabda Allah adalah pre-eksistensi, yakni: sudah ada sebelum (=prae) dunia diciptakan.
Dengan perantaraan Sabda, semuanya diciptakan. Tetapi Sabda tidak diciptakan. Logos/Sabda tidak diciptakan dari ketiadaan. Sabda Allah menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus.
Yesus Kristus adalah sungguh manusia dan sungguh sehakikat (=ousia: Yun) dengan Allah Bapa. Yesus Kristus adalah Allah Putera yang solider dan berbelas kasih dengan umat manusia. (*).
Baca selanjutnya : Penindasan Eros oleh Logos dalam Perspektif Freud
Sumber:
(1). Kirchberger, Georg, Dr. (1997). Allah: Refleksi Dalam Tradisi Kristen. Ledalero: Diktat Kuliah
(2). Kirchberger, Georg, Dr. (1998). Pandangan Kristen Tentang Dunia dan Manusia. Ende: Nusa Indah.
(3). Clark, Gordon, H. (1972). The Johannine Logos: the Mind of Christ. Maryland: The Trinity Foundation.
(4). Kamesar, Adam. (2009). The Cambridge Companion to Philo. Cambridge: Cambridge University Pres.
(5). Lembaga Alkitab Indonesia. (2014). Alkitab Deuterokanonika. Jakarta: LAI.
(6). Huijbers, Theo, Dr. (1990). Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Kanisius.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H