Mohon tunggu...
Blasius Mengkaka
Blasius Mengkaka Mohon Tunggu... Guru - Guru.

Alumnus Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) di Universitas Negeri Nusa Cendana Kupang Tahun 2008. (1). Pemenang Topik Pilihan Kolaborasi "Era Kolonial: Pengalaman Mahal untuk Indonesia yang Lebih Kuat", (2). A Winner of Class Miting Content Competition for Teachers Period July-September 2022. (3). The 3rd Winner of Expat.Roasters Giveaway 2024.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyimak Perang Mengatasi Terorisme di Indonesia

3 Januari 2014   13:43 Diperbarui: 13 Mei 2018   19:41 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pertama-tama perlu dipahami bahwa istilah perang terhadap terorisme muncul ke dunia setelah peristiwa pembajakan pesawat yang kemudian disusul dengan peledakan gedung kembar World Trade Center  (WTC) di New York City, AS. Presiden AS, George W Bush Jr telah menggunakan peristiwa ini untuk mengumumkan perang melawan terorisme selanjutnya melakukan penyerangan terhadap Afganistan di mana tujuan penyerangan itu ialah untuk menghukum Laskar Taliban yang dituduh AS telah melindungi Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden.  

AS bergiat penuh dalam kampanye untuk mengajak semua negara-negara di dunia untuk berpihak kepadanya dalam perang melawan terorisme. Maka perang melawan terorisme yang semula merupakan perang AS melawan terorisme akhirnya berubah menjadi perang global melawan terorisme. AS beranggapan bahwa negara-negara yang tidak memihaknya dalam perang melawan terorisme dianggap melawannya. Kalau ada negara-negara yang tidak memihak AS dalam perang melawan terorisme maka itulah lawan-lawan AS yang diperoleh AS semenjak selesainya perang dingin.

Indonesia sebagai negara mitra AS sejak lamapun mula-mula berhasil digandeng AS dalam perang melawan terorisme. Hal itu disebabkan setelah beberapa bulan peristiwa WTC, Indonesia mengalami peristiwa Bom Bali I yang dasyat pada tahun 2002 dengan korban jiwa  209 orang, 88 diantaranya merupakan warga Australia. Demi kepentingan perang melawan terorisme, pemerintah ASpun menggelontorkan milyaran Dolar AS ke negara-negara lain untuk tujuan perang melawan terorisme.

Setelah mempelajari berbagai perubahan strategi militer dunia yang dipelopori AS dan pengalaman sejarah Indonesia terhadap aktivitas terorisme di Indonesia,  maka pemerintah Indonesia akhirnya mengeluarkan dan mengesahkan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dalam UU No. 34 Tahun 2004 itu memuat antara lain tentang tugas pokok Tentara Nasional Indonesia (TNI). UU No.34 Tahun 2004 antara lain mengemukakan bahwa tugas pokok TNI ialah mengatasi aksi terorisme (Lihat isi UU No.34 Tahun 2004, Pasal 7 point 2.b.3). 

Dalam perkembangannya Indonesia memiliki definisi tertentu terhadap perang melawan terorisme, setelah mempelajari keadaan bahwa jangan-jangan perang melawan terorisme hanya kebijaksaan politik militer AS untuk masuk ke negara lain dan melakukan invasi militer. Setelah mempertimbangkan semua situasi itu teristimewa dampak baik buruknya bagi keamanan dunia maka TNI menarik diri dalam hal upaya mengatasi terorisme lalu menyerahkan upaya mengatasi terorisme kepada Polri. Polripun membentuk Detasement Khusus 88 (Densus 88) dengan tugas mengambil alih tugas pokok TNI sesuai dengan UU No. 34 Tahun 2004 untuk mengatasi terorisme di Indonesia.

Jauh-jauh hari sebelum peristiwa Bom Bali I, Indonesia sudah mengalami peristiwa yang berhubungan dengan aktivitas terorisme pada tahun 1981. Pada tahun 1981, pesawat Garuda DC 9 Woyla jurusan Jakarta-Medan yang transit di Palembang dibajak oleh teroris dan korbanpun berjatuhan. Tahun 1985, terjadi pemboman candi Borobudur. Tahun 2000, bom di Bursa Efek Jakarta (BEJ), menyusul bom di Kedubes Filipina, bom Kedubes Malaysia dan bom Malam Natal. Tahun 2001, bom di gereja St. Anna dan HKBP, bom Plaza Altrium, bom restoran KFC Makasar dan bom Sekolah Australia. Tahun 2002, terjadi bom Bali I menyusul bom restoran Mcdonald Makasar. Tahun 2003, bom kompleks Mabes Polri, bom bandara Soekarno-Hatta, bom hotel JW Mariott, bom Palopo, bom Kedubes Australia dan gereja Emanuel di Palopo Sulteng. Tahun 2005, bom Ambon, bom Tentena dan bom Pamulang-Tanggerang, bom Bali II, bom pasar Palu, bom JW Mariott dan Hotel Rizts Carlton, Jakarta. Tahun 2010, penembakan warga sipil di Aceh dan perampokan Bank CIMB Niaga. Tahun 2011, bom Cirebon, bom gedung Serpong dan bom Solo. Tahun 2012, bom Solo (NB: Dalam catatan di Artikel ini, penulis tidak mencatat  korban-korban yang muncul dari bom teroris tersebut selanjutnya dapat dilihat pada Sumber: Wikipedia tentang Terorisme di Indonesia)

Densus 88 merupakan Satuan Detasemen Khusus (Densus) bentukan Polri setelah Polri 'menerima mandat' dari TNI sesuai dengan UU No. 34 Tahun 2004 untuk mengatasi terorisme. Sejak TNI 'memberikan mandat' kepada Polri untuk mengatasi terorisme di Indonesia, maka TNI lebih mempososikan dirinya sebgai pihak yang lebih netral dalam perang melawan terorisme di Indonesia. Hal itu berarti bahwa TNI menarik diri untuk mengikuti 'kemauan AS' dalam perang global melawan terorisme. 

Dengannya TNIpun lebih memusatkan perhatiannya pada keamanan global melalui partisipasi aktifnya sebagai pasukan penjaga perdamaian dunia. Densus 88 sebagai garda terdepan dalam upaya mengatasi terorisme, rupanya memiiki definisi tersendiri terhadap penanganan terorisme. Densus 88 bukannya berperang frontal terhadap terorisme seperti yang dibuat AS, namun memiliki strategi tersendiri dalam upaya mengatasi terorisme. Salah satu strategi antara lain melakukan penelitian dan aktivitas penyerangan nyata berdasarkan adanya dugaan bahwa para teroris itu rupaya berlindung di balik gerakan-gerakan fundamental jihad agama, teristimewa jihad Muslim dengan jaringan internasional yang kuat dari kalangan jihad Muslim fundamental itu.

Penyergapan demi penyergapan oleh Densus 88 terhadap kelompok terduga kuat teroris atau kelompok berstatus teroris itu, hampir semua ditewaskan oleh Densus 88 demi upaya mengatasi terorisme karena sejarah terbentuknya Densus 88 antara lain berasal dari sejarah perang terhadap terorisme oleh AS setelah peristiwa 11 September 2001. 

Sejauh ini, tidak ada keberatan-keberatan keras terhadap keberadaan Densus 88. Hal itu rupanya menjadi tanda bahwa rakyat Indonesia mendukung upaya pemberantasan terorisme oleh Polri. Meskipun demikian ada juga banyak kalangan yang meminta agar para terduga teroris itu sebaiknya ditangkap dalam keadaan masih hidup agar dapat dilakukan pendekatan pengajaran ilmu agama yang sehat kepada para terduga teroris, paling tidak dengan usaha memberikan pemahaman tentang ilmu agama yang benar, maka presepsi kaum terduga kuat teroris yang semula sesat, dapat menjadi sehat atau normal kembali. 

Justeru kebanyakan para terduga teroris ternyata telah melakukan kejahatan-kejahatan berat sebelumnya, misalnya perampokan dan pembunuhan. Malahan, sebelum tewas merekapun sempat memberondong sejumlah tembakan kepada petugas Densus 88 dan tidak mau menyerahkan diri mereka.

"Penembakan teroris di kampung Sawah, Tanggerang Selatan sudah sesuai amanat Undang-Undang. Polisi terpaksa menembak mati karena para terduga teroris membahayakan petugas", kata Kapolri Jenderal (Pol) Sutarman kepada Kompas.com (3/1/2014). Itulah resiko kalau dalam status perang, bila menemukan kelompok teroris ya ditembak. UU No.34 Tahun 2004 memberikan sinyal bagi Polisi untuk melakukan tembakan demi mengatasi teroris.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun