Mohon tunggu...
Blasius Mengkaka
Blasius Mengkaka Mohon Tunggu... Guru - Guru.

Alumnus Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) di Universitas Negeri Nusa Cendana Kupang Tahun 2008. (1). Pemenang Topik Pilihan Kolaborasi "Era Kolonial: Pengalaman Mahal untuk Indonesia yang Lebih Kuat", (2). A Winner of Class Miting Content Competition for Teachers Period July-September 2022. (3). The 3rd Winner of Expat.Roasters Giveaway 2024.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Pendapat 3 Pakar Bencana Internasional tentang Bencana Alam di Sulteng

5 Oktober 2018   20:02 Diperbarui: 7 Oktober 2018   16:13 5182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peta teluk Palu yang sempit (Foto: Kabari.co)

Bencana alam yang terjadi di Palu adalah bencana alam ganda. Mula-mula gempa berkekuatan sekitar 7,6 skala richter, setelah 30 menit kemudian muncul tsunami dengan ketinggian air 6 meter bercampur lumpur tebal. Hingga saat ini bencana itu telah menyebabkan lebih dari 1400 korban tewas dan ribuan korban hilang.

Prof Phil Cummins - duduk di kanan (Foto: sciencewisu.anu.edu.au)
Prof Phil Cummins - duduk di kanan (Foto: sciencewisu.anu.edu.au)

Artikel ini disusun berdasarkan hasil perbincangan wartawati Guardian, Hannah Ellis-Peterson bersama Prof. Dr. Phil Cummins, seorang profesor bencana alam dari Australian National University, Adam Switzer, Ketua Sekolah Lingkungan Asia di Nanyang Technological University di Singapura, dan Dr Kerry Sieh dari Observatorium Bumi Singapura.

Apa yang menyebabkan bencana ganda: gempa dan tsunami?

Penyebab bencana ganda di Palu dan Donggala sejauh ini masih berada dalam tahap penelitian, karena bencana ganda berupa gempa dan tsunami jenis ini dengan kekuatan besar tersebut tidak biasa terjadi. 

Hingga saat ini, para ilmuwan masih mencoba untuk menentukan penyebab pasti. Gempa Palu adalah jenis gempa yang tidak biasa menyebabkan kehancuran sebegitu besar.

Sebagaimana diketahui bahwa kekuatan gempa Palu terjadi pada Jumat (28/09/2018) pagi itu bukan merupakan jenis gempa dorong.

Jenis gempa dorong adalah jenis gempa yang menyebabkan terjadinya sebagian besar tsunami, di mana lempeng tektonik bergerak secara vertikal naik dan turun dan mendorong air.

Gempa Palu baru-baru ini disebabkan oleh apa yang dikenal sebagai kesalahan strike-slip, di mana lempeng tektonik bergerak secara horizontal.

Menurut Phil Cummins, profesor bencana alam di Australian National University, seperti dikutip Guardian (02/10/2018), gempa bumi jenis ini biasanya hanya menyebabkan tsunami yang sangat lemah.

Herannya bahwa gempa bumi Palu pada Jumat (28/09/2018) justru bisa menyebabkan tanah longsor bawah laut berkekuatan besar yang mendorong dan menggantikan air.

Tanah longsor bawah laut ini bisa saja terjadi di teluk Palu, dekat dengan pantai, atau lebih jauh ke laut.

Biasanya tsunami disebabkan oleh gempa bumi ratusan mil dari pantai, dan daya goncangan atau daya gemetarnya sangat jarang dirasakan di darat.

Seperti yang dicatat oleh Prof. Phil Cummins, "Adalah tidak biasa untuk melihat bencana ganda seperti ini."

Untuk itu, menurut Cummins, dibutuhkan beberapa bulan penelitian lapangan dan eksplorasi bawah air untuk menentukan penyebab pastinya.

Alat pendeteksi gempa dan tsunami (Foto: Tirto.id)
Alat pendeteksi gempa dan tsunami (Foto: Tirto.id)

Jenis sistem peringatan dini apa yang ada dan apakah sistem peringatan dini telah gagal?

Jelas bahwa terdapat anggapan yang mengklaim bahwa Badan Meteorologi dan Geofisika Indonesia (BMKG) mungkin telah menghapus peringatan tsunami terlalu dini, sebelum gelombang menghantam pantai Palu. Sehingga dengan demikian BMKG dianggap perlu bertanggung jawab atas beberapa korban jiwa.

Selain itu terdapat klaim yang mengatakan bahwa pelampung laut yang mendeteksi gempa bumi dan tsunami sebagai bagian dari sistem peringatan dini belum diperbaiki selama enam tahun dan sementara rusak.

Padahal untuk mendeteksi gempa bumi dan tsunami di Indonesia, BMKG memiliki 33 stasiun geofisika di seluruh Indonesia.

Selain itu, BMKG juga memiliki 285 alat untuk memonitor gempa antara lain seismometer, demikian Tirto.id (19/12/2017). 

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo P Nugroho pernah mengatakan bahwa banyak alat sensor gelombang tsunami di lautan Indonesia rusak.

Dari 21 sensor (buoy) tsunami di lautan, sebanyak delapan unit dari Indonesia, 10 unit dari Jerman, satu unit dari Malaysia, dan dua unit dari Amerika Serikat, semuanya sudah tidak ada yang beroperasi.

Meskipun demikian, para pakar gempa dan tsunami, seperti dirilis Guardian.com (2/10/2018) sepakat bahwa bencana alam di Palu dan Donggala itu bukan kegagalan teknologi tetapi kegagalan dari sistem pendidikan.

Berbeda dengan tsunami tahun 2004 yang menghancurkan bagian besar wilayah di Asia Selatan, gelombang tsunami minggu lalu tidak didorong oleh gempa bumi yang terjadi ratusan mil ke dalam laut.

Sebaliknya tsunami itu adalah tsunami jenis lokal akibat gempa yang terjadi di dekat pantai. Diperkirakan bahwa gelombang tsunami menghantam Palu hanya 30 menit setelah gempa.

"Bagi orang-orang di pantai dan di kota, gempa seharusnya menjadi peringatan dini terhadap bahaya tsunami," kata Switzer.

Sedangkan Cummins mengatakan, "Jika kita fokus pada titik kegagalan teknologi di sini adalah salah arah karena tsunami jenis ini adalah tsunami lokal. Dalam hal ini anda tidak perlu mengandalkan sistem peringatan dini. Bahwa orang-orang harus secara sigap segera mencari bukit atau tanah tinggi, dengan sendirinya. Penduduk tidak boleh menunggu sampai sirene atau peringatan bahaya berbunyi secara dini. Demi keselamatan, mereka harus bergerak cepat. Masalahnya adalah, dari apa yang saya lihat dari rekaman, banyak orang tampaknya tidak melakukan itu", katanya seperti dikutip The Guardian.com (02/10/2018).

Dia menambahkan, "Entah mereka tidak tahu bahwa mereka perlu melakukan itu atau mereka tidak percaya apa pun akan terjadi. Dalam hal ini tuduhan bahwa orang-orang di Sulawesi tidak dididik dan dilatih secara benar tentang apa yang perlu mereka lakukan dalam situasi ini yakni saat gempa dan tsunami bisa dibenarkan. Dan hal karena kesalahan itulah sebenarnya gempa dan tsunami membunuh begitu banyak orang."

Apa yang membuat tsunami begitu merusak?

Pertanyaan ini mestinya dialihkan kepada seberapa lama dan seberapa jauh tsunami keluar dari laut dan menimpah daratan. Termasuk berapa banyak akumulasi kecepatan itu terkumpul.

Beberapa perkiraan telah mengatakan bahwa kekuatan tsunami telah bergerak pada 500 mph di teluk Palu.

Tsunami itu kemudian melambat secara substansial sebelum menghantam pantai.

Dan pada akhirnya tsunami itu menyebabkan ombak setinggi enam meter di beberapa tempat yang kemudian mencapai  ke daratan satu kilometer jauhnya.

Kekuatan tsunami didukung oleh bentuk sempit teluk Palu. Bentuk sempit teluk Palu menyebabkan tsunami terkonsentrasi dan diperkuat kekuatan gelombang laut.

"Bentuk teluk di Palu bisa memainkan peran pada daya dorong tsunami ke daratan," kata Cummins. "Kondisi ini dapat menyalurkan energi dan memusatkannya di ujung dan fokus perhatian pada daya dorong tsunami. Dengan kondisi ini berarti tsunami bisa bergerak dengan kecepatan tinggi. "

Switzer mengatakan bahwa dampak awal tsunami menyebabkan kerusakan paling besar, meskipun pergerakan puing ketika gelombang ditarik kembali juga bisa membuktikan dapat mematikan.

"Kehancuran terbesar dari tsunami umumnya adalah kekuatan air yang menabrak benda-benda ketika menghantam pantai. Air tsunami yang mengalir di antara bangunan juga mempercepat kecepatan, "katanya.

Apakah gempa bumi dan tsunami terjadi secara tidak terduga di daerah itu?

Prof Switzer mengataka bahwa ada sistem patahan yang besar dan terdokumentasi dengan baik yang berada sepanjang dan melalui Palu, yang panjangnya sekitar 200 km.

Ia melanjutkan, dalam sejarah bencana ganda seperti di Palu juga terjadi pada tahun 1937. Pula peristiwa lainnya seperti yang terjadi di awal tahun 1900-an. Meskipun kejadian itu tidak jelas apakah hal menyebabkan tsunami atau tidak.

"Dalam sebuah makalah yang diterbitkan pada tahun 2013 menyebutkan bahwa sesar Palu, yang sangat lurus dan sangat panjang itu memiliki potensi menyebabkan gempa bumi dan tsunami yang sangat merusak. Jadi bencana ganda itu bukan tidak terduga sama sekali. Tapi pertanyaannya adalah, apakah kita belajar sesuatu dari insiden masa lalu? Sepertinya tidak, orang-orang tidak belajar dari insiden masa lalu," tutur Switzer.

Sementera Dr Kerry Sieh dari Observatorium Bumi Singapura mengatakan, "Sudah diketahui dengan baik bahwa patahan di Palu telah menyimpan strain dan mengakumulasi regangan beberapa sentimeter per tahun. Jadi bencana tersebut merupakan kesalahan tergelincir yang terjadi dengan sangat cepat setelah proses selama bertahun-tahun," imbuhnya.

Sumber:

  1. Now Its Too Late Help Tricles in For Palu-Tsunami (Guardian.com, 30/09/2018)
  2. What Caused The Indonesia Tsunami and Could Lives Haved Been Saved? (Theguardian.com, 02/10/2018)
  3. Melihat Cara Kerja Detektor Gempa dan Tsunami (Tirto.id, 19/12/2017)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun