Mohon tunggu...
Blasius Mengkaka
Blasius Mengkaka Mohon Tunggu... Guru - Guru.

Alumnus Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) di Universitas Negeri Nusa Cendana Kupang Tahun 2008. Pemenang Topik Pilihan Kolaborasi "Era Kolonial: Pengalaman Mahal untuk Indonesia yang Lebih Kuat" dan Pemenang Konten Kompetisi KlasMiting Periode Juli-September 2022.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan "Olah Diri" Makin Terlupakan di Sekolah

3 Mei 2014   01:52 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:55 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu Mata Pelajaran (Mapel) yang saat ini masih cukup sunyi dan belum terlalu memacu kreativitas anak-anak muda di NTT ialah Kesenian. Kesenian bisa berwujud dalam banyak hal, bukan hanya dalam Kesenian Daerah, namun juga bisa berwujud Kesenian populer, Kesenian ukir, gambar dan karya sastera. Oleh karena penekanan pada Kesenian masih cukup lemah, maka para siswa/i lebih mengekspresikan kegiatan negatif dalam menyalurkan rasa agresifitas dan responsibilitasnya secara sembarangan. Akibatnya ialah kekerasan sering terjadi di sekolah. Selain itu, banyak anak-anak SMA yang tidak mau datang di kelas pada saat Pelajaran. Mereka memilih untuk menyalurkan responsibilitas dan agresifitasnya di luar karena di Sekolah mereka tidak menemukannya. Ini membuat Kelas selalu tidak penuh dengan kehadiran para siswa/i.

Mereka lebih banyak mencari penyaluran rasa agresifitas dan responsibilitasnya di luar misalnya dengan menjadi Ojek, atau bekerja dalam bidang apa saja, termasuk mengikuti berbagai latihan bela diri dan olah raga. Kegiatan seperti itu membuat mereka kecapaian. Akibatnya mereka tidak hadir ketika Pelajaran di Sekolah. Ini bukan kesalahan para siswa/i. Saya pikir ini bisa jadi salah satunya merupakan kesalahan para Pendidik.

Selama ini para Pendidik lebih menekankan pada aspek menghafal, dan tidak mau mengembangkan aspek-pengembangan aspek Kesenian dan praktek Kesenian yang membuat rasa dan inisiatif para siswa/i untuk merefleksikan diri lalu menemukan nilai-nilai di dalamnya berdasarkan bacaan-bacaan, misalnya, minat membaca karya Sastera terlihat masih cukup lemah.

Sesuatu yang perlu diakui ialah bahwa para siswa/i SMA di Atambua terlihat agresif dan responsif. Tercatat bahwa kenakalan para remaja sering terjadi di Sekolah-Sekolah di Atambua. Kasus tewasnya seorang Pelajar, lalu menyusul ancaman pengeluaran oleh pihak Sekolah akibat menegak miras pada jam Sekolah beberapa waktu lalu menyiratkan sisi lain dari Pendidikan yang mestinya perlu dievaluasi secara serius. Persoalannya apakah para Pendidik di Atambua telah sungguh-sungguh menyadari potensi ini?

Bahwa Pendidikan harus perlu memacu agresifitas dan responsibilitas para siswa/i. Ini patut diakui. Namun apakah resposibilitas dan agresifitas yang memacu karya kreatifitas para siswa/i telah dipupuk secara tuntas? Patut diakui bahwa soal karya positif siswa/i berupa sastera daerah dan karya siswa/i yang merunut penciptaan akal budi para siswa/i selama ini kurang diperhatikan para Pendidik. Belum ada semacam kegiatan terbuka yang menampilkan hasil olah budi para siswa/i atau guru dalam bentuk seni pertunjukkan yang bisa dipakai untuk mengarahkan potensi agresifitas dan responsibilitas para siswa/i ke arah sikap dan pola pikir positif.

Untuk konteks Atambua, daerah yang menjadi ibu kota Kabupaten Belu, Kesenian tarian, musik, olah raga, nyanyian dan sastera merupakan jenis-jenis kesenian yang punya potensi besar untuk bisa dikembangkan. Bukan hanya berdampok ekonomis, namun melalui pengembangan potensi kesenian, maka para siswa/i bisa mengambil hikmah atau mengambil nilai-nilai penting sebagai modal dalam menapaki kehidupannya. Dengan karya-karya Sastera serta Kesenian, para siswa/i bisa mengambil nilai positif dan agresif dalam mempraktekkannya.

Nilai-nilai positif dari Kesenian bisa mengarahkan rasa agresifitas dan responsibilitas para siswa/i SMA ke arah positif. Tanpa karya Kesenian yang memunculkan dari hasil refleksi diri atau olah diri, akan bisa membawa dampak negatif berupa kekerasan demi kekerasan yang terus terjadi di Sekolah-Sekolah kita. Kekerasan di Sekolah terjadi, misalnya kekerasan antara senior-junior adalah bukti bahwa para siswa/i gagal mengarahkan responsibilitas dan agresifitasnya untuk tujuan positif.

Agresivitas dan responsibilitas para siswa/i memang merupakan potensi yang bagus, namun perlu diarahkan ke arah positif. Hanya sayangnya sanggar-sanggar Kesenian di Atambua belum berfungsi secara bagus. Bolehkan dikatakan masih sunyi. Figur Sastrawan/i daerah lokal dengan karya-karyanya yang selalu baru belum terlalu nampak. Masih malu-malu.

Bila sanggar-sanggar Kesenian belum maksimal berfungsi, bahkan masih sunyi maka bisa saja bahwa fenomena kekerasan akan terjadi lagi dan akan melibatkan para siswa dengan daya hancur yang semakin meningkat. Sebaiknya, berhentilah menghafal, mulailah berefleksi dan menemukan nilai-nilai kehidupan melalui Kesenian dalam segala bentuknya. Semoga!

_______________________________________

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun