Pada  kursi  kehormatan di  Barugayya,  The Great Man, I Mangadacina DaEng Sitaba KaraEng Patingalloang  duduk dengan wibawa luar biasa. Beliau ini adalah cendekiawan yang juga adalah Karaeng Tumabbicara Butta ri Gowa sedang memimpin pesta panen di Kerajaan Tallo.
Karaeng Patingngalloang, angkat tanga tinggi-tinggi tanda dimulainya acara pencak silat  di arena yang telah disiapkan. Lalu dua pemuda melompat  masuk arena. Melihat pakaian yang dikenakannya, jelas kedua pamanca (pemain pencak sila)  itu adalah pangeran-pangeran dari Tallo dan Gowa.
Penonton yang berjubel di sekeliling arena, seolah menahan napas saat kedua pamanca  lakukan kembang-kembang dengan jurus-jurus yang memukau. Terlebih lagi keduanya memang adalah pangeran-pangeran yang kesohor. Pemuda yang berkulit sawo matang dengan mata tajam dengan alis tebal adalah  I Mallombasi Daeng Mattawang. Sedangkan lawannya, dengan mata tenang namun dengan pandangan yang dalam adalah La Tenri Tatta Daeng Serang.
Usai peragakan jurus-jurusnya, kedua pamanca ini lalu menghormat bersama Anrongguru yang akan memimpin keduanya bertarung. Kemudian dua pemuda gagah ini dibawah ke tengah arena dan diberi petunjuk tentang aturan dalam pertujukan ini.
"Daeng Serang, ingat ini hanya, manca baruga. Jangan ada pukulan isi di dalamnya. Juga Daeng Mattawa, ingat , Daeng Serang ini adalah kerabatmu, seperti juga adekmu. Jadi pertunjukkanlah gerakan yang indah dan memukau. Apalagi yang mulia Karaeng Patingngalloang lagi menonton di panggung kehormatan."
Anrongguru setengah berbisik pada kedua pamancak ini. Ia ingin kedua pangeran ini professional dalam peragaannya. Karena Anrongguru melihat pada redupan mata Daeng Serang ada rasa dendam."
//
Telah enam  jurus diparagakan dalam pertarungan Daeng Mattawang dan Daeng Serang.  Penonton berdecak kagum dan bertepuk tangan, tidak terkecuali Karaeng Patingngalloang dari panggung kehormatan. Ia terkesan dengan kepiawaian dua anak asuhnya tersebut dalam olah pencak. Namun Mangkubumi  Kerajaan Gowa ini  tetap saja kasihnya pada ponakannya Daeng Mattawang.
Tiba-tiba saja sebuah pukulan dari Daeng Serang dengan deras meluncur ke dada kanan Daeng Mattawang. Pukulan itu dapat dihindarkan, namun telah membuat destar Daeng Mattawang miring dari posisinya.
"Eh, adek Daeng Serang. Teaki sanna dudu."
Daeng Mattawang berbisik pada Daeng Serang, pukulannya jangan terlalu keras dan berisi tenaga dalam. Daeng Serang tersenyum namun tetap melontarkan sapuan kaki yang membuat Daeng Mattawang harus melompat mundur dua tombak.