Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan, kini telah merdeka, saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri!" salah satu petikan kata sambutan Gubernur Anies Baswedan hari ini yang amat menarik untuk disimak. Apa arti penggalan kalimat pidato Gubernur DKI Jakarta yang baru dilantik sekaligus mantan Mendikdasmen RI ini amat bernas. Â
Pernyataan ini sekaligus menyinggung 2 hal yang peka dalam nubari bangsa Indonesia yakni pribumi dan nonpribumi. Pribumi adalah rakyat dari suku-suku bangsa Indonesia yang utama datang dari desa-desa, sedangkan nonpribumi menghuni kota, pengusaha dan penguasa yang umumnya dari bangsa-bangsa Asia Timur Jauh dan Eropa.
Kalau kalimat ini secara spesifik ditujukan kepada rakyat DKI Jakarta akan cukup rumit ditafsirkan. Kalimat ini tentu bernada memperhalus. Karena rakyat Jakarta tidak memiliki pekerjaan sebagai petani atau peternak melainkan banyak bekerja di sektor perdagangan (formal dan informal), jasa, pemerintahan dan aparatur negara. Kita singkatkan saja pekerjaan penduduk Jakarta pada ruang huni.Â
Jakarta tidak punya banyak ruang atau lahan kosong seperti kota besar lainnya. Semuanya terisi dengan pembangunan gedung pencakar langit untuk banyak keperluan: bisnis, media, pemerintahan, LSM, dll. Tercatat suku yang dianggap 'asli' di Jakarta ialah suku bangsa Betawi.Â
Dari antara itu semua gedung-gedung megah di Jakarta lebih banyak untuk bisnis. Praktis hampir tidak ada lagi ruang kosong, semuanya untuk bisnis. Paradigma pribumi dan non pribumi dalam hubungan dengan bisnis disusun. Dahulu orang Arab datang ke Nusantara untuk berdagang lalu sesudah itu baru menyebarkan agama Islam. Sejak saat itu orang Arab menguasai ekonomi, agama dan politik. Pedagang China sudah datang jauh-jauh hari sebelumnya. Mereka juga mengendalikan bisnis dan ekonomi. Itulah sebabnya penduduk pribumi ditindas. Dari sini berkembang konsep Ali-Baba artinya Ali bekerja untuk bisnis, Baba menjadi pemilik bisnis.Â
Jadi maksud Pak Anies Baswedan jelas. Sekarang setelah merdeka orang pribumi harus menjadi tuan di rumahnya sendiri. "Orang pribumi" harus jadi penguasa ekonomi, agama dan politik".
Paradigma "pribumi dan nonpribumi" agaknya cukup memiliki tenaga. Lihat saja dalam kenyataannya: jutaan TKI legal dan ilegal dari tanah air bekerja untuk para majikan di Malyasia yang sebenarnya bukan orang "pribumi" Malaysia. Jutaan rakyat Jakarta hidup di kawasan bantaran sungai Ciliwung, sedangkan lahan-lahan daerah Jakarta sudah beralih menjadi kawasan bisnis. Gedung-gedung Jakarta yang rapat membawa stress karena masyarakat kehilangan ruang bebas. Salah satu cara untuk meningkatkan mutu kehidupan masyarakat ialah memberi modal agar mereka bisa hidup mandiri dengan bisnis dan industri kreatifitas.
Harus Mengubah "Kosep Pribumi" secara Berkearifan
Apakah konsep pribumi dan nonpribumi masih aktual? Saya pikir sudah tidak aktual dan relevan lagi dengan perkembangan zaman. Dahulu masyaraka lokal disebut juga masyarakat pribumi. Sekarang agaknya penyebutan itu sudah tidak tepat lagi. Kalau dahulu masyarakat lokal disamakan dengan masyarakat terisolir.Â
Kalau kita melihat sekarang dengan adanya arus penyebaran manusia yang telah merata, interaksi antara manusia, barang dan jasa memungkinkan penyebutan budaya lokal dan pribumi sudah hilang. Penyebutan pribumi tidak bertendensi positif. Padahal dalam budaya-budaya Nusantara terdapat banyak kekayaan domestik yang telah memperkaya kebudayaan manusia.
Penyebutan pribumi sudah tidak memiliki rasa berkearifan lagi. Dalam konsep budaya subbangsa terdapat nilai-nilai budaya termasuk berbagai unsur gagasan yang berimplikasi pada sastera, makanan, literatur, agama, rohani, musik, teknologi, kesenian (lukis, tarian, dll), sejarah, ilmu pengetahuan, penanganan kesehatan dan teknologi.Â