Mohon tunggu...
Blasius Mengkaka
Blasius Mengkaka Mohon Tunggu... Guru - Guru.

Guru profesional Bahasa Jerman di SMA Kristen Atambua dan SMA Suria Atambua, Kab. Belu, Prov. NTT. Pemenang Topik Pilihan Kolaborasi "Era Kolonial: Pengalaman Mahal untuk Indonesia yang Lebih Kuat" dan Pemenang Konten Kompetisi KlasMiting Periode Juli-September 2022.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Tumbal

2 Maret 2014   06:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:19 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kamis 20 Pebruari 2014, ketika itu saya sedang mengendarai kendaraan dengan kecepatan tinggi dari arah kota Atambua. Motor melaju lancar dan mulai memasuki arah Terminal pertama Nenuk. Saat itu, suasana di jalan raya internasional itu tampak sunyi, hanya terlihat beberapa orang di dalam Terminal dan pada sepanjang jalan menuju Pertamina. Saya merasa bahwa ketika itu, kendaraanku kupacu kencang. Kini saya memasuki jalan raya, di mana ada perkampungan penduduk. Pandanganku tertuju ke depan dengan tajam sebab 10 meter di depan sana, sekelompok kambing tampak kebingungan di jalan raya. Sialan, kawanan binatang itu tampak ingin menyeberangi jalan raya ke arah sebelah. Sementara kecepatan kendaraanku masih tinggi.

Lima meter, 4 meter,  3 meter dan... buuk, buuuk...Motorku menabrak seekor kambing betina yang tampak menghalangi motor Hondaku. Aku tak bisa menghindar dan merem motorku lagi. Satu-satu jalan ialah menabrak kambing sial itu. Sementara kawanan kelompok kambing lainnya melarikan diri. Dan aku berjuang menahan tangkai stirku sekuat-kuatnya hingga akhirnya mampu aku kendalikan. Ah...sesuatu baru saja terjadi. Aku telah menabrak seekor kambing 2-4 menit yang lalu. Motorku baru benar-benar berhasil kukendalikan setelah berjalan sejauh sekitar 20 meter dari lokasi di mana kambing itu tergeletak dan mati di tempat. Demi norma kesopanan, aku harus berbalik untuk bertanggung jawab kepada pemiliknya. Di sana, kulihat kambing sial itu tampak terkapar dan mati.

Bangkai kambing cukup besar itu tampak melintang di jalan raya. Sebagai orang yang taat norma, saya harus berbalik dan menemui pemilik kambing itu untuk menanyakan apakah saya harus membayar atau bagaimana sesuai dengan norma adat di kampung itu. Tak berapa lama kemudian, seluruh isi kampung tampak tumpah ruah di jalanan itu. Mereka mengelilingi bangkai kambing yang mati dan menatap aku dengan cemas. Tidak. Mereka tidak mempersalahkan aku atau memarahi aku dengan geram. Malah mereka senang karena aku tampak sehat-sehat, tak kurang suatu apapun. Sekitar 4 orang dewasa berbicara dengan saya menanyakan kondisi saya, apakah saya selamat ataukah terluka?

Ketika mengetahui bahwa saya selamat dan tak luka, mereka menjadi tersenyum. "Tak apa-apa, pak, kami pikir yang penting pak selamat. Biar saja kambing ini menjadi korban atau tumbal".

Saya bertanya, "Apakah saya perlu membayar?"

Mereka menggelengkan kepala lalu menjawab, "Nanti kita tanyakan kepada pemiliknya saja" .

Selang beberapa saat kemudian seorang ibu datang ke arah bangkai kambing, dia mengenal kambing itu sebagai miliknya. Ia berkata, 'Biar saja, pak, tidak usah bayar, kami ingin potong untuk jadikan daging," jawab si ibu sambil menarik bangkai kambing miliknya.

Sayapun mengucapkan syukur kepada Tuhan dan berterima kasih kepada mereka karena saya bisa selamat dari musibah tabrakan maut itu lalu melanjutkan perjalanan menuju rumah. Sepanjang perjalanan ke rumah pikiran saya segera mengingat kejadian baru saja terjadi. Terasa semua peristiwa itu seperti mimpi. Ahhh.. semuanya begitu cepat, hanya sepersekian detik batas antara kehidupan dan kematian di jalan raya ini. Keputusan untuk menabrak atau menghindar memang hanya perlu sekian detik, namun dalam jangka waktu itu kita seperti bergulat untuk memenangkan hidup kita.

Rasanya memang aku hanya butuh sepersekian detik untuk berpikir dan mempertimbangkan sesuatu yang terpenting. Peristiwa tabrakan maut yang baru saja terjadi itu terasa seperti dalam mimpi namun memunculkan batas yang sedemikian tipis antara hidup dan mati. Sepanjang perjalanan pulang itu, aku sesekali dengan gundah memainkan jemari tanganku pada setir motor sambil gemetaran sendiri.

Aku tetap bersiaga dan awas. Hari ini kambing telah menjadi tumbal, namun hari esok bagiku masih ada. Aku masih harus terus bergelut di balik kemudi dan selalu membuat keputusan-keputusan penting yang amat menentukan kehidupanku, kehidupan manusia serta ternak-ternak. Namun kematian kambing di pinggir jalan tadi membuatku sedikit trauma. Bila saja yang mati ialah seorang anak manusia, pasti tempatku bukan di rumah lagi namun di tempat dimana aku hanya menghitung hari dan menyesali perbuatanku yang salah hanya dalam sepersekian detik.  Dan bila saja yang tergeletak di jalanan itu ialah aku? Ah.. tentu ceriteranya akan menjadi lain.

Kali ini dadaku turut gemetaran di tengah angin deras akibat laju motor Hondaku. Dan aku kembali bermenung dan tergetar hati untuk mengenang tanda salib di pinggir jalan yang menandakan kematian orang akibat Lakalantas. Ah..betapa tipisnya kehidupan dengan kematian di atas sadel sepeda motor ini. Kini aku paham dan membiarkan kematian kambing itu. Biarlah kambing itu menjadi tumbal atas segala nasib jelekku hari ini. Kematian kambing akibat kecelakan itu, saya anggap sebagai TUMBAL. Dan Tumbal merupakan korban yang saya korbankan agar saya dapat memperoleh sesuatu yang lebih baik di masa depan. Syukur dan terima kasih atas limpahan rahmat Tuhan bagiku sehingga saya dapat luput dari kecelakan maut tersebut.  Deo Gratias...!

_______________________________________

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun