Mohon tunggu...
Blasius Mengkaka
Blasius Mengkaka Mohon Tunggu... Guru - Guru.

Alumnus Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) di Universitas Negeri Nusa Cendana Kupang Tahun 2008. Pemenang Topik Pilihan Kolaborasi "Era Kolonial: Pengalaman Mahal untuk Indonesia yang Lebih Kuat" dan Pemenang Konten Kompetisi KlasMiting Periode Juli-September 2022.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Bawah Naungan Savana (2)

26 Mei 2014   03:16 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:07 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sore yang sejuk dengan awan gemawan yang mulai gelap menutupi langit, namun di ufuk barat sana masih ada kecerahan oleh pancaran sang lembayung sutera. Saat itu Mentari memang sedang turun perlahan-lahan ke peraduannya. Bunyi siulan burung-burungpun masih terdengar cukup jelas. Juga suara sayup-sayup ayam-ayam berkotek satu dua di atas pepohonan di pinggir jalan raya. Ayam-ayam kampung tampak sibuk mencari pepohonan untuk berteduh pada malam hari. Suara anak-anak ayam yang belum terbiasa terbang menggapai induk ayam yang lebih dahulu mencapai dahan kayu terdengar cukup jelas.

Aku memberhentikan kendaraanku lalu turun. Aku mendekati seorang ibu yang sedang mengumpulkan dagangannya di pinggir jalan raya. Tampak ibu itu sedang menggendong seorang bocah kecil di pinggulnya. Sang ibu paruh bayah itu tampak kerepotan menggendong sang bocah kecil yang menangis, sambil tangannya terus saja mengumpulkan kelapa-kelapa muda yang selama seharian tertumpuk di pinggir jalan raya dalam menanti datangnya para pembeli.

Sayapun minta ijin pada sang ibu untuk duduk pada sebuah balai-balai kayu di pinggir jalan raya itu. "Bolehkah saya duduk di balai-balai ini?" tanyaku pada wanita paruh bayah itu. Wanita itu cuma mengiyakan, sambil terus bekerja. Tampak sedikit keriput pada wajahnya, namun dia berusaha untuk tetap tersenyum ramah menyambut kehadiranku.

Saya mencoba untuk memperhatikan secara lebih dekat keadaan si bocah kecil dalam gendongan wanita itu. "Ini cucu ibu yang ke berapa, bu?" tanyaku. "Ini cucu pertamaku, sayangnya bahwa ia lahir melalui sebuah peristiwa kecelakaan," kata ibu itu. "Oh, pasti ini anaknya Shanty. Dia pernah menceriterakan padaku bahwa dia putus kuliah. Bagaimana hal itu bisa terjadi bu? Apakah saya boleh tahu peristiwa itu?" kataku.

Ibu paruh bayah itu menatapku sayuh sambil menimang bocah yang tampak sudah tidak menangis lagi dalam gendongan ibu.

Ia berceritera, "Dua tahun yang lalu, kami semua merasa bahagia karena puteri sulung kami berhasil tamat SMK St. Yoseph Nenuk, Belu-NTT. SMK St. Yoseph Nenuk ialah sekolah bermutu di pulau Timor dalam mendidik para siswa/inya untuk memiliki keahlian sebagai tenaga teknik berijazah SMK. Kami hanya merupakan keluarga petani sederhana. Saya dan suamiku berjuang dengan menjual hasil-hasil ladang demi membiayai anak gadis kami agar dapat tamat SMK St. Yosep Nenuk. Akhirnya anak kami lulus dan memiliki Ijazah SMK St. Yoseph Nenuk. Ini luar biasa. Terasa kami sudah cukup berhasil menghantar anak gadis kami memperoleh Ijazah SMK St. Yosep Nenuk. Sekolah itu memang mahal untuk ukuran orang Belu. Setelah beristirahat sebulan di rumah ini, anak gadis kami mengikuti proses seleksi di Undana Kupang, NTT. Lagi-lagi dia berhasil. Kami semakin bangga dengan anak gadis kami itu. Ketika memulai study  pada bulan Agustus, kami merelakan harta kami dijual demi memperoleh ongkos kuliahnya. Satu tahun pertama kuliahnya berjalan mulus. Namun tahun kedua, malapetaka itu tiba. Seorang mahasiswa Kesehatan di Kupang menggoda anak gadis kami. Dia sedesa dengan kami. Mereka menjalin pacaran selama tiga bulan. Dalam masa pacaran itulah perbuatan yang kurang dikehendaki itu terjadi. Mereka melakukan hubungan layaknya suami isteri. Setelah beberapa bulan, puteri kami positif hamil. Kuliahnya berantakan. Menjelang Ujian Semester tiba, anakku kembali ke rumah kami hanya dengan membawa Laptop dan mesin print, serta baju di badan. Sedihnya ialah bahwa ia membawa benih di dalam rahimnya. Mahasiswa itu telah menghamili anakku. Namun dia sama sekali tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya. Malahan ia tetap kuliah hingga saat ini".

"Apakah mahasiswa itu tahu bahwa anak ibu telah melahirkan? Dan apakah ibu bersama suami ibu pernah membicarakan peristiwa ini bersama keluarga mahasiswa itu?" tanyaku.

"Kami sekeluarga sangat terpukul dengan kejadiannya ini. Kami tak menyangka bahwa anakku akhirnya hamil ketika dia duduk di tingkat II Undana Kupang. Selama sebulan kami hampir tidak bisa menerima kenyataan ini. Namun kami akhirnya kami berpikir untuk mendahulukan keselamatan anakku dan bayi dalam kandungannya. Proses persalinan berjalan normal. Tiga bulan setelah cucuku lahir, saya dan suamiku pergi ke rumah orang tua mahasiswa itu. Bermodalkan pengakuan Shanty, kami berusaha meyakinkan orang tua si mahasiswa itu bahwa Shanty melahirkan anak dari mahasiswa dari keluarga itu. Namun kedua orang tua itu hanya diam membisu. Rupanya mereka ingin agar anaknya tetap kuliah hingga tamat. Setelah itu kami pulang dan belum membicarakan kelanjutan hubungan mereka. Sesekali si mahasiswa itu sering ke rumah ini kalau dia liburan. Lalu balik kembali ke tempat kuliahnya".

Perkawinan haram dan kecelakaan! Gumanku dalam hati. Aku tahu melalui bacaan di Media Pos Kupang bahwa banyak kali ada bayi-bayi terpaksa lahir dalam situasi tak diingini yakni situasi kecelakaan karena hubungan haram. Beruntung bahwa gadis ini masih mempertahankan kehidupan sang jambang bayi, dari pada memilih untuk menggugurkannya, lalu membuangnya di trotoar jalanan atau menguburkannya di lubang rahasia di kota Kupang.

Hmm...Dalam kegelapan dan lumuran dosa, gadis itu masih telah menunjukkan kebaikannya dalam keterpaksaan agar dia tidak divonnis sebagai sang pembunuh bayi. Sudah berdosa karena melakukan hubungan haram, berdosa pula sebagai pembunuh bayinya yakni darah dagingnya sendiri. Akhirnya dosapun bertumpuk-tumpuk!

Ceritera sang ibu itu selesai. Ia lama terdiam. Sayapun menguatkan hati keluarga itu untuk selalu mencintai kehidupan manusia, apapun resikonya. Hukum Tuhan mengatakan bahwa manusia tidak boleh membunuh. Kehidupan harus dihormati secara wajar. Ibu itu menganggukan kepala ke arahku, sebagai tanda bahwa dia menyetujui maksud pembicaraanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun