Mohon tunggu...
Blasius Mengkaka
Blasius Mengkaka Mohon Tunggu... Guru - Guru.

Alumnus Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) di Universitas Negeri Nusa Cendana Kupang Tahun 2008. (1). Pemenang Topik Pilihan Kolaborasi "Era Kolonial: Pengalaman Mahal untuk Indonesia yang Lebih Kuat", (2). A Winner of Content Competition of Class Miting for Teachers Period Juli-September 2022. (3). Runner up 2 atau The 3rd Winner of Expat.Roasters Giveaway 2024.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Menjadi Semakin Katolik dalam Hierarki Gereja Katolik Yang Suci

27 Agustus 2014   04:00 Diperbarui: 30 Oktober 2016   22:09 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Adegan dalam ritus penciuman cincin Uskup Mgr Petrus Turang, Pr sebagaimana terdapat dalam Video yang dipolemikan

Cuplikan Video yang berisi jalannya ritus penciuman cincin Uskup Agung Kupang, Mgr Petrus Turang, Pr diunggah pada 22 Juli 2014. Padahal kejadian itu sudah terjadi setahun sebelumnya ketika perayaan Natal bersama antara Uskup Agung Kupang bersama para imam, para biarawan/i serta umat Keuskupan Kupang sekitar bulan Desember 2013. Dalam waktu singkat tanggapanpun berdatangan bukan saja dari rekan-rekan imam dari Rm. Johanes Subani, Pr namun juga dari kalangan pengunjung Video tersebut.

Kewajiban untuk mencium cincin Uskup memang merupakan sebuah keharusan karena secara kanonik, seorang Uskup merupakan seorang pemimpin tertinggi gereja lokal setempat. Pada mulanya pemberlakukan kewajiban itu di Eropa terjadi begitu mudahnya. Semua orang, tanpa kecuali, yang berdiam di tempat di mana daerah itu dalam jangkauan kepemimpinan sang gembala gereja lokal berada, sangat antusias mencium cincin Uskup sebagai lambang kesetiaan dan pengabdian kepada sang uskup. Namun ketika modernisasi mulai melanda Eropa, perlahan-lahan kebiasaan itu mulai memudar, teristimewa ketika bermunculan gereja-gereja reformis.

Namun justeru kewajiban cium cincin Uskup bagi umat gereja Katolik dengan struktur-struktur yang rapih, telah menjelma menjadi kewajiban setelah Vatikan menjelma menjadi sebuah bentuk tata pemerintahan negara yang tertata rapi. Bagi negara kota dengan bendera Vatikan tersendiri, terasa tindakan mencium cincin Uskup bukan lagi merupakan sebuah tindakan kepasrahan, namun sudah merupakan sebuah tindakan yang wajib hukumnya. Ini adalah konsekuensi logis dari kepemimpinan negara kota Vatikan yang selanjutnya mewariskan kepemimpinan tertinggi gereja lokal kepada Uskup setempat.

Konsekuensi dari sebuah pemerintahan negara kota Vatikan ialah bahwa kewajiban mencium cincin Uskup harus dibarengi dengan hukum sebab akibat, sebagaimana kewajiban untuk membayar pajak kepada pemerintahan negara. Kita dapat mengerti kalimat ini dengan membandingkan kebenaran kalimat berikut: ”Anda mencium cincin Uskup karena anda mengakui bahwa akulah Uskupmu, dan apabila anda tidak mencium cincinku itu artinya anda bisa dicap tidak mengakui saya sebagai Uskup dan konsekuensi logisnya, anda bisa diancam untuk dihukum atau anda bisa diancam untuk dikeluarkan dari lingkungan klerikal”.

Jabatan klerikal yakni Uskup, imam dan Diakon merupakan jabatan karena pentahbisan yang dikeluarkan oleh Paus sebagai kepala gereja universal. Calon imam projo dan calon Diakon projo melamar untuk Uskupnya. Setelah lamarannya diterima maka dimulai proses hingga menuju tahbisan suci oleh seorang Uskup. Sedangkan seorang Uskup dipilih dari antara imam-imam yang selanjutnya diusulkan ke Tahta Suci Vatikan untuk persetujuan. Tahta Suci Vatikan merestui dan selanjutnya mengangkat dan menetapkan hanya seorang calon dari sekian banyak calon Uskup yang diusulkan. Calon uskup yang telah ditetapkan Paus di Vatikan selanjutnya ditahbiskan oleh Uskup Pentahbis atau Paus atau Kardinal yang dihadiri oleh beberapa Uskup undangan.

Secara kanonik, hanya ada 3 jabatan strukturalis dalam gereja lokal yakni Uskup, Imam dan Diakon. Ketiga jabatan ini disebut jabatan klerikal yang membentuk formasi kepemimpinan gereja atau gembala gereja lokal di mana Uskup merupakan pemimpin tertinggi gereja lokal yang disebut Keuskupan. Uskup memimpin Keuskupan, dan tempat tinggal resminya disebut Istana Keuskupan. Ia memiliki tahta Keuskupan, Cincin Keuskupan, Tongkat Keuskupan dan Mitra Keuskupan sebagai lambang martabat Keuskupannya. Uskup mengepalai Klerikus (Imam dan Diakon) serta umat Katolik di Keuskupannya.

Umat merupakan perkataan untuk menggantikan anggota gereja lokal biasa tanpa tahbisan atau juga karena kaul-kaul suci. Jadi umat yang dimaksudkan di sini ialah umat beriman Katolik (awam) dan para biarawan/biarawati yang mengikrarkan kaul-kaul suci yang tidak diikat oleh tahbisan suci (Uskup, Imam dan Diakon).

Gereja hadir di Asia mula-mula bersamaan dengan penjajahan namun sejak zaman kemerdekaan gereja-gereja di Asia khususnya gereja Katolik selalu dalam posisi melakukan dialog-dialog dengan kebudayaan, bahasa, negara dan kebiasaan setempat. Dialog-dialog antara gereja Katolik dan umat atau negara di mana gereja Katolik tumbuh dan berkembang kini menjelma menjadi apa yang disebut Inkulturasi. Inkulturasi ialah proses di mana gereja memasuki dan menyapa orang dari berbagai budaya serentak untuk merangkul, menyelamatkan dan mewariskan kepemimpinan gereja kepada mereka.

Kepemimpinan gereja Katolik di Asia dan Indonesia khususnya terus ada dan terus memiliki penerus, mula-mula para Uskup Misionaris Eropa, kemudian sejak zaman kemerdekaan Indonesia, para imam Indonesia dipilih dan ditahbiskan menjadi Uskup. Bagi orang Asia, keadaan ini tentu bukan merupakan hasil akhir, melainkan selalu merupakan proses yang terus berjalan tanpa henti.

Peristiwa dalam Video itu sebenarnya mengingatkan kita akan proses Kekatolikan yang terus berlangsung untuk pengindonesiaan gereja Katolik kita, namun serentak harus bersifat universal dan umum. Marilah kita terus belajar untuk membuka hati dan pikiran, mau berjuang memperbaiki diri untuk menjadi orang Katolik yang baik, dengan secara serius mau belajar dari pengalaman jatuh bangun dalam ziarah kehidupan kita sebagai orang Katolik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun