Pada Pebruari 2019 ini Sudirman Said melakukan framming terhadap Jokowi. Salah satu makna positif dari framming Sudirman Said ialah telah menghasilkan ceritera seputar rekam jejak yang dilakukan Presiden Joko Widodo sampai mendapatkan kepercayaan Presiden Freeport, James R Moffet untuk menguasai 51% saham Freeport.Â
Seperti dirilis Tribunnews.com (21/02/2019), dalam kaca mata mantan Menteri ESDM era Jokowi, Sudirman Said menyebut, Jokowi telah melakukan pertemuan secara diam-diam dengan Presiden Freeport McMoran Inc, James R Moffet di Indonesia. Pertemuan tersebut disebut Sudirman yang saat ini menjadi Tim Sukses Prabowo-Sandi, menjadi cikal bakal keluarnya surat tertanggal 7 Oktober 2015 dengan nomor 7522/13/MEM/2015 yang berisi perpanjangan kegiatan operasi Freeport di Indonesia yang konon hingga tahun 2041. Â
Tribunnews (21/02/2019) merilis Presiden Jokowi membantah telah melakukan pertemuan secara diam-diam dengan bos Freeport seperti yang dikatakan Sudirman Said. Bahkan pertemuan ini dilakukan berkali-kali dengan tujuan menjadi pemegang saham mayoritas Freeport.
"Enggak sekali dua kali ketemu, diam-diam bagaimana? Pertemuan bolak-balik," ujar Jokowi di Kelapa Gading, Jakarta, Rabu (20/2/2019) malam, seperti dirilis Tribunnes.com (21/02/2019).
Diam-Diam Membelakangi DPR?
Kata diam-diam, yang dimaksudkan Sudirman Said memiliki maksud politik terkait ketiadaan peran DPR dalam kebijakan pemerintah dalam kasus ini. Jika Jokowi tidak diam-diam, bagaimana peran DPR? Jika pertemuan itu dilakukan Jokowi secara terbuka, artinya, sesuai mekanisme kenegaraan ialah harus dengan sepengetahuan DPR. Jika DPR tidak tahu, artinya DPR telah lemah karena ambisi peningkatan ekonomi.
Hal itu berarti berarti meskipun pemerintah Jokowi berhasil memperoleh 51% saham mayoritas Freeport, kita telah kehilangan peran lembaga DPR dalam kesepakatan dengan Freeport. Semua orang tahu bahwa perdagangan bebas dengan AS amat berbahaya bagi demokrasi. Kapitalisme bisa berlaku kejam terhadap demokrasi. Seandainya demokrasi Indonesia kuat, bukankah pemerintah harus berkonsultasi dahulu dengan DPR terkait kebijakan-kebijakan baru terhadap Freeport?
Tentu maksud Sudirman Said bahwa Jokowi bertemu dengan James R Moffet secara diam-diam adalah ironi DPR. Jika demikian apakah DPR tidak punya peran apapun terkait berhasilnya Indonesia raih 51% saham mayoritas di Freeport? Lalu bagaimana peran DPR terhadap prestasi pemerintahan Jokowi meraih 51% saham mayoritas di Freeport?
Peran DPR Melemah di Zaman Jokowi
Silahkan publik Indonesia memberikan kesimpulan sendiri terkait peran DPR selama zaman Jokowi. Dalam kasus Freeport, peran DPR hampir tidak ada. Ini bukan karena DPR tidak mau berperan tapi kedigdayaan DPR telah memudar semenjak Setya Novanto dihukum karena kasus megakorupsi eKTP.Â
Sebelum ditahan KPK, Setya Novanto pernah berhenti dari Ketua DPR RI karena bertemu dengan Donald Trump di AS, tetapi kembali dilantik menjadi Ketua DPR RI sebelum ditangkap KPK karena kasus korupsi megaproyek eKTP.
Hal-hal patut ditampilkan dalam kasus Freeport ialah Indonesia harus hati-hati dengan kepentingan ekonomi AS. Catatan sejarah menunjukkan pernah terjadi gejolak demo massa menolak besar-besaran di Eropa saat Presiden Barach Obama dan para pemimpin Eropa ingin membuka kawasan perdagangan bebas AS-Eropa. Massa rakyat Eropa bergolak untuk menolak perdagangan bebas AS-Eropa.
Faktanya perdagangan bebas bisa membunuh demokrasi daerah dan nasional. Idealnya DPR harus memonitor pemerintah. Tetapi apakah DPR RI masih kuat dan solid seperti dahulu ketika perdagangan bebas belum berlaku? Sulit mengatakannya benar jika konsekuensi kebijakan pemerintah menerima berkah 51% saham mayoritas tapi berdampak buruk bagi demokrasi dengan membelakangi lembaga legislatif DPR RI.
Keindonesiaan Adalah Harga Mati
DPR adalah potret nyata eksistensi Keindonesiaan. Sehingga apa gunanya raihan 51% saham mayoritas di Freeport tanpa campurtangan lembaga terhormat seperti DPR? Sayangnya, kita mungkin telah kehilangan peran DPR.Â
Keindonesiaan mungkin telah luntur demi meraih prestasi kemajuan ekonomi. Hal ini disayangkan. Padahal salah satu komitmen utama kita selama masa refomasi ini ialah menjaga dan mempertahankan Keindonesiaan. Indonesia telah mendapatkan saham mayoritas namun tampaknya kehilangan peran nyata DPR. Hal ini dapat mengancam demokrasi Indonesia, mengancam Keindonesiaan kita.
Kita harus ingat cuplikan kalimat yang pernah dilontarkan Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada pidato kenegaraannya pada 15 Agustus 2014 lalu, "..Tidak ada gunanya kita menjadi semakin makmur dan modern namun kehilangan hal-hal yang amat fundamental dari bangsa kita: Pancasila, Kebhinnekaan, semangat persatuan, toleransi, kesantunan, pluralisme dan kemanusiaan....Bagi generasi kita, Keindonesiaanlah yang kita pertahankan mati-matian".****
Sumber:
1.Dituding Bertemu Diam-Diam Dengan Bos Freeport, Presiden Jokowi: Pertemuannya Malah Berkali-Kali (Jateng.Tribunnews.com, 21/02/2019), diakses pada 21/02/2019.
2.Prasetya, Andika, Jokowi Jawab Ceritera Miring Sudirman Said Soal Akusisi Freeport (news.detik.com, 20/02/2019), diakses pada 21/02/2019.
3. Mengkaka, Blasius, Kata Pengantar (xii), dalam Jalan Wadas Politik dan Pendidikan Indonesia Kontemporer (Depok: CV Herya Media, 2014)-ISBN 978-602-71351-5-4
4.Mengkaka, Blasius, Menyimak Tambang Mineral di Freeport-Papua: Proses, Jumlah dan Hasil Akhir (UC News, 02/02/2019), diakses pada 21/02/2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H