Mohon tunggu...
Revalino Ardyansyah
Revalino Ardyansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Ingin menjadi penulis tapi enggan menulis. Cukup diketik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Krisis Agraria di Indonesia: Nawa Dosa Jokowi pada Agraria Indonesia

6 Oktober 2024   11:49 Diperbarui: 6 Oktober 2024   11:58 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Krisis Agraria di Indonesia: Nawa Dosa Jokowi Pada Agraria Indonesia"

Banyak konflik agraria terus terjadi di Indonesia dalam berbagai sektor pembangunan, demi percepatan investasi dan proyek strategis nasional. Krisis ini karena tergesa gesanya pemerintah dalam sektor pembangunan, Masalah-masalah ini membuat ketegangan ekonomi makro, dan hak-hak masyarakat adat lokal dalam mengelola dan mempertahankan tanah mereka. Kebijakan agraria di bawah Jokowi ini, meskipun memiliki tujuan mulia untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan petani dengan pembangunan ekonomi, tetapi tidak disertai dengan perlindungan hak-hak masyarakat lokal. Banyak kelompok tani dan masyarakat lokal merasa terpinggirkan oleh kebijakan ini karena akses mereka terhadap lahan sering kali dikorbankan demi proyek proyek besar. Bahkan kebijakan agraria Jokowi

Jokowi meluncurkan kebijakan Reforma Agraria pada awal masa kepemimpinannya, sekitar tahun 2015, sebagai bagian dari program unggulan untuk meningkatkan kesejahteraan petani, serta mengurangi ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia. Kebijakan ini kemudian menjadi bagian dari Nawa Cita, agenda besar pemerintahan Jokowi yang salah satunya berfokus pada kemandirian ekonomi dengan mendukung petani dan masyarakat desa. Pelaksanaan kebijakan ini diharapkan memberikan akses lahan yang lebih merata kepada masyarakat kecil, petani, dan masyarakat adat yang selama ini sering terpinggirkan. Hal ini menyebabkan benturan yaitu demi kepentingan investor asing dan perusahaan besar yang mana lebih di prioritaskan.

Berikut adalah 6 nawadosa Jokowi terhadap Agraria Indonesia:

1. Liberalisasi Agraria

Demo hari tani pada 2015. Foto: Lembaga Studi & ELSAM Advokasi Masyarakat
Demo hari tani pada 2015. Foto: Lembaga Studi & ELSAM Advokasi Masyarakat

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. UUPA mengatur tentang dasar-dasar dan ketentuan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria nasional di Indonesia. UU tersebut bertujuan untuk menyelesaikan konflik agraria tetapi terkhianat oleh kebijakan Jokowi yang mana liberalisasi agraria. Undang Undang Cipta Kerja (UUCK) dan berbagai aturan terdapat UU tersebut, yaitu UU tersebut meliberalisasi kebijakan agraria di Indonesia. Melalui UU ini, Jokowi membuat tanah dan sumber agraria diperjualbelikan demi kepentingan investasi dan bertolak belakang konstitusi agraria kita.

2. Bertambahnya Kriminalisasi Korban Kejahatan di Bidang Agraria

Laporan Tahunan Agraria 2023 Konsorsium Pembaruan Agraria 
Laporan Tahunan Agraria 2023 Konsorsium Pembaruan Agraria 

Dikutip dari databooks perbandingan angka konflik agraria era SBY dan Jokowi menurut laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bahwa kasus konflik agraria dalam empat tahun era Jokowi jauh lebih banyak ketimbang sepuluh tahun era SBY. 

Era Presiden SBY (2005-2014):

Jumlah konflik agraria: 1.520 kasus

Jumlah masyarakat terdampak: 977.103 KK

Luas konflik agraria: 5.711.396 hektare

Era Presiden Jokowi (2015-2023):

Jumlah konflik agraria: 2.939 kasus

Jumlah masyarakat terdampak: 1.759.308 KK

Luas konflik agraria: 6.309.261 hektare

Jelas dari data ini sangat memperihatinkan, Kriminalitas dibidang agraria jauh lebih menambah dari sebelumnya. Peningkatan ini bukan sesuatu yang dibanggakan, peningkatan ini menandakan miris dan perlu diperhatikan masalah ini. Konflik agraria ini mencakup dari sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, pertambangan, dan lain lain.

3. Gagalnya Food Estate 

Aksi Greenpeace soal Food Estate. Foto: Dok. Greenpeace
Aksi Greenpeace soal Food Estate. Foto: Dok. Greenpeace

Food estate yang awalnya digadang-gadang menjadi sebuah proyek besar demi keselamatan menjaga pasokan pangan, menjadi tanah gersang dan gagal. Gagalnya progam ini dikarenakan pemerintah yang kurang kompeten dalam pengetahuan kondisi lahan. Proyek food estate dikelola oleh pihak eksternal tanpa melibatkan petani lokal yang lebih paham kondisi lahan dan ekosistem setempat. Hal ini membuat teknologi atau metode pertanian yang digunakan kurang sesuai, sehingga produksi menjadi tidak optimal.

Kerusakan lahan food estate ini berdampak pada lingkungan dan masyarakat. Deforestasi hutan yang mana mengancam keanekaragaman hayati dan merusak habitat satwa liar dan juga menyebabkan banjir ke masyarakat sekitar. Pencemaran air yaitu penggunaan pupuk kimia dan pestisida secara berlebihan mencemari sumber air di sekitarnya. 

4. Peningkatan Alih Fungsi Lahan Pertanian Yang Menyebabkan Peningkatan Petani Gurem

ilustrasi foto petani. Foto: Dok. Liputan 6
ilustrasi foto petani. Foto: Dok. Liputan 6

Data Sensus Pertanian 2023 menunjukkan rumah tangga usaha pertanian gurem (yang menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar) meningkat signifikan dari 14.248.864 rumah tangga pada 2013 menjadi 16.891.120 rumah tangga pada 2023 atau naik 15,68%. Kalau dihitung berdasarkan petani pengguna lahan, maka jumlah petani gurem mencapai 17.248.181 petani. Ketika total petani pengguna lahan sebanyak 27.799.280 petani, maka 62,05 persen petani di Indonesia adalah petani gurem (Badan Pusat Statistik, 2023). Hal ini dikarenakan proses pembangunan infrastruktur di Indonesia sebagian besar menyasar ke lahan-lahan produktif pertanian. Kasus penggusuran untuk pembangunan infrastruktur, banyak lumbung-lumbung pangan berubah fungsi jalan tol, kawasan bisnis, perumahan dan lain lain. Fenomena tersebut memaksa jutaan lahan pertanian produktif yang selama ini menjadi tumpuan kehidupan petani semakin berkurang. Situasi ini mengakibatkan produksi beras nasional semakin defisit di tengah kebutuhan yang semakin meningkat. 

Dengan peningkatan petani gurem ini, menunjukkan bahwa kesejahteraan petani hingga kini masih jauh dari yang diharapkan. Penghasilan rata-rata petani di Indonesia masih tergolong rendah. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pendapatan bersih rata-rata petani skala kecil hanya mencapai Rp5,23 juta per tahun. Berarti pendapatan petani Indonesia hanya mencapai Rp435.833 per bulan atau sekitar Rp14.527 per hari. Hal ini sangat berada jauh di bawah garis kemiskinan, yang ditetapkan sebesar Rp535.547 per bulan atau Rp17.851 per hari. Sedangkan, Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta pada tahun 2024 adalah Rp5.067.381. Hal ini menunjukkan kalau rendahnya penghasilan petani Indonesia, yang mana satu tahun penghasilan petani sebanding dengan satu bulan UMP Jakarta

5. Ekspor Pasir Yang Merugikan Pertanian Pesisir Dan Alam

Ilustrasi ekspor pasir. Foto: Kumparan.com
Ilustrasi ekspor pasir. Foto: Kumparan.com

Keran izin ekspor pasir dibuka kembali. Kebijakan tersebut terkait izin ekspor pasir laut melalui Peraturan Pemerintah (PP) nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Kebijakan tersebut bertolak belakang dengan kebijakan Pemerintahan Presiden Megawati sebelumnya yaitu kebijakan melarang ekspor pasir laut sejak 2003 melalui Surat Keputusan (SK) Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Kebijakan ini sangat merugikan petani pesisir yang mana bahaya bagi pertanian akibat hilangnya penghalang pasir alami, air garam meresap ke dalam tanah, sehingga lahan tidak cocok untuk pertanian.

Ekspor pasir ini meningkatnya degradasi lingkungan pesisir yaitu kerusakan pada habitat (mangrove, terumbu karang, dan padang lamun), perubahan garis pantai yang diakibatkan oleh abrasi dan erosi serta pencemaran lingkungan. Degradasi kualitas tanah wilayah pesisir tersebut, dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan manusia secara langsung maupun tidak langsung telah mengancam keberlanjutan fungsi-fungsi wilayah pesisir dalam menopang Pembangunan yang berkelanjutan. Kebijakan ini perlu dihentikan karena sangat rusaknya ekosistem laut dan kapal keruk menghancurkan habitat alami berbagai spesies laut, membahayakan rantai makanan laut, mulai dari plankton hingga paus. Praktik ekspor pasir ini adalah dosa terakhir Jokowi sebelum ia turun dari jabatannya.

6. Impor Bahan Pangan Yang Merugikan Petani Lokal

Foto: Tempo.co
Foto: Tempo.co

Kebijakan agraria Jokowi juga berdampak pada pertanian, yang mana harga bahan pokok seperti beras, jagung, buah, dan sayur sayuran mengalami anjloknya harga. 

Pupuk yang mahal dan langka, lahan semakin menyempit, dan juga minat petani yang kurang. Ini semua adalah kebijakan pemerintah yang mana pemerintah lebih memperhatikan pembangunan industri teknologi dari industri pertanian, padahal jika kebijakan tepat yang mana memadukan teknologi dengan industri pertanian bisa mensejahterakan pertanian di Indonesia. Karena kurangnya fasilitas di bidang pertanian, pasokan pangan berkurang dan pemerintah lebih condong impor, karena impor tersebut maka membuat petani lokal merasa terancam. 

Ekspor komoditas hasil pertanian dan perkebunan permintaannya menurun di pasar global. Kehidupan petani pun semakin memprihatinkan. Ekspor yang tidak seimbang dengan impor mengakibatkan defisit perdagangan yang berkelanjutan dapat menyebabkan akumulasi utang yang mengancam stabilitas ekonomi makro.

Rezim Jokowi ini sudah cukup merugikan rakyat, seharusnya Jokowi dalam kebijakan agraria harus mempertimbangkan lebih dalam keberlanjutan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Langkah-langkah seperti meningkatkan keterlibatan masyarakat lokal dalam proyek-proyek pembangunan, memastikan perlindungan hak-hak masyarakat adat, serta memadukan teknologi dengan praktik pertanian tradisional akan lebih berdampak positif. Tetapi Pemerintah tidak mempelajari ini dengan betul-betul, pembangunan industri seperti jalan tol, kebun sawit, pertambangan, bahkan pemindahan ibu kota tergesa-gesa yang mana tidak saja merugikan ekosistem alam tetapi masyarakat sekitar juga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun