Mohon tunggu...
Blasius Mengkaka
Blasius Mengkaka Mohon Tunggu... Guru - Guru.

Alumnus Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) di Universitas Negeri Nusa Cendana Kupang Tahun 2008. Pemenang Topik Pilihan Kolaborasi "Era Kolonial: Pengalaman Mahal untuk Indonesia yang Lebih Kuat" dan Pemenang Konten Kompetisi KlasMiting Periode Juli-September 2022.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sekularisasi Musik

22 Februari 2014   01:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:35 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Musik merupakan ekspresi kehidupan manusia dari zaman ke zaman. Setiap zaman memiliki kekhasan tertentu dalam pengekspresian musik. Musik terdiri atas seni suara yakni seni bernyanyi dengan ritme dan irama tertentu yang mampu menarik minat pendengarnya, juga seni bermain musik dalam berbagai ragam dan gaya musik.

Musik-musik populer dewasa ini memadukan antara seni bermain alat-alat musik dan seni olah vokal. Semakin tinggi kualitas seni olah vokal dan seni memainkan alat musik, semakin membuat perpaduan musik itu menjadi indah dan membekas dalam sanubari pendengarnya. Musik mampu melayani manusia dalam segala bidang kehidupan manusia yakni; bidang rohani, kebudayaan, persahabatan, cinta kasih, perdagangan, hubungan antara manusia, kebangsaan, cinta tanah air, cinta almamater, dll. Musik mampu melayani orang dalam seluruh aspek dan dimensi kehidupan manusia dalam keberadaban.

Musik yang indah dan membekas di hati pendengarnya selalu musik yang memiliki pesan-pesan moral di dalamnya. Pesan-pesan moral itu seperti kasih sayang, perpisahan, persahabatan, pertemuan, dll. Itulah sebabnya penyusun sebuah lagu selalu memperhatikan pesan-pesan moral yang mau disampaikan kepada pendengar atau penikmat musik tersebut. Sebuah musik yang diciptakan dalam acara ibadah keagamaan harus menampilkan pesan musik yang mampu membawa umatnya kepada Yang Ilahi.

Musik merupakan sarana yang luar biasa pentingnya bagi umat beriman untuk mampu memuji dan memuliakan Allah. Musik juga mampu menghantar umat Allah untuk bertobat, bersyukur padaNya, mohon belaskasihan kepadaNya, memohonkan berkat dan rahmat serta memohonkan pengampunan. Karena kedudukannya yang amat penting dalam liturgi Kristiani maka musik dapat dianggap 'segalanya' dalam ibadah umat beriman. Ada peribahasa Latin yang mengatakan: Qui bene cantat bis orat artinya: siapa yang bernyanyi baik, ia berdoa dua kali.

Musik lahir karena keberadaban. Ia melayani keberadaban manusia. Ia menghantar manusia menuju keberadaban. Musik merupakan karya manusia demi dan karena keberadaban. Maka musik memiliki norma-norma yang patut ditaati manusia. Karena musik dilahirkan oleh keberadaban manusia, maka norma-norma moral yang terkandung di dalamnya membuat musik itu indah untuk dinikmati.

Tanpa norma moral dan norma agama yang menjiwai seluruh substansi musik, maka musik menjadi hambar dan tak berarti. Apalagi bila orang salah mengekspresikan musik itu dengan kata-katajalang dan tak bermoral, maka musik yang diciptakan oleh ketakberadaban akan membuat musik menjadi jelek dan tak berarti sama sekali. Sekurang-kurangnya itulah kesan saya ketika mendengar sebuah musik populer karya sebuah grup musik yang kini beredar di kalangan masyarakat NTT berjudul: Ocha O dj smeckenzha crew's smkbest.mp3.

Bagi para pembaca yang berjiwa dewasa, santun, beradab dan intelektualistis, berikut ini saya menuliskan kutipan beberapa cuplikan lagu yang penuh makian itu, maaf bila tak berkenan di hati namun ijinkanlah saya untuk membeberkan sebuah fakta lain tentang kejelekan kata-kata dalam musik populer rakyat NTT saat ini. Saya minta perkenaan para pembaca yang budiman agar saya direstui untuk mencantumkan kata makian itu sebagai berikut:

.....................................

Woe tai..

Anjing mai pun puki

Son ada harga diri

Harus dikebiri

Maipun puki

Lu su mati

Hoe anjing, babi mai pun puki

.....................................................

Salah satu penggalan cuplikan dari syair lagu Ocha O dj Smeckenza crew's ini dinyanyikan oleh sekelompok anak muda dengan logat Kupang-datar penuh dengan kata-kata makian dan sumpah-serapah kepada seseorang yang kemudian diperdengarkan kepada para pendengar musik itu. Baru kali ini saya mendengar begitu banyak makian dan umpatan dalam sebuah musik seperti yang saya dengar dalam nyanyian populer ini. Sebagai seorang pendidik, jiwa keberadaban saya tersentak kaget. Sebagai orang yang memiliki perasaan beradab yang halus, saya menyesalkan begitu banyak makian dan umpatan jelek dalam syair lagu ini.

Sayapun mengambil kesimpulan bahwa ini adalah jenis musik yang amat sekular alias musik berbau premanis yang dibuat oleh sekelompok anak-anak muda yang kurang begitu dikenal. Namun bila keberadaan orang-orang ini diselidiki pasti kita akan menemukannya. Lagu ini merupakan luapan hati anak-anak muda kota Kupang bermasalah dan penuh problematika dalam kehidupan keluarga baik yang berasal dari kota-kota kecil maupun kota besar di NTT. Musik ini merupakan ekspresi diri yang overdosis, penuh dengan gaya, kata-kata makian dan umpatan bobrok sebagai gambaran para jiwa para penyanyinya yakni para anak muda yang mengandung jiwa premanis.

Ketika mendengarkan musik ini melalui HP saya yang diisikan oleh seseorang yang saya tidak kenal, saya teringat akan folosofi pendidikan Muhammad Syafei, seorang tokoh pendidikan Minangkabau yang sangat terkenal. Ia berpendapat dengan mengutip Prof Kerschensteiner dari Munich, Jerman, bahwa pendidikan harus mampu memenuhi seluruh jiwa dan menguasai seluruh kepribadian manusia. Pendidikan harus mencapai kesembangan antara pengetahuan (intelektual) manusia, perasaan manusia dan tindakan manusia. Bertindak atau bekerja merupakan manifestasi dari seseorang yang mandiri. Kemandirian seseorang tidak ditentukan dengan gelarnya akan tetap oleh prestasi kerjanya yang bermanfaat untuk dirinya sendiri dan masyarakat.

Maka bila musik itu penuh dengan kata-kata sebagai ekspresi dari ketidakberadaban, maka apakah manfaat yang mau ditimbah oleh para pendengar musik dan untuk diri penyanyi sendiri? Musik bagaimanapun adalah karya intelektual seseorang baik bagi penciptanya maupun bagi penyanyinya. Penciptanya harus menarik manfaat dari lagu tersebut demikian juga masyarakat pembelinya.

Manfaat dari mendengar lagu adalah selain menikmati ekspresi seni lagu atau musik itu juga pesan moral yang disampaikan pelantun dan pemuik sebagai ekpresi diri yang berangkat dari kualitas kehidupan yang harus dipetik dari sebuah musik. Nilai ekonomis hendaknya tidak mengorbankan pesan moral yang mau disampaikan musik itu bagi masyarakat pendengarnya. Masyarakat pendengar musik yang bermoral pasti tidak akan membeli produksi musik yang jelek dan tak bermoral. Maka bila musik itu laku keras di pasaran itu telah menunjukkan bahwa betapa bobroknya moral anak-anak zaman ini!

Kata-kata dalam musik merupakan ekspresi kepribadian dan tingkah laku pencipta dan penyanyinya. Sebuah musik yang bagus dari segi substansi selalu dilakukan dengan penuh ekspresi membathin. Para penyanyi dan pelaku musik itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari substansi musik yang ditunjukannya. Kata-kata harus menunjukkan karakter manusia dan karakter bangsa. Kata-kata manusia merupakan cerminan dari kepribadian seseorang. Semakin manusia menunjukkan kata-kata yang beradab dan sopan maka semakin orang menghormati manusia. Namun bila kata-kata manusia selalu bobrok dan immoral maka orang itu pasti tidak akan dihormati sesamanya.

Saya yakin bahwa para pemusik dan penyanyi dalam lagu itu pasti pernah duduk dalam bangku pendidikan. Menjadi sebuah pertanyaan bagiku ialah seberapa jauhkah peran pendidikan nilai yang tertanam dalam pribadi mereka dari bangku sekolahnya? Mencermati kata-kata dalam syair lagu itu, kita memiliki pemikiran bahwa nilai-nilai pendidikan belum menjangkau seluruh kepribadian mereka. Nilai-nilai pendidikan belum sampai kepada tahab batiniah. Nilai-nilai pendidikan moral belum diinternalisasikan secara baik dalam diri para pemusik ini. Ketika mereka duduk di bangku sekolah mereka taat kepada nilai bukan karena kesadaran pribadi mereka namun karena takut hukuman dari orang tua dan gurunya. Kemandirian mereka untuk mengurusi diri dalam hal penghayatan norma-norma dalam hidup mereka menjadi dipertanyakan. Apakah kaum muda seperti ini mampu menghadapi tantangan dan prospek dalam abad 21 nanti?

Daniel Bell dalam The Comming of Post-industrial society seperti yang dikutip oleh Prof HAR Tilaar dalam bukunya Mengindonesia Etnisitas dan Identitas bangsa Indonesia (PP. 261-262) mengemukakan bahwa dalam masa masyarakat post industri yakni sebutan untuk masa abad 21, Masa itu ditandai dengan adanya berbagai kontradiksi budaya. Menurut Daniel Bell, ada 3 bidang kehidupan manusia yang selalu diliputi oleh kontadiksi budaya itu ialah bidang sosial ekonomi yang menonjolkan prinsip efisiensi, bidang pemerintahan yang menonjolkan sikap persamaan (equality), dan dalam bidang kebudayaan yang menonjolkan sikap kesadaran diri (identity). Di sinilah ilmu pengetahuan itu dibutuhkan untuk menemukan kebenaran dan jalan keluar untuk mengatasi pertentangan itu. Daniel Bell juga menggarisbawahi perubahan perilaku industri bukan lagi pada produktifitasnya namun kepada service atau pelayanannya dalam bidang-bidang seperti pemerintahan, pendidikan dan juga musik sebagai salah satu faktor sosial-budaya populer. Pelayanan (service) yang bagus akan dipilih sedangkan service yang jelek akan ditolak.

Sementara Filsuf Karl Popper menandaskan bahwa kemajuan manusia pada abad 21 tidak ditentukan oleh kehidupan spritual atau religiusnya, namun kepada kemampuan kritis dan akal budinya. Setiap tahun di Eropa dan AS, gereja-gereja telah dijual untuk dijadikan hotel-hotel dan kafe-kafe. Kehidupan spritual manusia telah digantikan dengan sekularistis, hedonisme, perburuan uang, pangkat dan kenikmatan hidup.

Pada abad ini dan abad 21, moralitas masih dipakai sebagai mercusuar dalam kehidupan dan kemajuan peradaban manusia. Ini menjadi tugas para pendidik di Indonesia. Kita perlu menciptakan masyarakat Indonesia yang bermoral yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat, yang bebas KKN. Perlu masyarakat dan pemimpin yang mampu menginternalisasi nilai-nilai yang disepakati bersama yang di dalam masyarakat Indonesia adalah nilai-nilai Pancasila yang penjabarannya terealisasi melalui kepatuhan terhadap norma-norma yang berlaku dalam masyarakat seperti; norma moral, norma adat, norma kesusilaan, norma hukum, norma agama, norma teknologi, norma transendensi, norma kesopanan.

Perlu mendorong kepemimpinan kolektif yang berkemampuan untuk mewujudkan nilai-nilai yang mampu meningkatkan mutu kehidupan rakyat. Para pemimpin harus mampu memobilisasi kesempatan etis utnuk mewujudkan masyarakat yang bersatu, adil dan dalam semangat pluralis. Dengan menciptakan tatanan masyarakat yang mengejar nilai-nilai, maka kita akan mampu mewujudkan kehidupan bersama yang penuh optimistis sesuai dengan cita-cita bersama yang telah disepakati bersama.

Tidak semua lagu populer di NTT memiliki sisi kejelekan. Bahkan saya berani mengatakan bahwa NTT merupakan gudang musik dan lagu yang berkualitas tinggi, bermoral, beradab dan telah terkenal di mana-mana. Propinsi NTT merupakan propinsi di mana terdapat banyak sumber daya bagi penciptakan banyak lagu-lagu gereja yang telah beredar luas secara nasional yang bermutu. Para komponis lagu-lagu di NTT sungguh beradab dan santun juga. Saya hanya mengungkapkan satu sisi lain dari kejelekan syair lagi yang saya temui. Mudah-mudahan ini tidak menggeneralisir semua lagu-lagu populer di NTT. Namun satu lagu populer yang jelek syairnya bisa menjadi seperti peribahasa: Karena nila setitik, rusak susu sebelangga. Semoga tidak seperti itu. Namun sebagai pendengar lagu yang cerdas, penulis dan penikmat sebuah musik tentu memiliki pemikiran tersendiri tentang sebuah lagu yang kurang etis yang berangkat dari kesadaran dirinya sendiri.

Semoga aparat keamanan kita semakin bertindak berani dan teliti untuk menertibkan pemusik-pemusik lokal yang nakal dan immoral. Dengan demikian dapat mengendalikan dan menertibkan keberadaban musik. Musik hendaknya dikembalikan ke fungsi aslinya yakni sebagai karya dan ekspresi keberadaban manusia yang berkualitas tinggi. Musik sebagai sarana dalam ibadat kepada Yang Maha Kuasa. Ia mampu menghantar kaum beriman menemukan Tuhan. Musik merupakan ekspresi keberadaban dan peradaban manusia yang luhur dan bermartabat tinggi. Musik merupakan upaya pemanusiaan manusia. Ia berakar dari budaya, sejarah, manusia dan subjek-subjek yang bermartabat tinggi.

Bagi kita bangsa Indonesia yang Pancasilais sejati, hal-hal yang berbau immoral selalu tidak bisa ditolerir. Kita percaya bahwa hal-hal yang melawan moral, melawan norma kesopanan, melawan norma agama, melawan norma hukum, melawan norma teknologis, melawan norma transendens, selalu tidak memiliki masa depan.

Sekularisasi musik terus melanda bangsa Indonesia di manapun. Tak seorangpun mampu menghentikannya, namun hendaknya pengekspresian musik dalam alam sekular itu sendiri tidak boleh mengorbankan jati diri bangsa, yang tetap sadar di tengah derasnya badai sekulariasi yang menimpah seluruh aspek kehidupan masyarakat...

___________________________________________

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun