Hal yang mengembirakan di NTT ialah jumlah peserta didik melimpah
Boleh dibilang saat ini tak satupun SMA/SMK/MA masuk kategori taraf internasional di NTT. Namun selalu ada hal yang menggembirakan ialah pertama bahwa hanya bermodalkan ketekunan dan kerja keras maka setiap tahun mutu sekolah-sekolah mulai merata di sini. Lalu kedua, di sini jumlah para siswa/i dan para gurunya melimpah. Jadi SMA/SMK/MA di sini berprospek untuk jadi sekolah berkaliber bila ditata dan diorganisasi secara baik.
Dahulu Sekolah di sini mengandalkan Seminari-seminari. Sekarang tampaknya tidak lagi sebab nyata bahwa mutu Pendidikan di NTT makin merata. Ini terbukti pada UN tahun 2014/2015 yang lalu, ketika Direktorat Pembinaan SMA Pusat di Jakarta melakukan pengamatan, kajian dan penyelidikan terkait SMA/SMK/MA di setiap Kabupaten di NTT yang paling jujur dalam melakukan UN dan nilai paling tinggi dalam UN. Hasilnya untuk Kabupaten Ende dilaporkan SMAK Suryadirakara Ende telah dilaporkan memiliki hasil IIUN tertinggi sekabupaten Ende.
Direktorat Pembinaan SMA hanya mempublikasikan hasil temuannya di kabupaten Ende, sedangkan untuk Kabupaten-Kabupaten lainnya belum diumumkan. Padahal Kabupaten-Kabupaten lainnya terdapat banyak Seminari, misalnya di Kabupaten Belu ada SMA Seminari Lalian, di Kabupaten Kupang ada SMA Seminari St. Rafael Oepoi, di Kabupaten Flotim ada SMA Seminari Hokeng, Di Kabupaten Ngadha ada SMA Seminari Mataloko, Di Manggarai ada SMA Seminari Kisol dan SMA Seminari Labuanbajo.
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/12/23/1381245-243999519083896-1981431993-n-567a34c6d37a61c30f85b952.jpg?v=400&t=o?t=o&v=770)
Konteks NTT, boleh dibilang di atas kertas, Seminari-Seminarilah yang sejak lama memiliki kredibilitas sebagai sekolah paling jujur dalam melaksanakan UN tahun demi tahun meskipun belum diumumkan secara resmi. Namun fakta membuktikan itu tahun demi tahun. Hanya bahwa out put kelulusan Seminari-Seminari memang bukan untuk konsumsi SNMTN namun untuk kepentingan pendidikan calon pemimpin gereja atau klerus.
Pemunculan nama SMA Suryadikara Ende sebagai SMA dengan nilai IIUN tertinggi di Kabupaten Ende untuk UN SMA tahun 204/2015 dirasa tepat karena selama ini SMA Suryadikara Ende merupakan salah satu sekolah unggul yang kredibilitas dan fasilitasnya telah diakui public di NTT. Namun semakin tahun, sekolah-sekolah swasta dan negeripun mulai banyak yang naik kredibilitasnya baik fasilitas, kualitas guru-guru maupun tata cara pengelolaan sekolah tersebut.
Mengapa Belum Ada?
Karena mutu pendidikan di sini masih belum bagus. Dua faktor utamanya ialah karena ada halangan tradisi dan ada warisan kemiskinan. Meskipun memiliki nilai IIUN tertinggi sekabupaten Ende, namun SMA Suryadikara jangan terlalu berbangga diri. Sebab untuk tingkat nasional SMA-SMA yang terakreditasi A di NTT masih jauh di bawah standard nasional.
Kalau kita bandingkan dengan salah satu SMA paling terkenal di Indonesia yakni SMA Muhammdiyah 1 Gresik, ternyata Sekolah-Sekolah kita di NTT masih cukup tertinggal. Maka Sekolah-Sekolah kita jangan puas diri dengan akreditasi A. Namun Sadarlah bahwa status Terkareditasi A itu belum final. Cocoknya Status itu hanyalah sebagai sarana untuk mengoreksi diri dalam peningkatan prestasi baik pengelolaan, penyelenggaraan maupun operasional.
Banyak sekolah yang berhasil mendongkrak mutu lebih dari Akreditasi A. Salah satunya SMA Muhammadiyah 1 Gresik yang sejak tahun 2009 berhasil menjadi Sekolah Rintisan Bertaraf internasional dan Menerapkan system manejement mutu ISO 9001, 2008. Salah satu keunggulan SMA Muhammadiyah 1 Gresik ialah sekolah itu sejak tahun 2009 telah berhasil melaksanakan Manejemen Sekolah Modern Berbasis Teknologi, Informasi dan Komunikasi di mana seluruh Komputer dalam sekolah itu langsung terhubung dengan jaringan Lokal Area Network (LAN).
Lalu Perlukah Indeks Integritas Ujian Nasional (IIUN)?
Bahkan sangat perlu. Tapi tampaknya IIUN bersifat elitis. Hanya untuk kepentingan penerimaan di SNMPTN. Sedangkan Universitas/PT/Akademi swasta tidak. Sejak UN T.A 2014/2015 yang lalu, pemerintah melalui Direktorat Pembinaan SMA Pusat telah melakukan Analisis Pelaksanaan UN untuk menentukkan Indeks Integritas Ujian Nasional (IIUN). Selanjutnya untuk tahun ajaran 2017, hasil IIUN dari masing-masing SMA/SMK/MA nantinya akan menjadi salah satu persyaratan Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) melalui jalur SNMPTN. Analisis Pelaksanaan UN ini sangat penting karena nantinya hal itu hanya berlaku bagi para mahasiswa/i yang masuk PT melalui jalur SNMPTN.
Dengan demikian, nilai kelulusan UN tidak menjadi satu-satunya faktor penentu penerimaan di SNMPTN melainkan juga harus didukung oleh faktor IIUN-nya. Meskipun memiliki nilai UN tertinggi namun IIUNnya rendah maka seorang mahasiswa/i tidak bisa diterima untuk SNMPTN. SNMPTN hanya menerima calon mahasiswa/i dari SMA/SMK/MA yang memiliki IIUN tinggi dan nilai perolehan UNnya tinggi. Artinya, IIUNnya harus tinggi sama seperti nilai UNnya harus juga tinggi.
Selama ini, secara hukum, para pengawas UN merupakan para pengawas yang menjadi “Penjamin” bahwa pelaksanaan UN dilakukan secara jujur, bersih dan terkendali tanpa ada indikasi kecurangan, dll melalui sumpah atau janji pengawas oleh Sekolah Penyelenggara US/UN lalu selanjutnya juga dilakukan melalui penandatanganan Pakta Integritas dari para pengawas ruang UN di dalam ruangan saat pelaksanaan UN setiap tahun. Namun itu tidak cukup, sebab dalam pelaksanaannya ada berbagai pengawas yang ikut menentukkan kepengawasan dalam UN, termasuk nantinya Tim Universitas dan Dinas PPO. Dalam arti bahwa IIUN, meskipun secara resmi telah mulai dilakukan sejak UN T.A 2014/2015, namun sebenarnya IIUN sudah lama ada bahkan telah melekat erat pada yang namanya Ujian Akhir Nasional (UAN) itu sendiri.
Untuk konteks NTT, sekolah-sekolah Katolik, utamanya Seminari-seminari menjadi teladan paling diakui dalam pelaksanaan UN tahun demi tahun. Diyakini bahwa sekolah-sekolah Katolik, utamanya Seminari telah melakukan praktik kejujuran selama bertahun-tahun. Sekolah-sekolah ini, nantinya menghasilkan out put-out put yang sangat berjasa dalam pendirian-pendirian atau pengelolaan sekolah-sekolah baru sesudahnya baik jenjang pemerintahan maupun swasta.
Seminari-seminari, yang untuk konteks Eropa merupakan Sekolah keagamaan paling pertama hadir untuk mencetak pemimpin gereja Kristen khususnya gereja katolik telah menjadi tonggak pendidikan sejak abad pertengahan hingga kini dan masa yang akan datang. Di sana, Mapel filsafat, teologi, bahasa, konferensi, matematika, IPA, Georgafi, Alkitab, dll diajarkan secara intensif sambil menyeimbangkan dengan Les Kurikulum dan kegiatan keagamaan model biara. Selain itu pada saat-saat tertentu ada hari-hari wajib bahasa Inggris dan para siswa/inya dilatih untuk melakukan silentium magnum selama jam-jam tertentu pembinaan.
Meskipun Seminari-seminari untuk konteks Timor dan sekitarnya barulah didirikan dan melakukan aktivitasnya secara kontunuo pada awal abad XX atau sekitar tahun 1920-an. Seminari-Seminari di Timor dan sekitarnya ketika itu didirikan bersamaannya dengan inisiatif pemerintah kolonial Belanda melakukan politik etis atau balas budi untuk Hindia Belanda. Dengan pendidikan ketat, para siswa/i itu didik dan diarahkan untuk menjadi pemimpin umat mula-mula untuk gereja local namun akhirnya untuk gereja universal sejalan dengan makin berkurangnya para calon misionaris asal Eropa karena ketiadaan panggilan untuk menjadi pemimpin gereja sementara itu para misionaris Eropa yang ada semakin tua dan tidak ada yang bisa menggantikan mereka.
Terlalu “Menuntut”, Bukan “Mencari/Menimbah” Ilmu
Ketika masyarakat pendidikan terlalu “menuntut ilmu” dan bukannya “mencari ilmu” maka konsekuensinya jelas nilai moralitas dan etika diabaikan. Ini sesuai dengan slogan: untuk mencapai tujuan, orang menghalakan banyak cara. Jelas, menurunnya moral dan etika guru dan siswa kini sedang menjadi sorotan. Banyak kejadianmenunjukkan bahwa baik siswa maupun guru sama-sama melakukan banyak hal yang menyimpang dari etika dan moral karena terlalu banyak “menuntut” bukannya banyak “mencari” ilmu dan kemajuan. Katakanlah kata ‘menuntut ilmu’ sendiri menunjukkan adanya hal-hal yang dirasa hilang akibat dirampas, dan orang ingin mendapatkannya kembali.
Hal yang paling banyak disoroti kini ialah pada persoalan etika atau moral baik para guru, para siswa/i maupun para kepala sekolah. Selama ini kehidupan etika bagi segelintir kalangan masyarakat pendidikan umumnya masih belum bagus. Tentang ini, paradigma paling mencuat ialah adanya paradigm masyarakat peserta didik yang mnggunakan kalimat: MENUNTUT ILMU”. Dengan Kata MENUNTUT ILMU maka yang dimaksudkan ialah MENUNTUT SEKOLAH, menuntut fasilitas sekolah dan menuntut guru-guru dan kepala sekolah untuk memberi ilmu dan fasilitas. Bahkan segala carapun dilakukan dengan MENUNTUT.
Sekarang ini, bahkan bukan hanya peserta didik yang menuntut, juga guru-gurupun menuntut gaji dan fasilitas. Ini menyebabkan kekacauan sering terjadi di antara para pendidik, peserta didik bahkan antara pendidik dan peserta didik sekalian. TUNTUT–MENUNTUT di sekolahpun sering terjadi.
Akhir dari aksi MENUNTUT itulah sering pribadi-pribadi tertentu dari para guru dikorbankan, baik korban perasaan, biaya, waktu maupun tenaga. Logikanya para siswa/i menuntut dan para guru tertentu menjadi dikorbankan, termasuk beberapa orang para guru professional.
Ciri-Ciri Sekolah Modern Taraf Intenasional
Setelah lebih dari 70 tahun Indonesia merdeka tampaknya perjuangan bangsa Indonesia untuk meraih pendidikan belumlah selesai. Bukan hanya kualitas pendidikan mesti diraih namun juga pemerataan system pendidikan sebab pendidikan merupakan tanda paling utama dari kemerdekaan sebuah bangsa, termasuk bangsa Indonesia. Lihat saja adanya berbagai tingkatan sekolah, mulai dari Sekolah Terakreditas C, B dan A hingga sekolah bertaraf nasional dan internasional. Makin tinggi tingkatan sekolah, makin mahal pembayarannya akhirnya Sekolah-Sekolah bertaraf internasional hanyalah milik orang-orang kaya. Masyarakat miskin makin jauh dari penyelanggaraan pendidikan yang berkualitas. Beginilah kalau semua kegiatan di sekolah terporgram dengan Komputer. Berikut, saya ingin mengemukaan ciri-ciri Sekolah Model Nasional menuju Internasional:
- Berbagai administrasi sekolah menggunakan system digital dan otomatis
- Setiap kartu pelajar siswa/i dan kartu pengenal guru dan karyawan merupakan kartu multifungsi dengan adanya pemasangan barcode pada setiap kartu yang nanti bisa digunakan untuk berbagai fungsi administrasi
- Absensi siswa/i menggunakan system digital di mana setiap masuk sekolah, ijin keluar dan pulang sekolah para siswa/i mengantri data melalui mesin absensi data
- Semua data terintegrasi dengan Paket Aplikasi Sekolah (PAS) melalui Fasilitas SMS Gateway, orang tua atau wali siswa/i bisa mengetahui jam kehadiran atau kepulangan siswa/i ,melalui SMS atau melalui Web Sekolah.
- Manejemen Perpustakaan menggunakan system digital mulai dari administrasi kehadiran pengujung sampai dengan inventaris buku. Para pengunjung melakukan absen dengan barcode pada kartu pelajar, pencarian buku dilakukan dengan Komputer.Begitu pula dengan peminjaman semua digunakan dengan sistem digital.
- Aplikasi Pembayaran SPP (APS) sinergi dengan Paket Aplikasi Sekolah (PAS) berbasis Web yang dikembangkan sekolah sendiri.
- Orang tua mengetahui pembayaran SPP dengan system SMS atau Website sekolah. Begitu juga dengan program penilaian hasil belajar siswa/i oleh guru. Guru Mapel mengantri nilai pelajaran melalui Program dan orang tua bisa mengetahui nilai akademiki melalui SMS.
- Siswa dapat mengetahui tambahan ilmu tentang program Komputer, seperti bahasa Pemrograman, elektronika –robotika, akuntasi Komputer dan desain grafis, Web Programming, robotika dan animasi.
Jurusan di SMK Harus Menjawab Persoalan NTT
Salah satu lahan di Timor-NTT yang belum diolah dengan baik
Seperti Gorontalo, di NTT sebenarnya sudah saatnya harus dibuka SMK khusus Jurusan Produksi Jagung dan Padi, tak ketinggalan juga SMK Produksi Pertanian, bukan hanya pada produksi perlatan mesin. Pertanian menjadi dasar kemakmuran bangsa. Sebab hampir 100% para petani di NTT menanam jagung dan padi di kebun mereka. Dalam perjalanan ke setiap kabupaten di NTT melalui jalur darat, terlihat ada banyak lahan tidur yang belum diusahakan untuk menanam jagung dan padi. Lahan-lahan itu ditinggalkan pemiliknya merantau mencari sesuap nasi di tempat perantauan. Mungkin karena kesulitan ekonomi, tanah-tanahpun disadah (digadaikan sementara) sampai utang-utang jadi lunas. Jadi tanah-tanaha kosong, sebenarnya ialah tanah-tanah yang ditinggalkan para pemiliknya ke luar untuk mengadu nasib di tempan rantauan, banyak yang misalnya ke Malaysia sebagai TKI..
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI