Apabila anda datang di Timor-NTT pada musim hujan yakni bulan Desember-April setiap tahun akan tampak suasana yang sangat hijau. Mungkin anda mengira bahwa anda sedang berada di sebuah daerah dengan iklim tropis, di mana-mana kelihatan begitu hijau. Sungai-sungai penuh air, sawah-sawah tampak hijau dengan tanaman padi, demikianpun kebun-kebun dengan tanaman jagung, palawija, pisang, dll. Di pasar-pasar ditawarkan berbagai jenis ternak yang gemuk, juga buah-buahan dan berbagai jenis sayuran segar. Tampak suasana padang Savananya menghijau hingga ke lereng pegunungan. Suasana dengan rimbunan daun hijau dari pepohonannya membuat anda punya penilaian bahwa daerah Timor-NTT bukan daerah bertipikal kering dan tandus 100%.
Namun bila anda mengunjungi Timor-NTT pada bulan Juli-November setiap tahun akan tampak bahwa alam Timor memang gersang. Musim kemarau lebih tepat disebut musim gugur karena hampir semua dedaunan berguguran ke tanah, pohon-pohon yang rimbun dan sejuk masa musim hujan kini hanya tinggal dahan dan ranting-ranting kering tanpa dedaunan sebab semua dedaunan hijau meranggas. Rerumputan Savanapun menjadi kering dan tak lama kemudian api membabat rerumputan kering itu lalu tampak pemandangan kering dan hitam. Hutan jati Nenuk (Timor-NTT) yang selama musim hujan amat subur dan hijau, pada musim kemarau menampilkan pemandangan sangat paradoks malah tampak menghitam oleh bekas pembakaran rerumputan dan dedaunan jati kering.
Pendeknya di Timor-NTT, perbedaaan antara suasana alam musim hujan dan musim kemarau sangat tajam. Malahan sumber-sumber air di sungai tampak kering, hanya tinggal pasir dan bebatuan untuk bangunan. Mungkin juga sumur-sumur penduduk menjadi kering kerontang, lahan sawahpun tampak terbelah-belah oleh sengatan terik matahari.
Di Timor-NTT, orang-orang tetum, dawan, marae, kemak dan bunak sudah hidup ratusan bahkan ribuan tahun di sini. Jauh sebelum kedatangan para penjajah Eropa, mereka menggembalakan hewannya: sapi, kambing, babi, ayam, dll di wilayah luas yang kini merupakan wilayah Timor-NTT. Mereka menanami kebun-kebunnya dengan tanaman pangan, dll lalu hidup nyaman di dalamnya. Dahulu mereka merupakan suku-suku yang percaya diri, berdikari di bidang ekonomi, rajin dan berakar pada tradisi leluhurnya. Sesudah kemerdekaan RI diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, daerah ini perlahan-lahan mulai bangkit, dan sejak masa Orla, Orba dan kini, orang-orang tetun, dawan, marai dan kemak semakin berkembang maju mengikuti berbagai derab kemajuan pembangunan Indonesia namun sebagian kecil rakyat agaknya masih tetap mempertahankan pola kehidupan tradisionalnya.
Dengan hidup dalam bingkai sejarah RI, patut diakui bahwa orang-orang Timor-NTT kini dianggap lebih maju dalam kebebasan dan perkembangan kehidupan bermasyarakat dibandingkan dengan saudara-saudari di Timurnya yang berintegrasi dengan RI tahun 1976 namun kemudian melepaskan diri lagi dan merdeka pada tahun 2002.
Kalau orang mengunjungi berbagai perkampungan Timor-NTT pada musim kemarau, orang akan segera menyadari bahwa kesetiaan yang berlebihan terhadap tradisi kesukuan sering sebegitu esktremnya sehingga bisa menyesatkan dan bisa membawa penduduk dalam taraf kehidupan yang masih sebegitu rendah dengan tanah yang tandus dan kering kerontang, pepohonan yang kering, ternak yang kurus ketika musim kemarau dan berbagai keluhan gagal panen dan paceklik.
Sebuah masalah lain yang manusiwai ialah berkembangnya kelompok pencuri tradisionil yang terorganisasi secara gelap. Kelompok pencuri dan penjarah ternak penduduk mulai berkurang ketika misi mulai bekerja di daerah ini sejak awal abad 19, kemudian tampaknya telah hilang ketika Indonesia merdeka tahun 1945. Sejak zaman Belanda, tampaknya daerah ini tak memberikan hasil untuk pemerintah kolonial dibandingkan dengan kawasan barat. Resiko merugi dan tanpa hasil dan balas keuntungan membuat pemerintah kolonial angkat kaki dari Timor-NTT.
Peternakan menjadi komoditas yang sangat penting bagi penduduk di sini. bantuan ternak dari pemerintah menjadi program utama pemerintah NTT. Dalam program ini, pemerintah menbagi 1 keluarga 1 ekor sapi untuk dipelihara hingga mendatangkjan hasil yang kemudian untuk kesejahteraan pesertanya.
Sejak tahun 2014 ini, tampaknya pemerintah NTT bukan hanya memberikan bantuan sapi 1 ekor setiap keluarga, namun juga bantuan fasilitas pemeliharaan, pakan ternak sapi, pengobatan, perkawinan buatan, dll. Dengan itu diharapkan para peternak bisa bangkit dari keterpurukan. Namun resoko lainnya bisa muncul yakni selalu ada godaan oleh para peternak itu untuk menjual ternak sapi bantuannya kepada para pedagang antar pulau.
Sayangnya para peternak sering terbelit utang dengan para pedagang antar pulau, dan lagi pula bahwa kebanyakan hasil ternak itu kemudian dipakai tanpa sisa. Akibatnya bantuan sapi menjadi terputus rantainya. Dalam hal ini perlu banyak waktu untuk lebih mendidik orang-orang kita agar lebih tertib dan mampu bekerja sesuai dengan arah kebijaksanaan pemerintah dan gereja. Ini membutuhkan waktu dan proses yang tidak pendek dan tidak singkat.
____________________________
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H