"Gereja harus berinkulturasi dengan budaya setempat. Gereja ialah rumah adat besar seluruh dunia, yang menghidupi semangat kekeluargaan dan inkulturasi sebagai keluarga besar umat Tuhan", kata saya waktu memberikan renungan dikelilingi orang tua-tua dan anggota rumah suku besar tetum..
    Setelah ibadah gereja, ketika kami menghitung derma, ternyata jumlah dermanya banyak sekali dibandingkan dengan hari minggu biasa lainnya. Saya ambil kesimpulan, gereja sudah masuk dalam rumah adat. Perayaan adat, adalah juga perayaan gereja yang berinkulturasi. Waktu makan siang dihidangkan, kami diberikan jatah nasi dan daging dalam jumlah banyak dalam tenda pesta adat. Jatah itu ialah jatah nasi dan daging adat. Saya menghabiskan bagian saya. Demikianpun kedua samasaudaraku waktu itu. Malahan kami dihidangkan tuak putih. Pulang dari misa adat itu, saya mabuk sedikit. Itulah realitas gereja etnisitas.
    Pesta adat, pesta gereja karena kami adalah anak-anak yang berasal dari adat NTT juga yang menjadi frater, imam, diakon dan uskup. Itulah pengalaman paling mengesankan ketika saya masih sebagai frater novis SVD. Kami bertiga kini bukan biarawan lagi. Kami bertiga sudah eks biarawan calon imam, saya eks sejak tahun 1998. Namun kenangan menjadi biarawan junior calon imam SVD itu masih tetap membekas dalam hati dan menjadi pengalaman pribadiah dalam iman yang patut kuingat dan kuceriterakan sendiri sebagai pengalaman pribadiku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H