Mohon tunggu...
Blasius Mengkaka
Blasius Mengkaka Mohon Tunggu... Guru - Guru.

Alumnus Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) di Universitas Negeri Nusa Cendana Kupang Tahun 2008. Pemenang Topik Pilihan Kolaborasi "Era Kolonial: Pengalaman Mahal untuk Indonesia yang Lebih Kuat" dan Pemenang Konten Kompetisi KlasMiting Periode Juli-September 2022.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Maumere-Sikka, Kota dengan Makam di Halaman Rumahnya

3 Januari 2017   16:45 Diperbarui: 3 Januari 2017   22:17 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puskesmas rawat inap Mapitara (Foto:seputarmapitara.blog.co.id)

Bila mengunjungi Maumere-Sikka, orang pasti akan menyaksikan adanya makam-makam di halaman rumah penduduk. Makam-makam itu disusun dengan batu marmer berwarna dengan rumah kecil dan lampu pada malam hari. Bangunan makam dibangun di halaman rumah bertujuan  agar kaum keluarga yang masih hidup selalu dekat dengan keluarganya yang dimakamkan. 

Saat kami melewati rumah-rumah penduduk sepanjang jalan, selain kami dapat menyaksikan makam-makam di halaman rumah penduduk, juga kami menyaksikan sesama saudaraku orang-orang Sikka sedang sibuk membangun makam dengan tenda-tenda. Itu berarti ada pesta kenduri. Ternyata banyak penduduk sedang sibuk membangun makam keluarga saat itu. Ya, orang memanfaatkan musim baik sepanjang Juni-Juli setiap tahun untuk merenovasi makam anggota keluarganya.

Saat kami dengan kendaraan mini bus milik sepupu Tribusius memasuki Galit-Mapitara, kami menyaksikan makam sepupuku Januarius telah dimakamkan di beranda rumah yang dibangun dengan usaha sendiri. Beberapa bulan sebelumnya, saat saya menelepon sepupuku guru Didimus, tentang di mana kakak Januarius dimakamkan, guru Didi memberitahukan bahwa kakak Januarius dimakamkan di beranda rumahnya. Saat kami masuk dalam rumah, ternyata benar. Tiga malam pertama, Mama tampak ketakutan karena Mama dan saudariku Yustina tidur di kamar dekat dengan makam kakak Januarius. 

Saya justru berkamar tidur sekitar 4 meter saja dari makamnya kakak Januarius dan makam saudara kandung ayahku bapak Kornelius Kodja. Saudaraku Bonifasius pernah bercerita bahwa tahun 1979 saat dia bersama ayah ke Mapitara, bersama ayah dia tidur di tempat tidur almarhum bapak Kodja. Malam-malam, Almarhum datang dan mengorek kaki kanan kakak Boni, beliau langsung teriak. Ternyata itu sapaan selamat datang dari leluhur ayah.

Halehebing dan Galit di Mapitara sekarang tampak seperti kampung-kampung modern, merupakan ibu kota Kecamatan Mapitara. Selama kami berada di Galit - Mapitara, kami justru ramai-ramai ikut membangun makam kakak itu hingga acara nara krus. Sepanjang berhari-hari dilangsungkan acara adat dan ritus pertanian, berbagai ritus adat tanah persekutuan Halehebing. Menurut tetua adat, kakak Januarius merupakan pemegang adat Halehebing, oleh karena itu harus dibuatkan ritus adat lengkap. Sebagai sepupu lelaki, saya paling rajin mengikuti berbagai ritus adat Halehebing, soalnya setelah selesai membuat satu ritus adat, kami diberi hadiah minuman keras lokal moke 1 gelas. Hadiah bagi anggota keluarga yang ikut ritus adat di Lepo da Iry ialah segelas moke. Ini membuat saya selalu ingin hadir, meskipun saya hanya mendengarkan.

Saat saya pergi misa hari Minggu, saya melihat juga makam guru Elias Mema dibangun di beranda rumahnya sendiri. Saya sempat singgah dan berdoa sejenak di makamnya. Saya mengucapkan doa agar beliau beristirahat dalam damai abadi di rumah Tuhan. Lalu saya mohon ampun kepada Tuhan atas segala kekhilafan dan dosa selama guru Elias Mema hidup dan berkarya.

Pada suatu pagi, saya sempat pergi ke Pantai Galit. Di pantai itu, saya dapat menyaksikan empasan ganas ombak laut selatan Flores. Saya masih ingat sepanjang malam ombak keras menggemuruh di laut lepas dekat rumah guru Didimus. Kini saya melihat langsung ombak yang mulai lemah. Tiba-tiba sebuah perahu di tengah lautan Pantai Galit mengeluarkan suara dentuman keras. Seorang nelayan Galit segera menuju perahu 2 cadiknya lalu mengayun perahunya ke arah perahu itu. "Mereka sedang membom ikan. Saya harus mengusir mereka," katanya lalu ia meluncur di lautan. Setelah ia berjuang keras, ia tiba dekat perahu itu. Nelayan perahu itu membom ikan dan mendapatkan hasil banyak. 

Nelayan itu mendapatkan sekitar 3 ikan hitam karang. Ia membawa ke pantai, lalu saya bersama paman Petrus Mali membeli seharga Rp 20 ribu. Saya membawa ikan itu ke rumah lalu kami menyantap. Suatu siang, camat Mapitara bertandang ke rumah kakak Januarius. Beliau menjelaskan arah program pembangunan kecamatan Mapitara. Saya hanya memberikan saran-saran agar bagaimana caranya kecamatan itu memiliki listrik lebih dahulu sebelum ada Tower Telkomsel. "Listrik merupakan kebutuhan paling utama sebelum kita menuntut adanya Tower Telkomsel", kata saya kepada ibu camat Mapitara saat itu di bulan Juli 2016.

Artikel-artikel lainnya:

1. Saya dan Keluarga Besarku

2. Tiga (3) Batu Tungku Pemerintahan Adat Tanah Persekutuan Halehebing 

3. Tanah Halehebing, Moke dan Gunung Egon

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun