Perbedaan presepsi manusia tentang kodok dan katak tampak. Di Jerman, warga bersama pemerintah mendukung perkembangan kehidupan kodok, katak dan kadal di alam bebas dengan berbagai daya upaya. Kodok, katak dan kadal adalah hewan yang hampir punah di alam.Â
Pemerintah Jerman dan Uni Eropa telah mengucurkan dana jutaan Euro untuk mendukung perkembangan hidup kodok, katak dan kadal di alam bebas. Hasilnya sekarang dapat dilihat dan dibaca dalam pelbagai media online Jerman.Â
Kaidah-kaidah moral dan transendensi orang Jerman telah berkembang amat maju. Boleh dibilang, orang Jerman menjadi teladan bagi dunia dalam hal pemeliharaan kodok, katak dan kadal di alam bebas.
Kondisi di Jerman adalah kondisi ideal yang paling diharapkan. Tentu kondisi di Jerman berbeda dengan Indonesia. Kemajuan di Jerman tidak memaksakan kita di sini untuk sama persis seperti di Jerman. Namun kondisi dan situasi di Jerman yang sudah maju ini membuat kita berefleksi, bagaimana seharusnya kita memperlakukan kodok, kadal dan katak secara pantas dan bermoral? Â Â
Kodok Punya Jiwa Sensitif
Fakta sudah terbuka bahwa pemeliharaan kodok secara besar-besaran untuk konsumsi tidak dapat diterima karena bermasalah secara moral di Indonesia. Di negara-negara dunia ketiga, relasi sosial antar manusia dan relasi manusia dengan alam terlalu bersifat fisik, bukan moral dan transendensi. Penekanan terhadap relasi fisik telah merusak norma-norma moral dan transendensi. Padahal hubungan manusia dengan manusia, alam (binatang dan tumbuhan) diatur dalam kaidah moral.Â
Menurut Aristoteles, manusia memiliki jiwa intelektif. Jiwa intelektif merupakan tingkatan tertinggi. Sedangkan di bawah jiwa intelektif ialah jiwa sensitif yakni jiwa binatang. Di bawah jiwa sensitif ialah jiwa vegetatif yakni jiwa tumbuhan.Â
Sebagai hewan, katak, kadal dan kodok memiliki jiwa sensitif. Jiwa sensitif berada di bawah jiwa intelektif. Namun jiwa intelektif berkembang dari jiwa sensitif dan jiwa vegetatif. Dalam arti bahwa di dalam jiwa intelektif ada hubungan erat dengan jiwa sensitif dan jiwa vegetatif. Hubungannya ialah hubungan saling menguntungkan, saling memelihara dan saling melengkapi.
Sesuai gagasan Aristoteles, dengan jiwa intelektifnya, manusia memiliki kewajiban moral untuk mendukung kehidupan hewan dan tumbuhan di alam bebas.Â
Dengan adanya budi daya kodok secara besar-besaran untuk konsumsi, manusia telah menekankan  nafsu manusia yang kurang penting dan bernilai. Nafsu manusia yang kurang bernilai dan kurang bermakna dan mengabaikan pentingnya tanggung jawab moral manusia terhadap keseimbangan alam semesta dan tegaknya norma transendensi.Â
Menurut Plato, nafsu manusia  harus tetap ada namun dalam pelaksanaannya perlu mempertimbangkan secara akal sehat menurut kadar penting, bermakna dan bernilai secara moral dan transedensi. Dalam hal ini demi nafsu konsumtif kurang memiliki kadar bermakna dan penting. Jadi pembunuhan kodok, katak dan kadal untuk konsumsi besar-besaran termasuk kejahatan moral dan transendensi.  Â