Mohon tunggu...
Taufik AAS P
Taufik AAS P Mohon Tunggu... Penulis - jurnalis dan pernah menulis

menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Amor Sepasang Kayu di Selat Makassar

20 Maret 2018   16:42 Diperbarui: 20 Maret 2018   21:44 2073
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beggolo, putra Raja Nokilaki di lembah antara Gunung Gawalise dan Gunung Kulawi mengembara ke selatan. Pangeran tanpan ini menolak dinikahkan dengan sepupunya Gammara Ambalolo putri cantik dari Raja Uekuli di tepian Danau Poso.

//

Raja Nokilaki murka dan malu lantaran lamaran sudah dilayangkan. Sakit hati Raja Uekuli bisa berujung pada perang saudara antara Kerajaan Nokilaki dan Uekuli. Walaupun Raja Nokilaki tidak takut pada bala tentara Uekoli namun ia malu kepada pamannya Raja Parigi yang bertahta di tepian Danau Lindu.

"Benggolo engkau telah mempermalukan ayahmu, menolak dinikahkan dengan Gammara Ambalolo, sepupumu anak Raja Uekuli. Itu artinya, kamu telah menampar muka kerabatku di tepian Danau Poso sana. Camkan itu, Beggolo."

Usai beri ultimatun pada putra Mahkota Nokilaki ini, raja menggebrak sandaran tangan kursi kebesarannya. Seketika itu dudukan kebesaran Raja Nokilaki berguncang hebat, kursi kayu jati yang didatangkan dari Kerajaan Raha di tengara itu terbela oleh tenaga dalam raja. Namun Beggolo hanya menekur menatap lantai dimana ia duduk bersilah.

"Maafkan ananda. Hamba siap menerima hukuman. Cabutlah gelar putra mahkota di pundakku. Asalkan raja jangan cabut cinta kami... "

"Apa katamu Beggolo."

Raja Nokilaki yang sudah berdiri lansung menyergap perkataan Beggolo yang belum selesai. Raja betul-betul marah, matanya kemerah-merahan. Tangannya dikepal, namun tak sampai hati menurunkan tangan pada putranya itu. Sebab bencana bakal terjadi, Beggolo bisa cacat seumur hidup kalau nyawanya masih sempat.

//

Perahu Beggolo karam di tepian selat Makassar, kapal sang pangeran bersama pengikut didatangi nelayan setempat. Mereka tawarkan pada Pengeran dari Kerajaan Nokilaki ini untuk merapat saja karena pantai sudah dekat.

Mengetahui kalau Benggolo adalah pangeran dari Nikolaki, kepala pedukuhan, La Tuppu bersama putranya La Ijo menjemput pangeran tampan ini. La Tuppu tahu, walaupun dirinya hanyalah kepala kampung namun aliran darah Kaili diantara mereka adalah sama.

"Anak pangeran, singgalah di gubuk kami sekedar mengaso dan minum air putih."

La Tuppu lalu jelaskan bahwa dirinya adalah kepala pedukuhan di Tanjung Babia, dimana mereka kini. Benggolopun mengikut dan berjalanlah bersama La Tuppu dan Ijon semakin ke kampung. Punggawa dan saw-sawi kapalnya juga ikut dan beristirahat di rumah-rumah warga lainnya.

//

Menanti kapalnya diperbaiki, Beggolo mengisi hari-harinya dengan berdiam diri di rumah La Tuppu sang kepala kampung. Sementara lelaki yang telah ditinggal mati istri 10 tahun lalu ini, selalu ke laut melihat pukatnya, bersama putranya La Ijo. Hanya putri La Tuppu, Lembatina yang kadang menemani Beggolo, bila ia tak sibuk di kebun milik ayahnya.

Siang itu Beggolo duduk di beranda depan rumah La Tuppu, dari jauh ia perhatikan sosok wanita berjalan ke arahnya. Semakin dekat, semakin terang, jelas, rambutnya indah, bentuk tubuhnya sempurna mirip gita melody. Meskipun gadis kampung kulitnya putih tanpa polesan.

"Lembatina."

Benggolo menyapa, wanita muda  itu masuk pekarangan rumah. Namun yang di sapa tidak menyahut, hanya tebarkan senyum yang sangat indah dari bibir yang merah muda debarkar jantung perjaka.

"Lembatina."

Benggolo masih mengulang sapaannya, namun tetap saja sang gadis tak menyahut. Ia masih saja senyum, dan terus melangkah masuk rumah. Benggolo tak kuasa, iapun mengikuti wanita itu hingga ke dapur.

"Lembatina."

Benggolo mendekat. Wanita muda itu tidak menyahut ia hanya sibuk dengan keinginannya memasak sayur. Namun senyum tak pernah lepas dari bibir ranumnya yang membuat jantung Beggolo terpacu, berdetak lebih kencang dari biasanya.

Penasaran tiada tara, Benggolo terus mengikuti langkah wanita desa yang berwajah kayak putri keraton ini. Ia beranikan diri memegang tangan dan menyapanya dengan lembut.

"Lembatina."

Merasa tangannya disentuh, sang gadis menoleh ke arah Benggolo. Tatapannya lugu dan pasrah membuat Benggolo kena sirep. Lidahnya keluh tak mampu berkata-kata, wanita telah membuatnya jatuh hati secara sepontan.

"Lembatinaaaaaa."

Suara La Tuppu terdengar dari luar rumah. Saling tatap antara perawan dan bujang ini buyar. Lembatina menyahut, Beggolo salah tingkah dan melepaskan genggamannya dari jari Lembatina. La Tuppu telah berada di depan pintu dapur.

"Oh, oh, oh."

La Tuppu ber-oh tiga kali, kikuk juga pria tua ini melihat tamu dan anak gadisnya saling mendekat. Namun dengan bijak sang kepala kampung ini tersenyum rela.

"Anak Benggolo, pintar masak juga rupanya."

Benggolo duduk di atas balai-balai. Ia kelihatan gugup dan sedikit malu kepergok meremas jari anak gadis orang. Namun itu dari nalurinya yang paling dalam. Tak ada gunung yang tinggi, tak ada laut yang dalam, itu akan dilaluinya, demi hatinya yang mulai terpaut.

//

Raja Nokilaki terus bergerak semerawut di depan putranya Benggolo. Ia paham anaknya telah jatuh cinta pada seorang gadis lain, hingga menolak dinikahkan dengan putri cantik Gammara Ambalolo dari Uekoli.

"Putra mahkota kerajaan Nokilaki ramanda cabut, namun jangan cabut cintamu dengan siapa. Katakan."

"Lembatina."

Bagaikan petir di siang bolong menyambar, mekak di telinga Raja Nokilaki. Itu  setelah Benggol lanjutkan ceritanya tentang putri Kepala Kampung Tanjung Babia, sebuah pedukuhan jauh dari Nokilaki.

"Pergilah penuhi cintamu itu, dan jangan kembali lagi ke Nokilaki. Jika aku menemuimu lagi. Nyawamu jadi taruhannya."

Raja tinggalkan ruangan denga putusannya yang pasti. Benggolo berkemas, ia tahu putusan raja adalah mutlak.

//

La Tuppu, La Ijo, dan Lembatina termenung mendengar cerita Benggolo. Demi kebaikan Benggolo dan Lembatina, La Tuppu relakan sepasang pengantin baru yang dicintainya itu tinggalkan Tanjung Babia.

Benggolo dan Lembatina lalu siapkan pelayaran untuk pergi jauh. Dua sejoli ini akan berlayar entah kemana. Hanya pantai Tanjung Babia, tempat mereka mulai angkat jangkar yang tahu, daratan mana yang dituju.

"Mertua La Tuppu, ipar La Ijo. Tataplah dalam-dalam kami berdua untuk terakhir kalinya. Karena hanya akhiratlah yang bakal mempertemukan kita di belakang hari."

Benggo dan Lembatina kemudian menancapkan kayu di tepian Selat Makassar itu. Lalu keduanya berpamitan.

"Ijinkanlah kami pergi. Kayu sepasang ini adalah bukti, kami pernah ada. Kami saling cinta, kami akan berlayar, kami tak terhalang."

"Ya, Vovasanggayu."

La Tuppu, La Ijo menjawab bersamaan, lalu perlahan-lahan perahu Benggolo dan Lembatina menembus laut. Ombak Selat Makassar terus mengiring kepergian mereka, bernyanyi tentang cinta yang agung tak pernah padam.

Note: Kesamaan nama dan tempat  hanya kebetulan belaka,semuanya rekaan penulis semata

Makassar, 2o Maret 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun