"Anakku, terimalah ini, jimat pemanis Naga Sikoi."
Dengan tangan gemetar pertanda suka dan gembira La Rakkala Pekko ulu menerima jimat Naga Sikoi dari sang lelaki tua. Ia terus pandangi barang yang dibungkus kain hitam dengan tali merah yang ada di tangannya.
Dengan muka yang melongo, Rakkala memandangi sang lelaki tua penuh penasaran. Namun penasarannya belu terjawab, lelaki tua menggenggam tangannya lalu bacakan matera.
"Camkan baik-baik manteranya anakku La Rakkala."
"iyye Puang."
"Bakengkeng bakongkong, barakka kompai banna motoroka kilampa manontong ri bioskop paramoung."
//
Aku tidak tahu, kenapa istriku Shinta tiba-tiba saja lebih kasar dari biasanya, bahkan seolah ia menjadi Shinto. Belum sempat aku buka pakaia kerja, ia sudah melalap pipiku dengan ciuman-ciumannya. Bukan, ciuman mesra da lembut, tetapi panas dan ganas, bahkan bibirku yang tenang-tenang saja ikut pula dilabraknya dengan dasyat.
"Waduh, ada apa ini Shin."
Aku protes, tetapi Shinta semakin menjadi-jadi saja, ia bahkan menarik tanganku dan melingkarkan di badannya. Ia juga semakin rapatkan badannya ke tubuhku yang baru saja ganti baju, tinggal singlet dan celana boxer.
"Aku mau minum teh hangat Shin."