Mohon tunggu...
Blasius Mengkaka
Blasius Mengkaka Mohon Tunggu... Guru - Guru.

Guru profesional Bahasa Jerman di SMA Kristen Atambua dan SMA Suria Atambua, Kab. Belu, Prov. NTT. Pemenang Topik Pilihan Kolaborasi "Era Kolonial: Pengalaman Mahal untuk Indonesia yang Lebih Kuat" dan Pemenang Konten Kompetisi KlasMiting Periode Juli-September 2022.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Serdos dan Sergur: Ruang Gerak Yayasan dan Pemerintah

2 Maret 2014   22:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:18 2351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Para guru yang mengajar di semua sekolah, baik TK, SD, SMP dan SMA adalah guru-guru yang disebut Guru Tetap PNS, Guru Tetap Yayasan (GTY), Guru Tidak Tetap (GTT) yakni guru yang tidak diangkat oleh sebuah yayasan atau pemerintah namun diberikan kesempatan untuk mengajar sebagai guru, seperti yang terdapat pada para GTT sekolah negeri. Guru-guru yang mengajar di sekolah-sekolah kita ini memiliki latar belakang dan persoalan yang saling berbeda satu sama lain. Demikian juga para dosen yang mengajar di PT/Universitas. Dapat disebutkan ada Dosen Tidak Tetap (DTT), ada Dosen Tetap Negeri dan Dosen Tetap Yayasan.

Mempertimbangkan nasib guru dan dosen yang hampir sama secara substansial inilah yang membuat pemerintah mengeluarkan UU Guru dan Dosen No. 14 tahun 2005. Hal ini berarti persoalan dan problematika guru dan dosen hampir sama dengan latar belakang pengangkatan yang sama, meskipun latar belakang dan kemampuan keilmuan antara guru dan dosen berbeda secara signifikan.

Guru dan dosen ibarat dua bersaudara kembar yang dilahirkan dari rahim yang sama. Rahim yang sama itu adalah UU Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005. Atas dasar UU guru dan dosen itu, pemerintah telah menetap Peraturan Pemerintah (PP) yang berbeda secara substansial antara guru dan dosen. Namun secara hakiki, definisi guru dan dosen itu telah diatur dalam UU Guru dan Dosen tersebut. Berangkat dari definisi guru dan dosen itulah pemerintah menjabarkannya dalam PP lebih lanjut tentang kedua jabatan fungsional tersebut.

Perbedaan antara guru dan dosen mengemuka ke depan ketika kita melihat kembali proses pengangkatan guru dan dosen. Untuk tenaga dosen PNS wewenang pengangkatannya pada pemerintah pusat. Sedangkan dosen nonPNS (DTT dan DTY) wewenang pengangkatannya pada yayasan/rektor universitas/ketua sekolah tinggi/direktur akademi/penyelenggara pendidikan yang dimaksud.

Definisi dosen menurut UU No. 14 Tahun 2005 adalah dosen merupakan tenaga pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni melalui pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.

Dosen PNS diangkat oleh pemerintah pusat sedangkan guru PNS adalah tenaga pendidik yang diangkat oleh pemerintah daerah. Karena dosen PNS diangkat oleh pemerintah pusat maka pemerintah pusat lebih banyak memonitoring dan memperhatikan para dosen PNS dibandingkan dengan guru PNS, di mata pemerintah pusat dosen PNS memiliki wewenang lebih dan hak-hak istimewa sebagai ilmuwan dan cedikiawan dibandingkan dengan guru PNS.

Guru PNS yang diangkat oleh pemerintah daerah memiliki nasib yang agak lebih sial dibandingkan dengan dosen PNS. Hal itu disebabkan oleh karena jumlah guru PNS lebih banyak dan tersebar di berbagai jenjang pendidikan mulai SD hingga SMA/SMK dan setingkatnya.

Jumlah guru PNS/NonPNS yang banyak ditambah dengan tunjangan yang diterima oleh keluarga guru itu memungkinkan bahwa guru menjadi komoditas politik dari kepala daerah atau para penguasa daerah. Seringkali guru-guru tertentu dimanfaatkan oleh penguasa daerah untuk menggolkan kepentingannya atau untuk menyalurkan kehendak berkuasa mereka.

Para guru lebih dekat dengan para siswa atau para generasi muda, sebuah jumlah generasi yang besar dan terdapat separuh dari keseluruhan jumlah penduduk wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan. Maka bagi para penguasa daerah, menguasai dan mengendalikan para guru merupakan salah satu prasyaratan untuk melanggengkan kekuasaannya.

Pasal 8 PP No. 74 tahun 2008 menyebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan guru tetap adalah guru yang diangkat oleh pemerintah, pemerintah daerah, penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan untuk jangka waktu paling singkat 2 tahun secara terus-menerus dan tercatat pada jalur pendidikan formal. Maka hanya guru tetap yang dapat diangkat menjadi guru profesional sesuai dengan ketentuan PP No.74 tahun 2008 ini.

Bercermin pada PP No.74 Tahun 2008 ini, GTT yang bekerja pada sekolah negeri jelas akan menjadi sulit untuk bisa diangkat menjadi guru profesional karena tidak tercatat sebagai guru tetap pada satuan pendidikan negeri tersebut. Namun mereka bisa memperoleh pengangkatan dari satuan pendidikan yang dimaksud. Satuan pendidikan yang mengangkat guru tidak tetap negeri bisa saja berasal dari salah pejabat eselon pemerintah daerah yang diusulkan atau diketahui oleh kepala sekolah dari sekolah negeri tersebut.

Namun yang menjadi kendala/persoalan ialah bahwa seringkali tuntutan jumlah jam mengajar GTT bertabrakan dengan jumlah jam mengajar dari guru PNS. Bila ditemukan benturan seperti itu, maka GTT sekolah negeri sering mengalah kepada guru PNS pada sekolah negeri.

Dalam satuan pendidikan sekolah negeri, yang dapat disebut sebagai guru tetap adalah guru yang diangkat oleh pemerintah daerah/kota yang bersangkutan. Sedangkan yang dimaksudkan dengan penyelenggara pendidikan adalah yayasan yang diakui sering memberikan SK guru tetap kepada para guru dalam lingkungan yayasannya.

Namun demikian SK Guru Tetap Yayasan (GTY) itu tak bisa diakui oleh pihak pemerintah. Maka dirasa perlu pemerintah melakukan program Inpassing kepada para guru tetap yayasan. Inpassing adalah proses penyesuaian golongan dan angka kredit kepada para guru tetap yayasan setingkat dengan guru negeri (guru PNS). Penyesuaian pangkat/angka kredit/golongan itu bertujuan untuk proses pembayaran tunjangan profesi pendidik.

Proses sertifikasi menjadi syarat terpenting dalam penyebutan seseorang menjadi guru sebagaimana tertulis pada PP No. 74 tahun 2008, Pasal 1: Yang dimaksudkan dengan guru adalah pendidik profesional dengan tugas untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi guru profesional merupakan persyaratan pokok dalam pemberlakukan PP No.74 tahun 2008 tersebut.

Maka pemerintah berjuang agar semua guru memiliki pendidikan yang relevan sesuai dengan amanat UU No. 14 Tahun 2005 dengan cara memberikan beasiswa bagi para guru yang belum memenuhi kualifikasi akademik untuk melanjutkan study hingga jenjang S1 agar dapat memenuhi rambu-rambu atau persyaratan dalam proses sertifikasi guru.

Sebegitu lama proses sertifikasi guru dan dosen berjalan yakni sejak dikeluarkannya UU guru dan dosen No.14 Tahun 2005, nampaknya kita perlu mencermati ruang yang sesuai bagi penyelenggara pendidikan yakni yayasan pendidikan, pemerintah dan pemerintah daerah bagi terselenggaranya sebuah sistem pendidikan yang bebas intervensi dan karena itu memungkinkan bertumbuhnya aktivitas intelektual, kreativitas pendidikan baik para siswa maupun para guru lewat pembagian tugas yang tepat dan pengenalan jangkauan kerja yang memungkinkan bertumbuhnya nilai-nilai pendidikan yang relevan dan menjawabi kebutuhan dunia kita.

Pertama, ruang gerak bagi yayasan pendidikan. Bagi pihak swasta, (SD/SMP/SMA/SMK swasta, universitas swasta/sekolah tinggi swasta/akademi swasta) wewenang untuk mengangkat seorang guru/dosen sering ditentukan oleh kepala sekolah/ketua sekolah tinggi atau ketua universitas/direktur akademi dan pihak ketua yayasan.

Namun dalam pelaksanaannya sering kepala sekolah swasta menjadi penentu paling utama dalam pengangkatan seorang guru tetap yayasan sebab kepala sekolah swasta merupakan pimpinan yang paling mengetahui kebutuhan dan kinerja seorang guru. Seringkali kepala sekolah memiliki wewenang penuh untuk mengangkat dan memberhentikan seorang guru berdasarkan penilaian pribadi dan staffnya.

Yayasan menjadi tergantung kepada laporan dan nasihat dari kepala sekolahnya. Namun bagi yayasan tertentu yang bertindak sebagai pemilik sekolah swasta yang bersangkutan, sering pihak yayasan merangkap sebagai kepala sekolah swasta. Hal itu terjadi bila pendiri dan direktur yayasan itu bukan berasal dari sebuah lembaga keagamaan, melainkan pribadi. Bila yayasan itu milik individu, maka pengangkatan seorang ketua yayasan tidak berdasarkan musyawarah.

Namun bila yayasan itu milik lembaga keagamaan dan hidup bakti (biarawati/biarawan) dalam kalangan katolik, muslim atau kristen, maka pengangkatan ketua yayasan itu sering berdasarkan voting atau demokrasi. Demikian juga halnya pengangkatan seorang dosen tetap yayasan, dosen tidak tetap yayasan sering bergantung kepada seorang rektor universitas atau ketua sekolah tinggi/direktur akademi

Sehingga hubungan antara kepala sekolah dan pihak yayasan sering berdasarkan hubungan konsultasi dan berdasarkan pemahaman dan pemikiran mereka sesuai spritualitas hidup yang mereka anuti. Namun dengan adanya kebijakkan inpassing, maka segala bentuk SK guru tetap berupa golongan dan masa kerja harus perlu disesuaikan kepada pihak pemerintah. Inpassing adalah penyetaraan golongan, kepangkatan dan masa kerja dengan angka kreditnya.

Penyetaraan itu dibuat agar digunakan sebagai patokan dalam pembayaran TPP atau tunjangan lainnya sesuai dengan undang-undang. Pemerintah beranggapan bahwa kebijakkan yayasan menetapkan golongan/pangkat dari seorang guru tanpa Inpassing adalah sebuah tindakan sepihak yang boleh dilakukan namun harus dilanjutkan dengan proses inpassing.

Meskipun selalu pihak yayasan membayar gaji sesaui dengan apa yang tertulis pada SK guru tetap yayasan tersebut, seperti yang selama ini dibuat oleh Yasra dan Yayasan Astanara di kabupaten Belu, propinsi NTT. Maka ruang gerak bagi kekuasaan yayasan untuk mengangkat guru tetap selalu dikontrol oleh pemerintah.

Dia tidak terlalu bebas untuk mengangkat seorang guru tanpa perhitungan terhadap kebutuhan yang relevan dalam sekolahnya. Namun yayasan masih tetap berhak sejauh kemampuan keuangannya untuk tetap mengangkat dan memberhentikan guru sesuai dengan kemampuannya. Hal mana sulit diintervensi oleh guru, selain pertimbangan kemanusiaan dan keadilan serta Hak-Hak Azasi Manusia.

Pada masa sekarang pemerintah tetap memperhatikan sepak terjang seorang kepala sekolah swasta, meskipun pengangkatan seorang kepala swasta bukan oleh pemerintah daerah. Namun akibat kurang kontrol dan kurang perhatian dari pemerintah sering sekolah swasta menjadi terpinggirkan.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa sekolah swasta menjadi sekolah yang dianaktirikan oleh pemerintah, meskipun beberapa tenaga guru pada sekolah swasta adalah merupakan tenaga guru tetap dari PNS namun selalu guru-guru PNS yang bekerja di swasta menjadi kurang diperhatikan dan dipersulit dalam proses pemberkasan untuk naik golongan.

Intervensi pemerintah terhadap sekolah swasta selalu ada karena pemerintah memiliki dana dan program-program yang relevan, sementara yayasan sering merasa kesulitan dana dan biaya untuk membayar gaji para guru dan pegawainya. Atau sekolah swasta dan yayasan menjadi pelit/kikir dalam membayar gaji guru/pegawai swastanya. Ini sebuah persoalan klasik dan penyelesaiannya perlu pergumulan yang panjang.

Kedua, ruang gerak bagi pemerintah dan pemerintah daerah. Pemerintah pusat memiliki wewenang untuk mengangkat dosen PNS. Setelah pengangkatan dosen PNS, maka semua pemberkasan kepangkatan dan monitoring dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap dosen PNS tersebut. Lain halnya dengan seorang guru PNS. Pemerintah daerah sangat berkepentingan mengangkat seorang guru PNS. Termasuk wewenang pemerintah daerah untuk mengangkat seorang guru PNS menjadi kepala sekolah negeri.

Seorang kepala sekolah negeri diangkat oleh pemerintah daerah. Maka terhadap kepala sekolah negeri, pemerintah daerah menjadi sangat berkuasa sekali. Sekolah negeri sangat mudah dimonitoring, diawasi oleh pemerintah daerah. Maka sering para guru dan kepala sekolah menjadi komoditas politik seorang kepala daerah.

Pencairan tunjangan profesi yang tidak tepat waktu, selalu ada pungutan liar dari oknum pegawai dan menuntut pemberkasan ulang setiap tahun ajaran terhadap guru profesional, merupakan pertanda bahwa terjadi ketidakadilan yang dibuat pemerintah daerah terhadap seorang guru. Para guru sering menjadi komoditas politik para kepala daerah atau para calon kepala daerah untuk merebut kursi dalam pilkada atau untuk membuat kursinya tetap empuk.

Maka sangat sulit untuk memikirkan tempat yayasan, pemerintah dan pemerintah daerah dalam ranah fungsional seorang guru. Sebab ranah fungsional seorang guru dan kepala sekolah sering tergantung dan dipengaruhi oleh kekuasaan seorang kepala sekolah atau pemerintah daerah berikut kepentingan-kepentingan yang bermain di dalamnya.

Hal itulah yang menyebabkan mengapa para guru kita masih jauh dari ranah kerja sebagai seorang intelektual dan cendikiawan seperti seorang dosen. Kehidupan seorang guru sebagai agen ilmuwan dan cendikiawan menjadi luntur dan redup karena saling rebut kekuasaan yang mengitari para guru itu sendiri.

Bila para guru dan kepala sekolah kita masih tetap diintervensi oleh kekuasaan para kepala daerah dan perangkatnya maka sangat sukar untuk kita memiliki inovasi-inovasi baru, temuan-temuan baru, gerakan-gerakan baru dari para guru yang merupakan agen intelektual dan ilmuwan di sekolah-sekolah kita.

Para guru juga harus diberikan kesempatan, kemuliaan dan kehormatan untuk mengaktualisasikan diri dan hidupnya bagi pengembangan ilmu dan kependidikan demi terciptanya kemajuan dan peradaban bangsa. Tetapi yang penting juga adalah bahwa guru honor (GTT) bukanlah tenaga outsourching yang dipaksa untuk bekerja tanpa upah. Para guru kita harus perlakuan secara humanis. Mereka juga harus dimuliakan agar tercipta kesejahteraan yang sesuai buat mereka.

Catatan: Dalam tulisan ini ditemukan lebih banyak penjelasan tentang sertifikasi guru dan beragam persoalan dan penyelesaian persoalan tentang guru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun