Shinta tidak perduli, ia tarik diriku masuk dalam kamar dan trus mendorongku ke tempat tidur. Masih dalam suasana tak bergeming Shinta trus merambah tubuhku dengan jari-jari halusnya. Seperti kerbau dicocor hidung aku menurut saja. Sebab aku memang sayang istri. Usia pernikahan kami baru seumur jagung. wajar saja Shinta begitu setelah 2 hari aku dinas luar kota.
Daripada aku menyinggung perasaan Shinta tersayang, kupersiapkan dirilah atas segala sesuatu yang bakal terjadi di hampir tengah malam itu. Aku juga telah ada persiapan 2 mangkuk cota plus 4 biji ketupat andai Shinta terus menyerangku.
"Shintaaa."
"Yaaa."
Shinta menjawab pelan dengan tatapannya yang membuat diriku hanyut semakin ke hilir. Saat segala sesuatunya telah siap dan jangkar telah dibuang, kapal telah berlabuh dengan tenang. Shinta bernapas panjang sambil terus memeluk diriku. Kami senang dan bahagia.
"Kak, aku menemukan sesuatu dalam dompetmu. Aku telah membakarnya barusan, sebelum kamu datang. Hik hik hik."
Shinta terus tertawa dengan lucunya sambil perlihatkan kain hitam pembungkus jimat Naga Sikoi milikkku. Isinya telah musnah dibakar oleh Shinta, entah dimana lagi dibuang debu-debunya.
"Aduh, Shinta."
"Aduh, apa. Dulu kamu taklukan aku dengan jimat itu kan. Kini kakak aku taklukan barusan."
Lalu berdua kami berpelukan dan dan tertawa menuju malam yang semakin larut. Kami bahagia, dunia ini hanya aku dan Shinta yang punya, yang lain cuma numpang.
Amping Gunung, 9 Maret 2018