Kios-kios Indonesia selalu bergelut dengan tuntutan pasar, keadaan keuangan dan minat pembeli. Keadaan dan tuntutan pasar nasional sering tidak menentu. Krisis moneter yang pernah melanda Indonesia tahun 1998-2000 pernah membuat Kios-Kios Indonesia hampir bangkrut. Tambahan pula Kios-Kios selalu berusaha secara sendiri dan tidak terorganisasi dengan baik. Akibatnya Kios-Kios sering kalah bersaing dengan pemodal besar atau menjadi bangkrut karena salah urus.....
Sherly Bui sedang bertugas di dalam Kios miliknya
Pada suatu siang di hari Selasa, 4 Maret 2014, hujan sedang deras turun ke bumi. Saya berada di Terminal Wekabu, sebuah terminal di bagian kota Atambua. Saya masuk ke dalam sebuah Kios di samping terminal Wekabu, Nenuk-NTT-Indonesia. Pemilik Kios ialah Sherly Bui, wanita blasteran Belu Selatan-Sulawesi itu menyambut saya dengan ramah-tamah. Dia sedang menjaga Kiosnya yang terletak di samping terminal Wekabu ditemani putera dan adiknya. Setelah saya memperkenalkan diri, saya segera bertanya hal yang perlu. Wanita itupun mengerti maksud saya ketika dia tahu bahwa saya berasal dari Media dan berprofesi sebagai pendidik di Atambua. Dengan lugas dia menjawab pertanyaan saya. "Apakah Kios anda laku setiap hari?" tanya saya. "Dahulu memang ya, bahkan kami pernah berhasil menjual hingga laku Rp 1.000.000 setiap hari. Namun sekarang menjadi sulit laku. Pernah hanya sekitar Rp 100 ribu sehari", kata Sherly Bui dengan tersenyum.
Sherly memiliki usaha Kios yang menjual barang-barang kebutuhan seperti makanan siap saji, minuman, roti, gula-gula, pulsa, dll. Ia juga membuka warung makan dalam ruangan Kios berukuran sekitar 3x 5 itu. Selain barang-barang kebutuhan kecil, ia juga membuka semacam warung makanan siap saji. Dia mengungkapkan bahwa para pembelinya ialah para penumpang mobil yang singgah di Terminal Wekabu. Juga para pekerja, sopir, konjak dan ojek yang sering mangkal di Terminal penumpang tersebut. Mereka menjadi pelanggan tetap warung makan yang dia kelola bersama suaminya. Â Selanjutnya Sherly Bui menuturkan bahwa ia bersama putra dan seorang suaminya yang bekerja sebagai pengawas proyek pemerintah Belu tinggal dalam Kios tersebut. Hal itu berarti bahwa selain sebagai tempat usaha, Kios itu juga merupakan tempat tinggal keluarga Sherly Bui.
Sebagai pemilik Kios, Sherly Bui perlu berjuang untuk memenangkan persaingan di antara para pemilik Kios di Terminal Wekabu. Kios-Kios di Terminal itu memang saling bersaing untuk memperebutkan para pembeli. Menurut Sherly Bui, ada sekitar 20 buah Kios di Terminal Wekabu namun hanya 7 buah Kios yang beroperasi. Itu berarti 13 buah Kios telah bangkrut dan telah ditinggalkan pemiliknya. Para pembeli kebanyakan merupakan para penumpang yang datang dari berbagai desa dan berkumpul di Terminal Wekabu untuk menunggu Bus berikutnya. Sambil menunggu Bus berikutnya, mereka membutuhkan rokok, manisan, roti dan pulsa. Barang-barang inilah yang selalu laku di Kios Sherly Bui. Dalam Kios Sherly itu memang tampak berbagai barang dagangan yang dijual rapih. Ada juga sebuah lemari es berisi aneka minuman segar dan dingin.
Sayapun memesan sebuah Sprite. Sherly membuka lemari Es itu dan mengambil sebotol untukku. Sambil minum Sprite dingin, saya bertanya berbagai hal seputar aktivitas perdagangan dalam Kios kepada Sherly Bui. Tak berapa lama kemudian wawancara berhenti karena telah tampak seorang pembeli menunggu di depan Kiosnya. Sherly menemui pembeli itu.
Pria itu menunjuk pada sebuah roti balok. "Berapa?' tanya pria itu. "Duaribu rupiah sebuah", kata Sherly. Ia lalu mengambil sebuah roti lalu memberikan kepada pria itu. Setelah membayar pria itupun berlalu. Tak berapa lama kemudian tampak juga seorang pembeli datang. Pembeli itu meminta untuk diisikan pulsa sebesar Rp 12.000. Sherly segera melayani pembeli itu. Selama saya mewawancari Sherly Bui, terlihat ada sekitar 6 orang pembeli yang membeli di Kios Sherly Bui. Salah seorang Pria tampak membeli rokok. Mereka ialah para pembeli yang sedang duduk di dalam Terminal Wekabu sebelum melanjutkan perjalanan dengan Bus berikutnya. Sambil menunggu Bus, mereka membutuhkan rokok, pulsa, minuman, roti, dll. Untuk memenuhi kebutuhan itu mereka mencarinya di Kios-Kios terdekat, salah satunya di Kios Sherly Bui yang letaknya di samping Terminal Wekabu.
Sama halnya dengan Kios-Kios di Jerman, Kios-Kios di Indonesia berjuang untuk eksisitensi mereka. Mereka menghadapi berbagai kendala. Kepada Media Http://DW.de, Profesor Sabine Moeller, seorang Guru Besar Ekonomi Pemasaran Jerman berpendapat bahwa Kios-kios memiliki 2 kecenderungan besar, Pertama, terdapat berbagai Kios yang semakin tidak populer, Kedua, ada keengganan para pelanggan tetap untuk mau membeli dan melakukan pembelian dalam jumlah besar. Biasanya mereka membeli dalam jumlah kecil. Selain itu, kurangnya promosi menjadi faktor bangkrutnya Kios-Kios. "Siapapun yang memiliki kemampuan untuk mempromosikan Kios-Kios yang memiliki fitur unik akan bertahan di pasaran", kata  Prof. Sabine Moeller. Senada dengan hal itu, Prof. Arne Worderwuelbecke dari Institut Kajian Ekonomi, Budaya dan Geografi pada Universitas Hannover, Jerman mengatakan melalui Media Online Http://DW.de bahwa para pemilik Kios umumnya tidak memiliki kiat-kiat baru untuk sukses. Oleh karena tidak memiliki kiat-kiat baru maka Kios-Kios akhirnya beresiko untuk tutup atau bangkrut. Padahal kiat-kiat baru untuk pengembangan Kios amat penting untuk Kios bisa survive di pasaran.
Kios Sherly merupakan salah satu Kios dari jutaan Kios di Indonesia. Kios-Kios di Indonesia selalu bergulat dengan eksistensi mereka: mati segan, hidup tak mau. Mereka memiliki banyak kendala antara lain persaingan di antara para pemilik Kios di Terminal, krisis ekonomi, biaya retribusi bulanan untuk keamanan, kebersihan dan sewa tanah. Mereka juga terancam untuk digusur oleh petugas bila dianggap mengganggu situasi kota. Selain kendala-kendala itu, Kios-kios di Indonesia masih minim promosi. Pada umumnya mereka berjuang tanpa promosi sehingga kurang terkenal di antara para pembeli.
Senada- dengan Prof Arne Vorderwuelbecke, kita yakin bahwa para pemilik Kios-Kios di Indonesia masih belum memikirkan kiat-kiat atau strategi baru untuk menyelamatkan dan mengembangkan usaha mereka. Barang-barang dagangan yang monoton dan tidak memiliki produk andalan atau fitur unik menjadi penyebab mandeknya Kios-Kios. Itu semua merupakan tantangan untuk menjadikan Kios-Kios di Indonesia terus berjuang untuk hidup.  Lebih lanjut Prof Sabine Moeller, seperti yang ditulis dalam Media Online Http://DW.de mengatakan bahwa meskipun ada gejala yang menunjukkan titik suram bagi para pengelola Kios-Kios, namun sebaiknya tidak boleh panik. Selalu ada harapan, teristimewa bahwa masih ada pendapat umum yang mengatakan bahwa Kios-Kios masih sebagai alternatif pilihan utama publik untuk membeli selalu ada. Basis pelanggan yang kuat akan sangat menentukan masa depan Kios. Sebuah basis pelanggan tetap atau pembeli tetap yang solid dan kuat akan terus membantu para usahawan/wati Kios. Kios Sherly sendiri memiliki basis pelanggan yang solid. Para pelanggan Kios itu merupakan para pekerja yang selalu datang selain untuk berbelanja berbagai kebutuhan di Kios namun juga untuk menyantap makanan di warung makannya. Dalam kesuraman, harapan selalu ada....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H