Perusahaan Freeport Timika menjadi simbol bahwa AS masih bercokol dengan kekuasaan kapitalismenya di bumi Cenderawasih. Berdasarkan hasil evaluasi serius, kehadiran Freeport di bumi Indonesia, khususnya di Timika tidak memberikan hasil maksimal bagi rakyat Indonesia, bahkan menurut survey terakhir menyebutkan justeru rakyat Indonesia merasa dirugikan. Hanya 10% dari total hasil bumi Freport yang meliputi tambang emas, Â perak dan tembaga bisa dinikmati Indonesia. Selebihnya 90% dinikmati Amerika Serikat. Hal itu disebabkan karena proyek pengolahan emas, perak dan tembaga tidak ada di Indonesia namun hanya ada di Amerika Serikat. Akibatnya selama eksplorasi tambang Freeport sejak kontrak kerja pertama diteken tahun 1967, rakyat Papua hanyalah sebagai buruh kasar. Akibat hal ini telah membuat rakyat Indonesia seluruhnya makan hati akibat berjuta-juta ton emas, perak dan tembaga di bawah lari ke AS.
Rakyat Papua yang merasa tidak puas akibat ketidakadilan inipun berontak keras. Isu OPM muncul. Heran. Ini sungguh ironis. Buntutnya, OPM yang sejak Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) Papua merupakan kelompok yang dikalahkan, malah masih bisa mengail di air keruh. OPM memanfaatkan ketidakpuasan rakyat Papua terhadap tindakan eksploitasi tambang Timika oleh Perusahaan Freeport milik AS yang masuk ke bumi Timika oleh sistem PMA untuk menarik hati rakyat. Maka gaung yang kedengarannya sangat jelekpun bergema: Papua Merdeka! Ini memang fatal, saya sampai tidak mengerti, masa sampai sejauh itu. Secara pribadi saya tidak merasa gentar dengan gerakan OPM. Mohon dipahami bahwa bagi saya pribadi, kemerdekaan Papua sudah selesai dan final. Rakyat Papua adalah rakyat Indonesia melalui Pepera.
Rakyat Papua adalah bagian yang sah dari Republik Indonesia. Bahkan ada suara yang mengatakan pindahkan saja Jakarta ke Papua sebab tak sejengkalpun Indonesia akan mundur dari Papua. Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk Republik yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Ini harga mati. Namun harga mati yang dianut itu memang harus berasal dari seluruh kedalaman sejarah, eksistensi dan esensi manusia Indonesia, khususnya rakyat Papua sendiri. Bukan setengah-setengah. Seperti ketika bangsa Indonesia berjuang dalam kedalaman budi dan diri secara utuh, bulat dan penuh untuk bebas dari kolonialisme barat. Sekarang, bagi rakyat Indonesia di Papua, kolonialisme itu masih terbayang-bayang kini dalam bentuk momok yang dinamakan PMA (Penanaman Modal Asing). Lalu akibat diperlakukan tidak adil, muncul gaung OPM. kedengarannya ironis namun menggambarkan seluruh eksistensi rakyat Indonesia sebagai bangsa yang tengah bangkit kuat berdiri di tengah dunia
Ceritera tentang ketidakadilan akibat ulah Freeport berbuntut ironisme yang bernama OPM yang ternyata menyiksa orang Papua sendiri. Banyak korban berjatuhan akibat pemahaman perjuangan untuk mengusir kekuasaan asing yang keliru. Sebenarnya arah dari ketidakpuasan orang Papua telah mewakili rakyat Indonesia seluruhnya yang sangat jelas yakni: usir Freeport dan bayang-bayang kekuasaan AS dalam perusahaan Freeport. Jadikan rakyat Papua dan Indonesia sebagai subjek di negeri sendiri. Rakyat Indonesia harus menikmati hasil penuh Freeport, bukan hanya 10% namun harus terbalik yakni 90% untuk Indonesia dan 10% untuk Freeport. Rakyat Papua harus dipercayakan sebagai majikan, menejer dan pemilik perusahaan di negeri sendiri. PMA bukan berarti asing yang berkuasa dan mengambil untung. Namun ketika menyerukan seruan ini, justeru rakyat Papua harus berhadapan dengan senjata para mitra Freeport itu sendiri: TNI dan Polisi. benar-benar ironis! Kenyataan ini ibarat senjata makan tuan sendiri padahal tugas TNI dan Polri ialah menjaga keamanan jalannya roda pemerintahan dan 'perusahaan' termasuk Freeport.
Terkesan bahwa Freeport dan aparat keamanan seperti bersekongkol demi keamanan uang miliyran dollar. Bahkan rakyat Papua tidak boleh mendekat lokasi tambang dan hanya bekerja sebagai buruh kasar di Freeport.  Saya dapat memberikan gambaran tentang kondisi keterjepitan rakyat Papua sebagai berikut: Rakyat Papua merasa tidak puas terhadap penguasaan kekayaan alam Timika kepada Freeport (AS) namun yang mereka hadapi ialah bukan tentara AS atau perusahaan Freepor namun TNI dan Polisi. Ini seperti menabrak wadas. Ini menjadi soal besar, bahkan ironisme. Kalau demikian maka, gejolak rakyat Papua untuk melawan kedigdayaan dan kerakusan  Freeport yang telah seenaknya mengangkut 90%  keuntungan Freeport bagi Freeport bukan hanya gejolak rakyat Papua saja namun gejolak rakyat Indonesia seluruhnya. Masakan kekayaan alam kita dirampas di muka sendiri, kita hanya diam saja. Masakan kita dijadikan buruh di tanah sendiri, kita hanya diam saja. Triliunan Rupiah uang gelontoran atas nama Otsus rupanya belum apa-apanya bila kita bandingkan dengan milyiran dolar AS uang yang telah dirampas habis oleh Freeport (AS) dari tanah Timika (Papua)-Indonesia.
Jalan terbaik ialah bahwa DPR segera duduk bersama untuk mengevaluasi kembali perjanjian antara Indonesia-Freeport yang telah diteken sejak tahun 1967. Dalam evaluasi itu, perlu dipikirkan bagaimana mendirikan industri pengolahan emas, perak dan tembaga di negeri sendiri (Papua), menyelenggarakan tenaga ahli sendiri dan memasarkan hasil tambang sendiri di seluruh dunia agar Indonesia benar-benar mendapatkan hasil melimpah dan rakyat Papua menjadi subjek atas tambang Papua di Timika. Marilah kita mendukung jeritan rakyat Papua untuk menuntut keadilan yang wajar demi pemulihan kemanusiaan dan persaudaraan kita sebagai sesama rakyat Indonesia yang 'telah dilanggar' oleh Freeport, AS sebab Papua adalah Indonesia. Indonesia adalah Papua. Merdeka...
________________________________________
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H