Mohon tunggu...
Blasius Mengkaka
Blasius Mengkaka Mohon Tunggu... Guru - Guru.

Guru profesional Bahasa Jerman di SMA Kristen Atambua dan SMA Suria Atambua, Kab. Belu, Prov. NTT. Pemenang Topik Pilihan Kolaborasi "Era Kolonial: Pengalaman Mahal untuk Indonesia yang Lebih Kuat" dan Pemenang Konten Kompetisi KlasMiting Periode Juli-September 2022.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kaum China Turunan dan Hari Raya Imlek di Belu-NTT

1 Februari 2014   10:21 Diperbarui: 8 November 2016   14:12 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keluarga Robby Lay berdoa di Klenteng Lay (Foto: Pos Kupang.com)

Kemarin 31 Januari 2014 dan hari ini, masih ada sekolah-sekolah di Belu yang berlibur. Itulah sebabnya hari ini masih dalam suasana liburan. Hari Raya Imlek ialah hari raya keagamaan bagi orang Tionghoa. Ada pendapat yang mengatakan bahwa HR Imlek itu seperti hari Lebarannya orang China. Ada alasan yang sangat mendasar tentunya oleh pemerintah untuk menjadikan hari Imlek sebagai hari libur sekolah secara nasional di Indonesia. Meskipun pengakuan itu agak terlambat namun itu semua karena HR Imlek terus ada di hati masyarakat dan rakyat Indonesia seluruhnya. Hal itu disebabkan Imlek yang merupakan hari keagamaan utama etnis Tionghoa di mana dalam sejarahnya mereka ikut serta mengambil bagian dalam suka dan duka merebut dan mengisi kemerdekaan RI.

Kehadiran etnis China di Atapupu, Belu, NTT menjadi moment bersejarah juga di mana keberadaan mereka diakui semua kalangan, baik kalangan penduduk asli Indonesia dan penduduk Eropa khususnya Belanda. Etnis China di Atapupu-Belu diperkirakan ada sejak 500 tahun yang lalu melalui perdagangan. Bahkan ada yang mengatakan bisa jadi sebelum 500 tahun yang lalu sebab hubungan perdagangan penduduk Timor dengan orang China sebenarnya sudah ada sejak zaman sebelum kerajaan Majapahit. Di wilayah Belu, etnis China tinggal di wilayah pantai Atapupu di mana mereka membangun pemukiman sekaligus tempat usaha perdagangan makanan, perabotan, minuman dan pakaian terutama sutera.

Sumber Belanda Regeeringsalmanak voor Nederlandsch-Indie, seperti di kutip I Ketut Ardhana dalam bukunya Penataan Nusa Tenggara Pada Masa Kolonial 1915-1950 (Hal. 133-134) menyebutkan bahwa pemerintah kolonial pada tahun 1880 mengangkat seorang Letnan China di Atapupu yakni Letnan Lay Djoe Lin. Pada tahun 1892, diangkat Kapten China Lay Leon Hie sebagai pemimpin komunitas China di Kupang, tahun 1902 diangkat Kapten China Lay Phi Lan dan seorang letnan China Lay Soen Long. Pada masa kolonial, komunitas China di Timor-Belanda bertumbuh dan berkembang bersama-sama dengan komunitas Arab dan penduduk asli, serta bangsa Asia lainnya. Tentunya bersama bangsa Eropa khususnya Belanda sebagai penduduk kelas pertama di Timor pada masa kolonial. Kemunitas China mendirikan toko-toko dan melakukan usaha perdagangan barang pecah belah, pakaian, makanan dan minuman.

 

Melalui pernikahan, kaum etnis China kemudian hidup, tinggal/menetap, berbahasa dan berperilaku seperti penduduk asli Timor. Mereka mulai makan sirih pinang, berbahasa asli Timor, memiliki hewan-hewan seperti sapi, kuda, dan ternak lainnya. Maka usaha perdagangan ternak hewanpun berkembang pesat. Terdapat gadis-gadis China yang kemudian diperisteri oleh kaum bangsawan Belu, demikianpun pemuda-pemuda China memperisteri gadis-gadis pribumi. Hasil pernikahannya ialah kaum China keturunan. Melalui pernikahan, maka kedudukan orang China memiliki pengaruh yang cukup signifikant di dalam istana raja. Oleh karena itu, mereka memiliki sejumlah usaha yang berkembang pesat hingga mampu untuk mendirikan toko-toko cukup megah di pusat kabupaten Belu, TTU, Malaka, TTS dan Kupang.

Sejak awal kemerdekaan RI teristimewa Orla dan Orba, pemerintah mewajibkan agar semua orang China yang memilih tetap tinggal di Indonesia wajib dinaturalisasikan. Itulah sebabnya orang-orang China di Belu memakai nama asli Belu atau nama asli salah satu subbangsa NTT, bukan nama asli China - meskipun secara diam-diam mereka tetap menggunakan nama etnis China. Nama penduduk asli bagi etnis China keturunan dilakukan demi mempermudah proses pendaftaran, sosialisasi  dan pengakuan penduduk oleh pemerintah Indonesia teristimewa pada masa Orba.

Keluarga Robby Lay berdoa di Klenteng Lay (Foto: Pos Kupang.com)
Keluarga Robby Lay berdoa di Klenteng Lay (Foto: Pos Kupang.com)
Penduduk China meskipun sudah memakai nama penduduk asli, cepat mudah dikenal melalui warna kulit mereka yang putih, bahasa Tionghoa serta kemampuan ekonomi mereka yang rata-rata bergolongan menengah ke atas. Di Timor, jarang ada orang China yang miskin, meskipun tentunya mungkin ada. Rata-rata mereka hidup berkecukupan baik sebagai petani, penjahit, peternak atau pedagang. Bahkan mereka dapat memiliki usaha dagang yang maju, dan karenanya banyak pemuda dan pemudi asli yang bekerja bersama mereka dalam toko-toko dan perusahaan-perusahaan. Hampir semua penduduk keturunan China bekerja sebagai penjaga toko atau mengelola perusahaan/toko-toko. Mereka dibantu penduduk asli Timor. Nampaknya konsep ekonomi yang dianut ialah menyerupai konsep ekonomi Ali-Baba. Ali ialah orang Timor-Indonesia sebagai pemilik perusahaan dan Ali bekerja, sedangkan Baba yang mengumpulkan dan menghitung uang. Perusahaan kontraktor, toko, perhubungan darat, eksport-import, dll merupakan bidang-bidang perusahaan garapan keturunan China saat ini. Nampaknya mereka sangat tergantung kepada penduduk asli. Mereka masih jauh dari aktivitas dalam pendidikan, pemerintahan dan politik serta pertahanan-keamanan. Di Belu, selama Hari Raya Imlek, tidak ada aktivitas yang mencolok dalam ibadah di rumah peribadatan China atau kelenteng China. Di Belu, belum ada rumah peribadatan China/klenteng China untuk Imlek. Mungkin ibadah Imlek dilaksanakan dalam lingkungan keluarga sendiri dan dalam lingkungan terbatas belum diekspose keluar.

Sejak kemarin jalanan dan kota Atambua menjadi sunyi sebab anak-anak sekolah dan mahasiswa/i berlibur untuk HR Imlek. Sedangkan perayaan Imlek sendiri hampir tidak ditemukan di Belu. Gaung Imlek hanya terdapat di kota-kota besar di Jawa (Jakarta, dll) atau Sulawesi. Rupanya di Belu dan NTT, kehidupan warga keturunan China masih cukup tertekan dan kurang leluasa berekspresi. Mungkin saja karena mereka -sebagai penduduk minoritas - masih merasa sedikit tertekan baik secara ekonomis, politik, budaya dan keamanan.

Bagaimanapun mereka merupakan warga negara, bertanah air dan bertanah tumpah darah Indonesia. Harapan kita agar semoga mereka bisa bebas menjalankan ibadah di kelenteng dan merasakan kemeriahan perayaan Imlek secara khusuk dan bebas dalam kota Atambua, Betun, Kefa, Soe dan Kupang. Selamat HR Imlek 2565. Gong Xi Fa Cai..!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun