Seorang sepupuku dari Maumere-Flores, pernah ketika hari pertama baru tiba di rumah kami di Belu langsung mengeluh ke saya, bahwa betapa sunyinya Belu, tanpa ada turis di kawasan wisatanya, di pantai-pantainya dan di hotel-hotel terkenal. Kabupaten tanpa daya tarik turis terasa kerdil dan kurang bergairah. Sepupuku ialah asli kabupaten Sikka. Dia bersekolah di kota Maumere dan kota Ende, di mana saban hari dia banyak kali berjumpa dan bertegur sapa dengan para bule di tempat-tempat wisata di kota Maumere dan kota Ende.
Menurutnya, dengan adanya kunjungan para turis-bule, kota atau Kabupaten akan terasa hidup dan bersih. Industri makanan dan budaya menjadi jauh lebih hidup dibandingkan dengan kota tanpa turis bule. Tanpa turis bule, kota terasa seperti kota mati dan bahkan kota akan mengalami marginalisasi dari perkembangan dunia modern.
Mendengar penjelasan sepupuku, saya langsung tertegun. Perlahan-lahan saya akui bahwa kota Atambua dan Belu umumnya, tanah kelahiranku selalu tampak sunyi dari kunjungan wisatawan asing-bule. Kabupaten dengan luas wilayah yang pernah melingkupi hingga wilayah Malaka ini memang terasa kehilangan daya tarik terhadap para wisatawan mancanegara, dan penduduk Belu-Malaka bukan mustahil akan terancam terus mengalami krisis internasionalisasi atau kesulitan bergaul atau bahkan kesulitan mengakui adanya pergaulan dan keakraban manusia multinasional, multi kultural dan multi bahasa di seluruh dunia.
Sejak saya memutuskan mengajar di tempat ini, bahkan jauh-jauh hari sebelumnya, tak pernah sekalipun saya berpapasan dengan para bule pada berbagai kawasan wisata yang ada di Kabupaten Belu. Belu, tampak merupakan salah satu Kabupaten di Indonesia yang telah kehilangan daya tarik bagi wisatawan baik domestik maupun mancanegara atau para peneliti luar negeri. Ini berbeda dengan kota Maumere, di mana orang gampang menemukan rombongan turis asing sedang berjemur diri di tepi pantai di Sao Resort yakni kawasan wisata milik pengusaha alm. Drs Frans Sedha ataupun pada berbagai kawasan wisata strategis lainnya. Di Flores, orang gampang menemukan para turis asing di jalanan, di berbagai kawasan wisata Kelimutu bahkan di pulau Komodo.
Sepintas kilas, kita bisa langsung menangkap kesan kuat bahwa Kabupaten Belu bagaikan Kabupaten yang telah dilupakan bahkan telah hilang dalam sejarah Peradaban Indonesia. Dia seperti kota yang seolah-olah telah mati padahal masih hidup dan bernafas. Daya tarik Belu bagi wisatawan mancanegara seolah-olah telah sirna sejak Kabupaten Belu ada di bumi persada Indonesia ini. Pemerintah Belupun telah kehilangan akal untuk menjual daya tarik atau pesona wisata ke luar negeri sehingga mendatangkan para turis asing untuk mendapatkan devisa bagi negara.
Hotel-hotel di sini juga kurang di minati dan juga rupanya kurang memenuhi syarat untuk tempat menginap para turis, bahkan tempat-tempat wisatapun kurang terurus dengan baik, bahkan untuk mencapai lokasi wisata, akses jalan ke sana kurang lancar dan bagus, membuat daerah Belu dan Malaka sangat sulit menarik wisatawan asing.
Bahkan daerah ini bagaikan gugusan kampung dan kota yang seolah-olah telah hilang dari kumpulan deretan Peradaban dunia. Belu-Malaka seperti telah terjatuh dari deretan Peradaban dunia di sebuah kawasan yang tak ingin diketahui oleh penduduk dunia. Harapan kita semoga pemerintah pusat dan pemerintah NTT dapat terbuka matanya untuk melakukan kegiatan berskala internasional di perairan Atapupu atau kota Atambua agar banyak wisatawan asing bisa datang dan mengunjungi Kabupaten Belu demi membuka "keterisolasian" daerah yang berbatasan langsung dengan Timorleste ini. Semoga!
______________________
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H