Pada ketinggian 2.873 meter di atas permukaan laut, dari pengunungan Quarles Sulawesi, pemuda Prio kenakan jaket tebal menahan suhu udara yang bergeser lewati nol derajat celcius. Ia adalah salah satu tim dari Mapala UGM yang mencoba menaklukkan puncak Mabbulilling dan Gandang Dewata di bahagian barat Pulau Sulawesi.
"Awan-awan yang menyerupai aliran sungai diantara Mambuliling dan Gandan Dewata. Bersaksiklah atas puisi yang akan kubacakan saat ini."
Awan yang terus begerak menipis diterpa matahari yang mulai muncul dari upuk timur tak menjawab. Pohon-pohon berdaun hijau yang mulai jelas terlihat dengan kristal air yang berjatuhan tidak juga menjawab kekonyolan pemuda berdarah Jawa-Makassar ini. Namun ia tak bergeming dengan keputusannya, akan baca puisinya di hari ke-28 Bulan Mei tahun 1991 itu.
"Awan-awan yang menyerupai aliran sungai diantara Mambuliling dan Gandang Dewata. Bersaksiklah atas puisiku ini."
Tidak ada jawaban, awan semakin menipis, daun-daun di pepohonan semakin hijau. Pesona alam Gunung Mambulilling yang bersisian dengan Gandang Dewata, semakin tampakkan pesonanya. Alam yang luar biasa elok dan nyaman disantap mata.
"Awan-awan bersaksilah . . ."
"Ya, awan bersaksi, bacankanlah puisimu bang."
Prio pucat di atas pasi. Ada suara, persis di belakangnya. Ia tidak ingin menoleh menampakkan mukanya yang merah padam menyala. Suara itu keluar dari mulut perempuan baru dikenalnya sepekan yang lalu. Siapa lagi kalau bukan Ariani Metasapta Paulina. Satu-satunya, gadis dalam tim ekspedisinya. Gadis ini adalah anggota Mapala Unhas yang dijadikan pemandu.
"Bacalah puisimu, bang."
Prio mengurunkan niatnya, ia melipat kertas puisinya dan akan memasukkan ke kantong jaket. Sayang, sekali, tiba-tiba Ariani merampas kerta itu lalu menjauh. Prio, bergegas memintanya.
"Jangan. Kembalikan!"