Andai saja ada komponis sekelas Gesang di Mamuju Utara, ia pasti ia akan membuat juga mahakarya sekaliber “Bengawan Solo” ketika melihat legenda dan kemegahan Sungai Lariang. Sebuah sungai besar yang panjang, tidak terpisahkan dalam sejarah rakyat Mamuju Utara.
Cerita tentang Sungai Lariang yang juga tercitra baik dalam google maps, memang tidak bisa dipisangkan dari sejarah orang-orang pertama yang mendiami Mamuju Utara. Dimana dalam kisaran cerita, bahwa sepanjang Sungai Lariang yang membentang dari Dataran Tinggi Napu, Kab. Poso, Provinsi Sulawesi Tengah, melewati wilayah Kab. Mamuju Utara hingga bermuara di Selat Makassar , adalah perkampungan-perkampungan orang-orang terdahulu di Mamuju Utara. Diperkirakan pusat-pusat kebudayaan Kaili Tua berada di pinggiran Sungai Lariang yang kemudian dikenal sebagai To Ri Bunggu atau To Ri Binggi. Juga dikenal sebagai masyarakat peladang yang ulung.
Ketika masyarakat lokal Bunggu masih tunggal berladang di sepanjang Sungai Lariang, kelestarian dan keseimbangan alam masih dapat terjaga. Karena masyarakat local tersebut masih dalam batas toleransi dalam mengeksploitasi alam dengan peralatan yang sederhana. Juga areal okuvasi masyarakat lokal Bunggu tidak pada posisi mengkhawatirkan atas kelestarian alam, itu ditinjau dari luasan serta cara mengeksploitasi alam.
Fakta alam menjelaskan dan juga masyarakat tahu bahwa sebelum era tahun 1990-an, Sungai Lariang, adalah sungai yang indah sebagai jalur transportasi yang cukup baik. Kesetimbangan ekosistem sungai masih terjaga dengan baik, aneka jenis ikan masih bisa dijumpai di Sungai Lariang, termasuk Massapi atau Sidat dan Udang Galah. Dua jenis ikan yang kaya protein sudah mulai menghilang dari Sungai Lariang. Begitu juga bantaran sungai tetap terpelihara kelestariannya dan menjadi habitat berbagai jenis flora dan fauna.
Pasca era tahun 1990-an setelah perkebunan besar sawit miliki Astra Agro Lestari (AAL) Corp. dan Unggul Widya Corp. mulai meng-HGU-kan wilayah di seputaran Sungai Lariang, terjadi perombakan struktur ekosistem secara besar-besaran. Bantaran Sungai Lariang sudah terabaikan pelestariannya, setiap musim hujan sungai yang juga adalah habitat buaya ini mengalami banjir bandang, menimbulkan gerusan hingga ratusan hektar. Ini berbanding terbalik di musim kemarau, air Sungai Lariang semakin menipis dan menimbulkan delta-delta kecil di tengah sungai. Akibat pendangkalan menyebabkan hancurkan ekosistem air Sungai Lariang.
Akibat dari kontaminasi perkebunan besar sawit dari pemilik modal besar telah menggeser pola pikir masyarakat lokal Bunggu secara khusus dan masyarakat Mamuju Utara secara luas – bahwa sawit yang menjadi bahan baku Palm Crude Oil (CPO) memiliki nilai ekonimi yang tinggi. Ramai-ramailah areal di seputaran Sungai Lariang disawiti. Inilah awal penghancuran alam yang bisa menjadi ancaman besar pada masa depan Mamuju Utara.
Berkaca dari banjir bandang di awal tahun 2013 akibat luapan Sungai Lariang, menyebabkan ratusan hektar laham masyarakat di Kecamatan Lariang dan Tikke Raya, Mamuju Utara, tergerus dan tergenang air. Menjadi penyebab perekonomian masyarakat di wilayah tersebut menjadi anjlok akibat kebun-kebun masyarakat tidak bisa panen. Pemerintah Mamuju Utara, belum juga membuat satu kebijakan “permanen” untuk pelestarian Sungai Lariang. Bahkan hanya membuat kebijakan instan dengan memberi bantuan sembako belaka dan menunggu upaya-upaya rehabilitasi Sungai Lariang dari Bala Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan – Jeneberang.
Bagi BBWS Pompengan – Jeneberang, Sungai Lariang adalah obyek kajian dalam pengajuan proposal ke Kementerian Pekerjaan Umum dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini. Dan semenjak tahun 2010 silam, sudah hampir ratusan milyar dana digelontorkan untuk Sungai Lariang dalam bentuk, perkuatan tebing, normalisasi dan rehabilitasi. Namun setiap tahun pula Sungai Lariang tetap menggenang dan menghanyutkan tanah-tanah perkebunan dan pertanian masyarakat.
Begitu juga kebijakan-kebijakan Pemerintah Kab. Mamuju Utara untuk melestarikan bantaran Sungai Lariang, misalnya dalam Hari Lingkungan Hidup, Maret 2012 silam, menurut infonya telah ditanam 68.000 pohon bambu bantuan dari sejumlah perkebunan besar sawit di Mamuju Utara pada 7 bantaran sungai, termasuk bantaran Sungai Lariang. Namun setelah satu tahun lewat pohon-pohon bambu yang dimaksud tidak dijumpai di bantaran Sungai Lariang. Jangan-jangan ini hanya lips service Pemkab. Mamuju Utara sebagai kepedulian pada Sungai Lariang.
Fakta lain yang perlu mendapat catatan dari kondisi Sungai Lariang, adalah arusnya yang sangat deras ketika banjir. Ini adalah ancaman yang sangat mengkhawatirkan bagi masyarakat Mamuju Utara yang bermukin di sepanjang Sungai Lariang. Ganasnya arus Sungai Lariang yang berpacu dengan kecepatan tinggi karena kondisi alam yang sudah rusak sepanjang aliran sungai ini. Sehingga tidak terjadi proses “air tertangkap” dari hulunya di dataran tinggi Napu. Karena pohon-pohon sawit yang berada pada aliran sungai tersebut, bukan jenis pohon yang mampu menahan air.
Bila pelestarian Sungai Lariang tidak secepatnya mendapat perhatian, sungai yang memiliki legenda yang tidak terpisahkan dari masyarakat local di Mamuju Utara akan menjadi ancaman menakutkan di masa-masa yang akan datang. Bukan tidak mungkin, jika melihat kerusakan Sungai Lariang dari tahun ke tahun. Suatu saat sungai ini akan menenggelamkan separuh dari Mamuju Utara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H