Dalam sebuah reuni kecil, aku dan Muje sepakat bertemu di warung kopi Daeng Ti'no. Karena di warung kecil pada bibir kampus merah ini di era 80-an kami sering menunggu jam kuliah, sekaligus tempat nongkrong kalau bolos. Meski tempatnya sederhana, namun kami betah saja berjam-jam.
Daeng Ti'no, wanita setengah baya kala itu  memang baik, bila kiriman terlambat, boleh saja kita ngutang kalau sekedar dua tiga gelas kopi susu atau sebatang dua batang rokok.
"Ambilmi saja dulu, nanti adapi kirimanmu baru bayar, asal jangan lama-lama."
Hanya begitu bahasa wanita kelahiran  Kabupaten Takalar ini, kalau kami muncul di warungnya sambil garuk-garuk kepala. Ia betul-betul paham bahasa tubuh mahasis yang lagi "GO" alias game over.
Kami juga tidak paham kenapa namanya Daeng Ti'no. Karena kalau di Indonesiakan  Bahasa Makassar itu, artinya, "Kakak Masak." Betul --betul sesuai dengan profesinya, masak kopi bagi kami para mahasiswa.
//
Kami bertemu di warung Kopi Daeng Ti'no setelah belasan tahun tinggalkan kampus. Rupa-rupanya warung itu sudah dipermanenkan oleh pihak kampus. Cuman Daeng Ti'no saja yang tidak permanen. Wanita baik dan bersahaja itu menurut anaknya yang gantikan, telah meninggal dunia  lima tahun yang lalu dan dikebumikan di kampungnya.
"Innalillah Wainna Ilaihi Rajiun."
Muje dan aku berbaringan ucapkan kalimat itu, membuat anak Daeng Ti'no kanget melihat kami. Apalagi jika melihat penampilan Muje yang sudah jadi Ketua DPRD di kota kami. Ia mungkin bangga dengan ibunya, ada juga pembesar sekelas Muje yang kenal almarhuma ibunya.
"Oh, bapak-bapak tau ibu saya."
"Iya, almarhuma sangat baik dan suka menolong kami, saat masih mahasiswa di kampus ini."
Anak Daeng Ti'no itu tambah heran saja sambari terus melihat kami. Ia semakin tidak percaya saja kalau ibunya sering menolong kami. Muje lalu jelaskan bagaimana  kisah kami di warung kopi Daeng Ti'no.
"Karena itu kami datang kemari dengan Daeng Ti'no, ingin bernostalgia dan mengenang  kelakuan kami yang nakal."
//
Hari itu, sebagaimana biasa, lepas jam pertama perkuliahan, telah nongkrong di warung Daeng Ti'no. Â Duit kami hanya Rp 2.500, rencananya kami akan minum kopi susu dan merokok masing-masing sebatang. Tetapi setelah dihitung-hitung. Harga rokok sebatang Rp. 250, harga kopi susu Rp. 1.500 per-gelas. Jadi kami kekurangan Rp. 1000. Mau ngutang, tidak enak sama Daeng Ti'no, utang lalu masih ada.
"Daeng Ti'no. Kopi susu belum turun jadi Rp. 1000."
"Bagaimana caranya Muje, naikji  itu bisa, masa turun.  Kalau Rp. 1000, kopi biasaji itu. Susu putih juga hanya Rp. 1000  segelas."
Daeng Ti'no tertawa kecil dan melihat Muje dengan wajah lucunya. Namun Muje tetap serius, ia minta dua batang rokok. Ia juga pesan kopi hitam segelas dan susu putih segelas.
"Waduh, selera siapa ini Muje pesan."
Aku bertanya dalam hati sambil mulai merokok kantong mencari korek. Namun Muje kemudian menimpali lagi.
"Kasika juga gelas kosongta satu dan sendok Daeng Ti'no."
Saat pesanan Muje tiba dan Daeng Ti'no berlalu ke dapurnya. Â Muje yak ala itu sudah semester terakhir di Fakultas Sospol, mulai meracik. Ia tumpakan kopi hitam ke gelas kosong hingga setengahnya. Lalu ditambah setengah gelas lagi, kemudian diaduk. Dipersilahkan juga aku untuk meracik yang masih tersisa. Lalu berdua kami minum kopi susu itu.
Rupa-rupanya Daeng Ti'no diam-diam  memperhatikan kami. Ia lalu mendekat dan tersenyum.
"Pintar memang tong, kalau mahasiswa  taua. Kopi susu harga Rp. 1000  bisa na dapat."
Kami tertawa terpingkal-pingkal. Daeng berlalu ke dapur dengan senyum-senyum.
 Amping Lau, 19 Desember 2017 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H