Mohon tunggu...
Blasius Mengkaka
Blasius Mengkaka Mohon Tunggu... Guru - Guru.

Alumnus Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) di Universitas Negeri Nusa Cendana Kupang Tahun 2008. (1). Pemenang Topik Pilihan Kolaborasi "Era Kolonial: Pengalaman Mahal untuk Indonesia yang Lebih Kuat", (2). A Winner of Class Miting Content Competition for Teachers Period July-September 2022. (3). The 3rd Winner of Expat.Roasters Giveaway 2024.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Eks Timor-Timur, Cerita yang Tak Sepi Peminat

2 Oktober 2017   22:50 Diperbarui: 3 Oktober 2017   21:17 2348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

     Presiden RI Bung Karno pernah mengatakan, "Jangan sekali-kali melupakan sejarah". Nah, mengungkit sejarah masa lalu Timor Leste saat bersatu dengan Indonesia dalam masa integrasi menjadi topik yang menarik para pembaca. Di Situs UC We Media pada senin, 02/10/2017, sebuah artikel berjudul Mencermati Para wanita Pejuang Fretelin 1970-an berhasil mendapatkan 3.780 pembaca. Padahal artikel ini saya sudah posting di Kompasiana cukup sepih sebab baru  mendapatkan 602 pembaca. Artikel keduaku yang banyak pengunjung di UC We Media hari ini ialah Menanti Akhir Kisah Terpidana Mati HJM yang mendapatkan 2.185 pembaca hanya untuk hari ini saja. Padahal artikel ini hingga kini hanya mendapatkan 118 pembaca di Kompasiana.com.

Dari pengalaman ini, saya berkesimpulan bahwa kisah tentang eks. Timor-Timur pada masa lampau amat menarik bagi para pembaca UC We Media saat ini. Saya masih memiliki sejumlah besar artikel seputar kisah Timor-Timur di Kompasiana yang tentu saja siap meraup pembaca di UC We Media pada masa yang akan datang. Saya lahir, besar, bersekolah dan mengabdi di Atambua, sebuah kota perbatasan Timor Leste-Indonesia. Tentu saja pengalaman ini menambah wawasan saya seputar pengalaman masa lalu tentang eks. Timor-Timur. Dalam posisi inilah, saya mencoba untuk menempatkan diri pada posisi yang tepat sebagai cendikiawan dalam menilai masalah masa lalu kedua negara yang amat sensitif.

Foho Matebian tampak di puncak gunung Matebian di Timor Leste. Foho Matebian adalah tempat dilakukan berbagai ritus adat orang Timor Leste (Foto: Tiago Amaral Sarmento/Grup Facebook Sejarah Timor jilid II)
Foho Matebian tampak di puncak gunung Matebian di Timor Leste. Foho Matebian adalah tempat dilakukan berbagai ritus adat orang Timor Leste (Foto: Tiago Amaral Sarmento/Grup Facebook Sejarah Timor jilid II)
Kalau tidak ada Timor Leste, apa yang terjadi dalam sejarah di bagian Timur pulau Timor itu ialah jalan kekerasan dan konflik yang tak berkesudahan. Penyebab Timor Leste berpisah dari Indonesia bukanlah Australia atau negara-negara tetangga, Resolusi DK PBB tahun 1976 adalah Resolusi dari sebuah institusi tertinggi di dunia yang secara tidak langsung telah ikut membuat Timor-Timur "bagaikan neraka" selama integrasi.

Betapa tidak, pada tahun 1976, setelah invasi Indonesia, DK PBB memberikan voting pertamanya untuk Timor-Timur. Hasilnya: hanya 50% para anggota PBB mendukung integrasi Timor-Timur masuk Indonesia. Sedangkan sisanya 50% tidak mendukung integrasi Timor-Timur masuk Indonesia. Resolusi PBB tahun 1976 menjadi senjata pemungkas untuk tumbuhnya gerakan bersenjata prokem Timor Leste selama 23 tahun masa integrasi.

Resolusi DK PBB tahun 1976 membuat hukum di Timor-Timur saat itu bagaikan situasi sebuah negara antara "ada dan tiada'. Saat hukum Timor Leste tidak lagi berdaulat, pertikaian dan pelanggaran moral akan terus terjadi. Pembunuhan dan kekerasan terhadap manusia, khususnya wanita dan anak-anak dan kaum tua merupakan puncak dari segala pelanggaran dalam sebuah daerah tanpa hukum dan aturan pasti. Saat sebagian besar masyarakat memihak Indonesia, sebagian lainnya berjuang meraih kemerdekaan dengan melakukan perjuangan fisik dan lobi-lobi internasional.

Agaknya konflik dan kekerasan tidak hanya dilakukan pasukan pro Integrasi. Semua elemen bersenjata, termasuk pasukan prokem malahan paling lama melakukan taktik kekerasan, selama 23 tahun integrasi. Konon taktik kekerasan yang dilakukan pasukan Xanana selama 23 tahun memicu kemarahan gereja Katolik terhadap pasukan pejuang Xanana.

Gereja Katolik pernah meminta agar Xanana dan pasukannya berhenti untuk melakukan jalan kekerasan untuk perjuangannya. Hal itu terjadi tahun 1986, saat gereja sadar bahwa pertikaian perang tidak akan membawa keberhasilan dalam perjuangan. Di kompleks gedung Colegio Nossa Senhora de Fatima itulah pertemuan itu dilaksanakan. Pertemuan itu disponsori oleh Dubes Vatikan untuk Indonesia, Mgr Fransesco Canalini.

Pada 25 April 1986, di kompleks tersebut, Mgr. Carlos Belo bersama beberapa biarawan Salesian di Fatumaca, diam-diam menemui komandan Falintil Xanana Gusmo. Pertemuan diadakan atas permintaan Duta Besar Vatikan untuk Indonesia Francesco Canalini. Para biarawan itu menyampaikan salam dan pesan dari Francesco Canalini: Pertama, menawarkan bantuan Gereja Katolik sebagai perantara sekiranya Xanana akan bepergian ke luar negeri. Kedua, Gereja Katolik minta agar Xanana dan para pengikutnya lebih mengedepankan perjuangan diplomasi. Gereja Katolik sadar bahwa dengan perjuangan bersenjata, Xanana takkan menang melawan Indonesia. Ketiga, Gereja Katolik meminta agar Xanana dan para pengikutnya tak lagi membakar rumah dan barang para warga.

"Kami gerilyawan tidak akan ke luar negeri, ini negeri kami. Walaupun kami akan mati dan terkikis habis, kami tak akan menyerahkan diri, juga tak akan pergi ke luar negeri. Kami siap untuk mati berdiri seperti tumbuhan," jawab Xanana seperti dikutip dari tulisan Fransiskus Pascaries dari Media IndoPROGRESS di bulan April 2017 berjudul Bulan Madu dan Masa Lalu 2 Bangsa.

Fransiskus Pascaries menceriterakan dalam tulisannya bahwa menjelang tengah malam pertemuan itu berakhir. Seorang imam menemani Xanana hingga ke perkebunan untuk kembali masuk hutan. Uskup Belo dan para imam itu pun kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Uskup Belo dan Pastor Jos Antonio da Costa, yang mendampinginya dari keuskupan Dili, kembali ke Dili keesokan harinya.

Kisah kekerasan massa pendukung prokem telah berlanjut mulai tahun 1974 hingga pada detik-detik dan beberapa waktu sesudah referendum, bahkan beberapa anggota TNI/Polri dan milisi telah menjadi korban. Seperti biasa rumah-rumah dibakar dan dirusakan, harta benda dijarah. Kelompok prokem memaksa masyarakat untuk ikut dengan mereka. Kalau menolak, mereka ditembak, kisah Cristoper Madeyra (32 th), kelahiran Dili, saat ini tinggal di Jakarta (Korban)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun