Massa pro kemerdekaan (prokem) itu tahu bagaimana  pasukan-pasukan PBB pimpinan Australia datang ke Timor-Timur bukan sebagai pasukan perdamaian yang harus netral di Timtim tetapi pasukan Australia yang bekerja sama dengan CNRT dan FALINTIL untuk melawan pro integrasi. Kalau pasukan perdamaian, seharusnya mengamankan dua pihak (pro integrasi dan pro kemerdekaan). Massa Pro integrasi setelah kedatangan pasukan PBB yang memihak prokem mengalami dilema. Kalau tetap tinggal di Timor Leste mereka akan dibunuh, tetapi kalau berangkat dan tinggal di Indonesia, mereka akan diterlantarkan.
Selama tahun 1974 hingga tahun 1999, kekerasan dan pemerkosaan terhadap perempuan meningkat. Pemerkosaan dan kekerasan ini umumnya dilakukan oleh semua pihak yang kuat kepada para wanita yang dianggap sebagai pihak lemah. Pasukan-pasukan Fretelin dan Falintil, selain beberapa oknum pasukan pendudukan dan milisi juga melakukan kekerasan terhadap perempuan, orang tua dan anak-anak selama konflik penuh darah dari tahun 1974 hingga 1999 dan beberapa saat sesudah Referendum. Insiden terbesar ialah Insiden Santa Cruz tahun 1991, dalam laporan East Timor 1999: Crimes against Humanity, Geoffrey Robinson mencatat bahwa tragedi Santa Cruz ini menelan korban sebanyak 270 orang. Mereka tewas karena ditembak atau dipukuli. Insiden itu hampir saja membuat Indonesia angkat kaki dari Timor-timur atas tekanan internasional.
Tepatnya pada 1 Desember 1976, ketika invasi Indonesia terhadap Timor Timur dibahas di Sidang Umum PBB, hasilnya resolusi, yang menolak klaim Indonesia bahwa Timor Timur sudah berintegrasi dengan Indonesia. Resolusi tersebut didukung 68 negara, ditentang 20 negara, dan 49 lainnya menyatakan abstain. Artinya, hanya 50 persen anggota PBB setuju Timor Timur masuk Indonesia. Pada 28 November 1977, saat kembali dibahas di Sidang Umum PBB, resolusi serupa kurang lebih menghasilkan suara yang setali tiga uang. Mayoritas negara di dunia sepakat bahwa warga Timor Timur berhak menentukan nasib diri mereka sendiri. Resolusi itu didukung 67 negara, ditentang 26 negara, dan 47 lainnya abstain. Artinya, Indonesia tak pernah berhasil secara sah memiliki Timor Leste (Lih. Fransiskus Pascaries dalam artikelnya: Bulan Madu dan Masa lalu 2 bangsa).
Dua momentum telah dimanfaatkan oleh kelompok prokem yakni kunjungan Paus Yohanes Paulus II di Dili tahun 1991 dan ketika pada tahun 1996, Ramos Horta dan Mgr Bello menerima Nobel Perdamaian di Norwegia. Penerimaan Nobel Perdamaian oleh Mgr. Carlos Ximenes Bello, SDB Â dan Dr Ramos Horta dimanfaatkan oleh kelompok prokem untuk menggalang dukungan dunia bagi kemerdekaan mereka. Padahal Mgr Carlos Ximenes Bello, SDB sendiri secara terbuka telah menyatakan, sebagai salah satu penerima Nobel perdamaian PBB, beliau secara de fakto ialah warga negara Indonesia.Â
Timor Leste telah lebih dari 15 tahun berdiri. Â Dengan berdirinya negara itu, kekerasan demi kekerasan telah berakhir. Situasi Timor Leste sekarang lebih membaik. Boleh dibilang kalau dibandingkan dengan dahulu, keadaan Timor Leste yang sudah menjadi negara sendiri, terlepas dari Indonesia, sekarang jauh lebih aman, tidak ada lagi perang dan kekerasan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H