Anak Daeng Ti'no itu tambah heran saja sambari terus melihat kami. Ia semakin tidak percaya saja kalau ibunya sering menolong kami. Muje lalu jelaskan bagaimana  kisah kami di warung kopi Daeng Ti'no.
"Karena itu kami datang kemari dengan Daeng Ti'no, ingin bernostalgia dan mengenang  kelakuan kami yang nakal."
//
Hari itu, sebagaimana biasa, lepas jam pertama perkuliahan, telah nongkrong di warung Daeng Ti'no. Â Duit kami hanya Rp 2.500, rencananya kami akan minum kopi susu dan merokok masing-masing sebatang. Tetapi setelah dihitung-hitung. Harga rokok sebatang Rp. 250, harga kopi susu Rp. 1.500 per-gelas. Jadi kami kekurangan Rp. 1000. Mau ngutang, tidak enak sama Daeng Ti'no, utang lalu masih ada.
"Daeng Ti'no. Kopi susu belum turun jadi Rp. 1000."
"Bagaimana caranya Muje, naikji  itu bisa, masa turun.  Kalau Rp. 1000, kopi biasaji itu. Susu putih juga hanya Rp. 1000  segelas."
Daeng Ti'no tertawa kecil dan melihat Muje dengan wajah lucunya. Namun Muje tetap serius, ia minta dua batang rokok. Ia juga pesan kopi hitam segelas dan susu putih segelas.
"Waduh, selera siapa ini Muje pesan."
Aku bertanya dalam hati sambil mulai merokok kantong mencari korek. Namun Muje kemudian menimpali lagi.
"Kasika juga gelas kosongta satu dan sendok Daeng Ti'no."
Saat pesanan Muje tiba dan Daeng Ti'no berlalu ke dapurnya. Â Muje yak ala itu sudah semester terakhir di Fakultas Sospol, mulai meracik. Ia tumpakan kopi hitam ke gelas kosong hingga setengahnya. Lalu ditambah setengah gelas lagi, kemudian diaduk. Dipersilahkan juga aku untuk meracik yang masih tersisa. Lalu berdua kami minum kopi susu itu.