Mohon tunggu...
khosyi fattah
khosyi fattah Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

saat ini saya sedang menempuh pendidikan saya di Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kurangnya Penegakan Keadilan dan Penyimpangan Profesionalisme dalam Dunia Pendidikan Kedokteran: Pelajaran dari Kasus Penganiayaan Koas di Palembang

2 Januari 2025   01:14 Diperbarui: 2 Januari 2025   01:18 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kedokteran adalah profesi yang menuntut seseorang untuk mengombinasikan antara pengetahuan ilmiah yang mendalam dan tanggung jawab yang sangat besar. Tanggung jawab ini tidak hanya mencakup diri pribadi, tetapi juga rekan sejawat dan masyarakat luas, yang menjadi fokus utama dalam setiap layanan medis. Profesionalisme adalah dasar dari profesi ini, dan salah satu aspek pentingnya adalah kemampuan berkomunikasi, baik dengan pasien maupun sesama tenaga medis. Namun, di balik itu semua, masih terdapat beberapa oknum yang menyimpang, yang menjadi tantangan besar dalam mencapai standar profesionalisme yang ideal. Tantangan ini juga berkontribusi pada adanya ketidakadilan dalam praktik medis, sebuah masalah yang hingga kini terus diperjuangkan untuk diatasi.

Salah satu kasus yang menunjukkan penyimpangan profesionalisme adalah kasus penganiayaan koas di Palembang, Sumatera Selatan pada hari Rabu, 11 Desember 2024 lalu. Kasus ini tentunya mendapat perhatian yang besar dari masyarakat, dengan munculnya pertanyaan akan sifat pelaku, yang merupakan calon dokter, seperti bagaimana bisa seseorang yang akan mengabdi pada masyarakat memperlakukan teman sejawatnya dengan sangat buruk? Jika seseorang memperlakukan teman sejawatnya saja dengan buruk, apa yang terjadi jika mereka harus merawat masyarakat? dan pertanyaan semacamnya yang membuka pandangan banyak orang terhadap dunia kedokteran yang sesungguhnya dengan memperlihatkan sisi gelap sistem pendidikan dokter yang sangat kompetitif. Beberapa juga mengasumsikan terlalu banyak campur tangan orang tua dalam sistem pendidikan kedokteran yang sekarang, berbeda dengan zaman dahulu.

Kasus penganiayaan koas di Palembang menyebar dengan sangat cepat, dibantu juga dengan media sosial yang menjadi platform paling efektif untuk membagikan informasi. Muncul berbagai tanggapan dari masyarakat pengguna media sosial. Banyak sekali tenaga medis yang marah dan tidak terima dengan perlakuan yang mengenai korban. Perasaan ini mereka luapkan melalui platform media sosial, seperti aplikasi X, Instagram, dan facebook. Bahkan masyarakat umum juga ikut memberikan komentar terkait kasus ini. Orang tua juga ikut berperan meramaikan kolom komentar karena perasaan takut anaknya mengalami kejadian serupa.

Salah satu contoh ungkapan perasaan tenaga medis disampaikan dr. Ayman Alatas melalui aplikasi X "Ya Allah, itu koas dipukulin cuma gara-gara masalah jadwal jaga, harusnya paham resiko kalo lagi pendidikan dokter pasti ada kalanya masuk di tanggal merah" yang menunjukkan kekecewaan terhadap juniornya. Ada pula netizen yang berkomentar di aplikasi tiktok, seperti "nggak usah damai, orang tua arogan dan anak yang manja perlu diberi pelajaran", "kalo anak mami manja gausah masuk kedokteran, cuma jadi beban temen aja", "khawatir ada pasien rewel tanya tentang penyakitnya langsung dipukuli. Lebih baik jangan jadi dokter, berbahaya pasien bukan sembuh malah mati", dan sangat banyak komentar lainnya.

Komentar-komentar tersebut menunjukkan banyaknya orang yang peduli terhadap korban dan tidak dapat menerima perlakuan tidak terpuji pelaku, yang dirasa tidak dapat memanusiakan manusia, terlebih lagi dengan status calon dokter, yang seharusnya menunjukkan sifat profesionalisme yang tinggi, sikap beretika, dan saling menghargai sesama manusia.

Selain komentar yang membahas kasus tersebut, ada juga komentar netizen yang ikut speakup mengenai budaya koas. Koas, sebagai bagian dari pendidikan kedokteran yang berada pada posisi paling rendah dalam hierarki rumah sakit, seringkali menghadapi berbagai tekanan fisik dan psikologis, bahkan intimidasi, dari senior mereka. Tindakan seperti ini, yang kerap dianggap sebagai bentuk pengajaran disiplin, sejatinya jauh dari prinsip pendidikan yang semestinya ada dalam dunia kedokteran. Sebaliknya, hal ini dapat merusak perkembangan pribadi koas dan menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi proses belajar mereka.

Kasus yang melibatkan seorang koas bernama Lady Aurellia Pramesti ini mencuri perhatian publik setelah ibu dari Lady, Sri Melliana, melakukan kekerasan fisik terhadap ketua koas di sebuah kafe. Kejadian ini bermula ketika Lady merasa tidak puas dengan pembagian jadwal piket yang bertepatan dengan liburan Natal dan Tahun Baru, yang menghalanginya untuk pergi berlibur ke Eropa. Meski sudah ada perubahan jadwal yang lebih menguntungkan bagi Lady, ia tetap merasa tidak dihargai. Ketidakpuasan ini kemudian disampaikan kepada ketua koas stasenya.

Namun, masalah semakin berkembang ketika Lady mengadu kepada ibunya. Merasa anaknya diperlakukan tidak semestinya, Sri Melliana akhirnya datang bersama sopirnya untuk menemui ketua koas dan melakukan kekerasan fisik yang mengakibatkan korban terluka. Tindakan ini jelas menunjukkan adanya penyalahgunaan kekuasaan yang tidak hanya mencoreng etika dalam dunia pendidikan kedokteran, tetapi juga mengundang masalah hukum yang serius.

Dalam perspektif hukum, tindakan ibu Lady, yaitu melakukan penganiayaan terhadap ketua koas, jelas melanggar Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan. Kekerasan fisik dan psikologis adalah pelanggaran hukum yang bisa dikenakan sanksi pidana. Selain itu, tindakan tersebut juga merugikan korban secara pribadi, bahkan mencemarkan nama baik institusi pendidikan dan rumah sakit tempat kejadian berlangsung.

Kasus ini juga memberikan pelajaran penting mengenai pentingnya menjaga etika dalam dunia pendidikan kedokteran. Ketidakadilan dan intimidasi bukan hanya merugikan individu, tetapi juga dapat menciptakan atmosfer yang buruk dalam dunia medis. Kondisi ini berisiko mengganggu kualitas pendidikan kedokteran di Indonesia yang seharusnya menanamkan nilai-nilai empati, profesionalisme, dan etika dalam pelayanan kesehatan. Tindakan ibu Lady juga memperlihatkan bagaimana penyalahgunaan kekuasaan dapat memperburuk situasi dan merusak reputasi keluarga.

Sudah seharusnya evaluasi besar besar dilakukan dalam menjaga profesionalisme dokter saat mengemban amanah besar ini. Sebuah tindakan yang tidak terpuji, seperti yang terjadi dalam kasus ini, seharusnya tidak terulang di masa depan. Selain itu, aparat penegak hukum juga harus menjalankan tugasnya secara adil tanpa diskriminasi, tanpa ada tebang pilih berdasarkan jabatan. Kasus ini seharusnya diselesaikan tidak hanya melalui kesepakatan damai yang melibatkan uang, tetapi juga diproses secara hukum untuk memberikan efek jera terhadap pelaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun