Ilustrasi - bengkel kayu (Sumber:Â intisari-online.com)
  Â
Ketika aku masih kecil, saya lihat ayahku membangun sebuah bengkel kerja pribadi di rumah kami yang sederhana, dahulunya beratap ilalang yang sejuk dan damai. Sedangkan waktu itu rumah kakek/nenekku sudah cukup modern, dibuatkan ayahku tentu. Bengkel kerja ayahku terletak di samping rumah. Sederhana memang. Dua buah tiang setinggi dada ditanamkan ayahku di dalam tanah lalu di atasnya dipasangkan sebilah balok untuk tempat melakukan skaft.
    Seingat saya, peralatan ayah untuk melakukan skaft ada 3 kategori, yakni skaft kasar, alat skaft sedang, dan terakhir alat skaf halus yang ukurannya lebih panjang. Untuk semua kebutuhan dalam pembangunan rumah, ayah menggunakan skaft kasar dan sedang, sedangkan untuk pembuatan barang-barang Mebel misalnya: kursi, meja, lemari, daun pintu, dll semacamnya, ayah menggunakan 3 skaft sekaligus, tentu diawali dengan skaft kasar, lalu skafat sedang dan skaft halus sebagai penutup. Luar biasa memang hasilnya. Rumah-rumah dan peralatan Mebel mirip gaya klasik pada bangunan-bangunan tradisional gaya Eropa/Belandapun berdiri dengan cukup megah. Oleh karena hanya sedikit yang memiliki keahlian demikian, banyak tawaran kerja datang dan mengalir. Namun yang satu ini, tak dilupakan ayah, yakni berkebun. Ya, berkebun merupakan aktivitas pokok ayahku selain bekerja di bengkel khusus perkayuan. Namun dari semuanya itu keahlian menukang merupakan keahlian yang paling banyak menyita perhatiannya.Â
    Kalau mulai membangun rumah, ayahku biasanya berbicara lama dengan si empunya rumah, bahkan ada kalanya hingga 2 bulanan. Si empunya rumah biasanya memberikan gambaran tentang rumahnya, lalu ayah menentukan bahan-bahan agar si tuan rumah membelinya di toko bangunan kota, selain itu, jangan lupa: kopi. Kebiasaan ayahku ialah sambil bekerja dia kadang-kadang berhenti untuk ngopi dan merokok tembakau daun koli atau tembakau Sek/Joker. Selain itu, beliau suka memasang api di sekitar bengkelnya. Tujuannya ialah agar kalau mau mengisap tembakau sek/Joker atau tembakau daun kolinya, dia tidak perlu menggunakan korek api. Pada masa itu memang jarang ada Kios. hanya ada sebuah toko yakni toko murni, miliknya baba Sui Fat. Selain itu memang ada pasar desa, namun itu hanya seminggu sekali baru dibuka. Setelah ada para pedagang asal Bugis, pasar desapun selalu ramai setiap hari. Demikian juga pak daging perlu dibuka setiap hari.Â
    Bengkel mebel ayah sering terbengkelai karena ada order di lain tempat. Ya, kalau pemesannya lalai membeli bahan, ayah memilih mengerjakan order lainnya, akibatnya banyak kayu-kayu balok dan papan untuk pengerjaan perlatan rumah tangga hanya terpajang di rumah. Sampai kemudian pemiliknya sadar lalu mengurus kelengkapannya untuk penyelesaian pesanannya.Â
    Suatu kali, ada order pendirian bangunan untuk para guru bujang milik pemerintah di samping rumah kami. Sayang semua bahannya dari besi yang hanya distel. Mulai dari atap hingga kuda-kuda rumah. Hanya tembok yang butuh tenaga pembangun. Selebihnya hanya disetel saja. Akibatnya, ayah tidak ikut diundang oleh perusahaan pemerintah itu.
    Tak lama kemudian, yang masuk di rumah mes guru bujang juga bukan guru yang benar-benar bujang, namun guru yang telah berkeluarga. Tiga kamar rumah itu ditinggali keluarga itu. Ibu bekerja sebagai guru, si suami bekerja di bidang permebelan, jadinyanya suami ibu guru yang tinggal di rumah guru bujang pemerintah itupun mendirikan bengkel mebel. Dia menggunakan listrik untuk skaft. Peralatan mebelnya tampak modern dengan kekuatan listrik, selain itu hiasan-hiasan pada lemari, dll sudah menggunakan ukiran modern, tampak indah dan antik juga. Om itu orang Rote, namanya Om Petrus Manu. Kami memanggilnya Om Ba'i. Kulitnya putih. Dahulu dia kristen protestan, namun memilih masuk katolik karena ibu Maria juga Katolik.
    Saya melihat banyak kontradiksi dalam keluarga dan rumah itu. Pertama rumah itu dirancang sebagai rumah guru bujang oleh pemerintah, eh tau-taunya ditempati oleh satu keluarga besar. Lalu oleh karena Om Ba'i memiliki keahlian menukang, maka sebuah bengkel didirikan di rumah itu juga. Jadinya rumah guru atau rumah tukang/pembuat mebel nih? Sudahlah. Tapi saya juga suka melihat-lihat hasil pengerjaan Om Ba'i. Saya dengar hasil-hasil Perusahaan Mebel milik om Ba'i terjual dengan mahal juga.
    Ayah mempunyai kebiasaan untuk tidak menaruh peralatan tukangnya di dalam rumah setelah selesai pengerjaan rumah atau sekolah. Alat-alat pertukangan itu perlu dibuatkan acara adat terlebih dahulu, agar dingin, kata ayah. Dingin berarti selalu sejuk, selalu dalam keadaan berahmat, kata ayahku. Demikianpun di pusat induk rumah. pada bubungan atap tengah rumah, ada kain bendera berwarna merah. Kain berwarna merah itu dipasang ayah. Untuk menurunkannya perlu acara adat dan pemberkatan rumah baru oleh imam katolik. Untuk hal itu, ayah memilih tidak hadir dalam acara-acara demikian.
    Suatu malam, pada sebuah rumah yang telah selesai dikerjakan, rumah itu kemasukan sepasang burung puyuh besar. Burung puyuh itu rupanya kesasar karena kemalaman, masuk di rumah baru yang baru selesai dikerjakan ayahku. Tuan rumah segera menangkap 2 ekor burung puyuh itu, lalu mereka memberikan semuanya pada ayah. Ayahku membawa ke rumah dan ibu mengolahnya menjadi makanan yang enak untuk kami makan, daging burung buyuh 2 ekor. Demikianpun ada ceritera menyenangkan saat pengerjaan rumah milik kakekku di Nurobo. Para tukang gergaji melakukan sensor kayu di hutan gunung Nibniba. Mereka tinggal di dalam hutan itu sampai pengerjaan selesai. Ketika pohon itu akan rebah ke tanah, mereka melihat seekor kera tambun di atas pohon itu. Kera itu kebingungan dan tidak mau lari. Ketika pohon tumbang, kera itupun ikut mati. Maka daging kera itupun disantap oleh para tukang gergaji kayu. Mereka makan daging kera tambun sambil terus mengerjakan pemotongan kayu untuk atap rumah. Pohon kayu dari gunung Nibniba, di sekitar itu tempat di mana terdapat saudari kakek berada.