Film aktion Rambo sangat populer di dunia pada era sekitar tahun 1987-an. Di era itu gambar-gambar lakon di film laga ini menghiasi kulit-kulit buku tulis. Saya ingat benar, kulit buku tulisku selalu kupilih Cover para jagoan dalam film Rambo. Saat pelajaran sering ingatanku kembali ke cuplikan film Rambo. Melalui gambar-gambar itu, kubayangkan bahwa tokoh Rambo ialah tokoh superhebat yang tak pernah kalah dalam setiap laga-laga di film-filmnya. Membayangkan film Rambo saat pelajaran di kelas, sering membuat konsentrasiku jadi terganggu. Sedangkan di ujung kelas sana, guru sedang sibuk menerangkan pelajaran.
Padahal saat kami SD, kami amat jarang menonton Televisi, amat jarang. Karena letak desa kami jauh dari kota Atambua. Hanya TV dapat ditemukan di kota kecil itu. Saat itu memang pemancar TV amat terbatas. Kalau kami pergi ke kota Atambua, kami sangat senang melihat kota kecil itu dengan gedung-gedung megah, juga sangat ingin menonton TV dan Bioskop.
Suatu kali bersama teman kelasku aku berdiskusi tentang tokoh Rambo. Kami sepakat bahwa tokoh Rambo ialah pelaku utama dalam Film jagoan itu sehingga dia selalu menang dalam duel-duel maut yang seru. Mustahil kalau Rambo kalah dalam film-film yang dibintanginya. Kalau ia kalah berarti film akan bubar. Ia adalah bintang film utama, jelas bahwa ia selalu menang dalam berbagai film-film aktion yang dibintanginya.
***
Pernah aku merefleksikan dengan bertanya diri bahwa apakah Presiden NKRI merupakan pelaku utama dalam pemerintahan NKRI? Terhadap pertanyaan ini, kita harus menjawabinya berdasarkan pengalaman bernegara yang telah kita lalui. Ada banyak pengalaman yang menunjukkan bahwa pada masa lalu Presiden NKRI bukan pelakon utama seperti Rambo dalam pemerintahan NKRI, atau Presiden NKRI bukanlah Rambo dalam tata negara NKRI. Paling tidak fakta-fakta berikut bisa membuktikannya: lengsernya Presiden Soekarno karena pidato pertanggungjawabnya ditolak MPR tahun 1966, lengsernya Presiden Soeharto karena demonstrasi para mahasiswa/i, krisis ekonomi dan tuduhan korupsi, dll, impeachment Presiden Gus Dur oleh MPR pimpinan Amien Rais adalah gejala-gejala bahwa Presiden-Presiden NKRI bukanlah Rambo-Rambo dalam NKRI ini namun dalam menjalankan amanat rakyat mereka harus taat di bawah MPR.
Namun ketika UU Otonomi berlaku dan bangsa Indonesia memulai lagi sistem multi Partai dan Pemilu langsung, kedudukan MPR ternyata mulai banyak berkurang. Muncul lembaga-lembaga tinggi negara yang baru misalnya KPK, DPD, Komisi Yudisial dan MK. Sementara itu kinerja DPD mulai ada gejala rasa kontraproduktif karena kurang berkontribusi dalam menghasilkan produk-produk di bidang tata negara.
Dengan sistem Triaspolitika, Presiden NKRI dalam amandemen UUD 1945 memang bukan Rambo dalam tata pemerintahan karena setelah MPR ‘turun status’ menjadi lembaga legislatif atau lembaga tinggi negera, kedudukan MPR setingkat dengan Presiden NKRI. Dahulu sebelum amandemen UUD 1945, MPR merupakan lembaga tertinggi negara yang mampu menghentikan lajunya seorang Presiden NKRI, misalnya melalui impeachment.
Dengan adanya amandemen UUD 1945 yang menurunkan status MPR sebagai lembaga tinggi negara maka Presiden NKRI jelas tidak bertanggung jawab lagi kepada MPR seperti dahulu, namun Presiden dan MPR ialah sederajad. Sekarang ini apabila DPR merasa bahwa Presden tidak lagi menjalankan roda pemerintahannya secara benar maka DPR seturut Amandemen UUD 1945 Pasal 17 A dapat memutuskan impeachment kepada Presiden NKRI melalui sidang paripurna DPR yang dihadiri dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 anggota DPR. Setelah keputusan impeachment ditetapkan DPR maka keputusan impeachment DPR harus diajukan kepada MK untuk dipertimbangkan entah setuju ataukah tidak setuju. Setelah MK menerima permohonan itu maka MK mengadakan sidang untuk mendukung atau menolak impeachment yang telah ditetapkan oleh DPR. Setelah keputusan MK dijatuhkan, entah menolak atau menerima keputusan DPR maka hasil keputusan MK perlu diteruskan kepada MPR. Lalu MPR bersidang untuk melaksanakan keputusan yang telah dijatuhkan oleh MK. Artinya: MPR tidak lagi berfungsi untuk menjatuhkan pilihan namun MPR bersidang untuk menjalankan keputusan MK. Kata menjalankan artinya; apa yang ditetapkan oleh MK hanya perlu disempurnakan atau dikuatkan oleh MPR dalam sidang MPR.
Rampingnya Presiden Jokowi, memang agaknya sangat besar jauh dari tokoh Rambo dalam film-film aktion dari AS itu. Berbeda dengan Si Rambo yang selalu tepat berpikir dan bertindak dan sulit salah kalau menembak sasaran sehingga selalu tampil menang, sosok Presiden Jokowi memang tampil bukanlah seperti si Rambo. Dia bisa saja Presiden yang tampil tanpa cacat cela, bisa saja. Namun pengalaman menunjukkan bahwa seorang Presiden bisa saja salah oleh ulah para pembantu dekat di dalam dan di sekitar istana termasuk kesalahan para menteri, para Gubernur dan para petinggi lembaga negara. Masalah-masalah menyangkut pasar bebas ASEAN yang menuai polemik karena terbukti merusakkan lingkungan hidup dengan terbakarnya hutan-hutan di Kalimantan dan Sumatera, lengsernya mantan ketua DPR Setya Novanto, masalah reklamasi pantai utara Jakarta, serta rencana pembangunan kereta api cepat Bandung-Jakarta dan rencana pembangunan kereta api Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi bahkan mungkin Papua. Serta 'misteri' hadirnya investasi China dengan ratusan ribu pekerja kasar China di Indonesia. Juga disebutkan juga bahwa masalah kenaikan harga BBM yang terus saja dilakukan Presiden selama menjabat sebagai kepala negara NKRI merupakan masalah kecil namun berefek besar bagi kelanjutan ‘tahta’ orang Nomer 1 NKRI ini.
Tentang tantangan global di abad 21 nanti, Presiden Joko Widodo dalam Situs resmi Presiden RI http://www.presidenri.go.id yang dipublikasikan pada 2 Mei 2016 dalam rangka merayakan Hari Pendidikan Nasional antara lain menandaskan“....
"..Di abad 21 anak-anak Indonesi harus mampu menghadapi masalah-masalah yang kompleks dan tidak terstruktur. Perubahan platform kehidupan menjadi digital life platform adalah perubahan besar yang harus diantisipasi sedini mungkin oleh sistem pendidikan, mulai dari pendidikan dasar, menengah sampai pendidikan tinggi. Pendidikan harus mampu merespon kebutuhan untuk menjawab tantangan jaman"
Selanjutnya beliau menegaskan,
“...Pendidikan harus mampu meningkatkan kompetensi kemampuan kreativitas, kemampuan berpikir kritis dan memecahkan masalah. Meningkatkan juga kemampuan komunikasi serta kemampuan kolaborasi. Segala capaian yang kita raih sebagai individu maupun sebagai bangsa kolektif tak lepas dari persinggungan dengan pendidikan. Mutu dan jenjang pendidikan berdampak besar pada ruang kesempatan untuk maju dan sejahtera. Harus dipastikan setiap manusia Indonesia mendapatkan akses pendidikan yang bermutu sepanjang hidupnya.
Melalui pendidikan, kita mengangkat harkat dan martabat manusia sekaligus membangun peradaban bangsa. Dengan pendidikan kita memanusiakan seluruh rakyat Indonesia karena pendidikan yang baik dan bermutu akan membuahkan kebajikan, kecerdasan dan karakter yang memiliki integritas tinggi.
Untuk mampu bersaing di dunia global, pertama-tama kita harus meningkatkan kualitas manusia Indonesia menjadi manusia yang berdaya saing tinggi, produktif dan tangguh. Itulah tugas mulia para guru sejak dahulu sampai kapanpun. Selamat Hari Pendidikan Nasional...” (Presiden Joko Widodo, Pendidikan Untuk Membangun Peradaban Bangsa dalam www.presidenri.go.id).
Tampaknya penegasan Presiden Joko Widodo di atas sangatlah benar. Namun naiknya seorang Presiden NKRI yang bukan semata-mata karena prestasi kerja di masa lalu namun karena popularitas yang tergenjot oleh publikasi Media-Media dan dukungan arus bawah bisa menyebabkan ketidakpercayaan para pembantu dekatnya. Mereka tahu dan yakin benar bahwa selama menjadi Wali kota Solo, banyak rakyat Solo tetap miskin. Demikianpun rakyat miskin Jakarta tetap tergusur. Bahkan belum sampai merealisasikan janjinya selama kampanye menjadi Gubernur DKI Jakarta, beliau sudah meninggalkan posisinya, naik menjadi Presiden NKRI yang besar. Rakyat miskin Jakarta tetap terus digusur dari rumah-rumah penginapan kumuh dan pemerintah membangun Rusunawa yang tampaknya memberi beban keamanan dan beban biaya bersamaan dengan terus naiknya beberapa kali harga BBM di seluruh pelosok NKRI.
Dengan menekankan harmonisasi kehidupan, kita berdoa dan berharap, mudah-mudahan Presiden Joko Widodo bisa belajar dari “kegagalannya” memimpin Solo dan Jakarta pada masa lalu...................
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H