Pada periode kolonialisme, pulau Timor dikendalikan oleh berbagai pendudukan militer, mulai dari Portugis, Belanda, Australia dan Jepang. Pergerakan pasukan pada perang dunia kedua mendapatkan tensi tinggi dan merupakan puncak dengan berbagai peralatan perang berat dan modern. Selain pendudukan militer, perang saudara telah memperkuat ketertindihan dan penderitaan orang Timor itu sendiri.Â
Akhir dari periode ini, setelah Portugis angkat kaki oleh revolusi bunga di negerinyatahun 1975, Indonesia 'terpaksa' masuk demi memperkuat eksistensi orang Timor-Timur sebagai bagian dari tetangganya Timor Barat yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dengan Indonesia. Pengerahan dan pergerakan pasukan yang semula ingin damai mendapatkan tantangan dan perlawanan keras dari kelompok Fretelin dengan melancarkan perang gerilya. Motivasi Fretelin terbuai oleh janji-janji manis terhadap eksplorasi laut Timor oleh berbagai perusahan luar negeri yang terus saja memonitor perkembangan Timor-Timur. Boleh dikatakan bahwa saat itu, rakyat Timor menderita dalam berbagai segi, termasuk oleh Fretelin saat melakukan perang gerilya.
Setelah melalui penderitaan hebat, Timor diberikan Referendum oleh Presiden RI saat itu, B.J. Habibie. Referendum ternyata mendatangkan pergolakan baru dengan pasukan-pasukan milisi yang terus melakukan kekerasan fatal sebelum dan setelah Referendum yang kemudian menghasilkan pilihan kemerdekaan. Pilihan kemerdekaan membuat Timor terlepas sama sekali dari penderitaan? Ternyata sebagian kecil tidak, utama dialami rakyat Timor sendiri. Tampaknya penderitaan terus menimpah orang Timor. Pasukan PBB multinasional memperkuat posisi sebagai kekuatan militer untuk mengatasi krisis demi krisis akibat sepak terjang milisi pro integrasi yang membawa beban baru bagi rakyat yang makin menindas.
Setelah pasukan PBB pergi, orang Timor menghadapi kemelut baru terkait pembagian hasil eksplorasi migas di cela Timor yang menurut mereka masih tidak menguntungkan. Bayangkan dari total penghasilan USD 40 M setiap tahun, Timorleste hanya mendapatkan sekitar USD 1-2 Milyar. Harapan orang Timor terhadap penghasilan dari migas Milyaran dolar terkubur. Dan semakin hari bertambah, laut Timor dipenuhi pembangunan 'ratusan' Platform eksplorasi migas canggih yang melibatkan perusahaan-perusahaan raksasa migas dunia. Negara Timorlestepun diprediksikan hidup dari bantuan asing.Â
Sulit memang memikirkan nasib orang Timor di tengah-tengah berbagai percaturan eksplorasi migas dengan peralatan canggih di sekitaran laut Timor yang tampaknya kurang menguntungkan orang Timor, namun harus melayani berbagai kepentingan ekonomi negara-negara dunia pertama. Ah, nasib orang Timor tetap menderita akibat berbagai kepentingan eksplorasi migas. Nasib orang Timor masih menderita akibat diskusi dan kehendak berbagai perusahaan multinasional.Â
Sebab terbukti bahwa berbagai peralatan berat eksplorasi yang ditanam dan didirikan di laut Timor ternyata tak membikin orang Timor keluar dari kemelut. Lalu kapan nasib orang Timor akan menjadi lebih baik. Jawabannya berada di dalam pikiran dan sanubari orang Timor sendiri sebab Timor bagian timur telah merdeka dan mereka berhak mengubah guratan takdir dari semula yang terus menjadi korban, lalu menjadi subjek atas nasib sendiri untuk menjadi lebih baik dan bermartabat, bukan terus jadi korban dari persaingan memperebutkan sumber-sumber energi baru.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H