Mohon tunggu...
Felix Leonel Chrisnanda
Felix Leonel Chrisnanda Mohon Tunggu... Lainnya - Sekolah

Pelajar suka bernyanyi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jakarta Keras

18 November 2024   18:08 Diperbarui: 18 November 2024   18:26 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Biru, seorang dengan gaji minim untuk menghidupi keluarga nya. Sebulan yang lalu, ia memberanikan diri untuk merantau ke Jakarta demi keluarganya. Biru pun tidak berprasangka dengan mengambil keputusan yang sejauh ini. "Jakarta keras." Cakap Ibu Biru sehari sebelum keberangkatan Biru ke Jakarta. Ibu masih sangat ragu akan keberangkatan anaknya di esok hari, namun apa daya Ibu jika anaknya tetap di pendirianya untuk lekas berangkat ke Jakarta esok hari. Malam hari yang gelap di kampung halamanya dengan hujan rintik-rintik yang memeluk hangat dan menemani Ibu membantu persiapan keberangkatan Biru esok hari. "Esok hari adalah hari yang panjang." Benak Biru melihat Ibu. "Esok hari dimana nasib keluarga ini akan aku ubah." Cakapnya kepada Ibu.

Esok hari, saat pagi masih gelap gelapnya, sekitar jam empat. Biru terbangun dari tidur nya dan merasa ragu dan gelisah sembari melihat ke kaca "Apakah keputusan ku ini terlalu cepat." Tanya nya kepada dirinya di kaca. Biru sontak menepis perkataan tersebut lalu memberikan sapuan terhadap pikiranya tersebut dengan memeriksa barang yang ia akan bawa siang ini ke Jakarta. Tak di sadari oleh Biru, Ibu memeriksa Biru dengan membuka pintu tanpa pintu, seperti hanya di beri kain saja sebagai pembatas ruangan. Tatapan Ibu bak bagai ayam lepas bertaji. Ibu masih ragu dengan keputusan Biru, Ibu hanya bisa mendoakan saja semoga anaknya di beri restu oleh Sang Maha Kuasa.

Setiap jam Biru sebutkan doa dalam hati sembari membonceng ojek menuju terminal. Ia tekad kan diri untuk tetap optimis dalam pendirianya. Terminal Giwangan Jogja, tempat ia menunggu Bus keberangkatanya menuju Kota Metropolitan itu, impianya yang melebihi tujuh tingkatan langit itu, ia serahkan kepada-Nya. "Semoga aku berhasil." Doanya.

Tak lama bus pun datang, ia berjalan menuju bus setelah itu ia masuk ke dalam bus dan duduk di kursi yang ia baru saja pesan di loket tiket dengan uang sisa seratus ribu itu, sekarang uangnya sisa delapan puluh ribu. Ia tak memikirkan uang itu, yang ia pikirkan sekarang hanya sampai di Jakarta dengan selamat.

Hujan memeluk Biru dengan hangat sepanjang malam di perjalanan menuju Jakarta. Menempuh waktu delapan jam untuk menuju Jakarta adalah suatu tantangan yang baru saja di mulai oleh Biru. Biru hanya bisa menghemat kuota lantas ia hanya membeli kuota secukupnya saja. Di benaknya sekarang, Biru sedang memikirkan Ibu dan keluarga di kampung. Biru berharap semoga mereka baik-baik saja.  Ia menunggu terus menunggu malam yang panjang itu sampai ia tertidur pulas. Hingga akhirnya ia sampai.

Jakarta, kota yang ia damba-dambakan. Kota yang penuh harapan hingga dirinya sendiri tidak bisa membendung harapan tersebut. Akhirnya Biru sampai di Jakarta. Gedung-gedung tinggi perkantoran menjulang ke atas adalah impianya. Biru ingin bekerja di kantor. Melihat keadaan sekarang Biru menyadari bahwa apa daya nya dia jika sekarang melamar kerja di perkantoran. Uang sedikit, tidak ada penginapan. Biru memutar otak agar dapat hidup di Jakarta yang keras ini. Biru memulai hidup barunya yang miskin tambah miskin disini. Ia tidur di jalanan sampai kapan ia tidak tahu. Bekal seadanya dari Ibu kapan lalu pun sudah habis. Tersisa uang delapan puluh ribu itu, pastikan bahwa hanya membeli yang sangat di butuhkan saja.

Hari berhari ia lewati dengan penuh kerja keras untuk mendapatkan uang yang minimal bisa ia belikan makanan untuk ia makan sendiri. Preman-preman jalanan yang bisanya hanya mengambil hak manusia yang lain pun ia hadapi. Ia juga merasakan bagaimana petugas pemerataan jalanan mengejar dia, hanya karena ia beristirahat di pinggir jalan. Selama berhari-hari ia hanya merasakan sialnya Jakarta. Ia merenung di taman, di bawah pohon rimbun di temani kucing liar di sebelahnya, ia mengumpat, marah, sedih, dan bertanya tanya, mengapa pada saat itu ia seberani itu untuk memutuskan pergi ke Jakarta. Ia juga bertanya mengapa Ibu memperbolehkan dia untuk merantau ke Jakarta.

"Aku mengutuk diri ku sendiri, supaya aku balas dendam kepada keputusan ku sendiri yang bertekad ke Jakarta saat itu." Nada penuh putus asa, mengubur mimpinya sedalam-dalamnya. Tangisnya yang tak bisa ia lihatkan kepada dunia, menusuk dalam hatinya. Termuntah muntahlah amarah dia yang hanya bisa ia pendam.

Lalu, Seseorang, perempuan seumuran Biru, menghampiri dia. Duduklah perempuan itu di samping Biru. Di usirnyalah kucing liar itu.

"Hai, kenalin Daria." Perempuan itu berbicara kepada Biru. Daria namanya.
Biru tak membalasnya lantaran merasa aneh akan kehadiran Daria yang tiba saat ia emosi. Biru hanya menipu Daria dan dirinya sendiri. Tersenyumlah ia, tipuanya.

"Aku nggak tau apa masalah apa yang menimpa kamu, tapi aku disini mau kasih tau, masalah yang Tuhan berikan kepada mu itu pasti ada alasanya, dan tidak akan melebihi batas mu." Daria berbicara kepada Biru. Lantas ia pergi meninggalkanya.

"Daria namanya." Ucap biru dengan suara kecil.

Pulanglah ia dimana antah berantah di tengah kota Jakarta. Di tempat yang ia teduh, tidak kehujanan, tidak kepanasan, ia tinggali. berhari-hari seperti biasa ia mencari sepeser uang, apapun ia kerjakan demi uang. Sampai suatu ketika ia bertemu Daria di taman itu lagi. Bukan Daria yang pertama memulai percakapan tetapi Biru.
"Daria!" Teriak Biru
Daria sontak menoleh ke belakang, dan mencari sumber suara. Untungnya ia tidak bingung siapa yang meneriaki dia. Penangis, julukan Daria kepada Biru, dalam benaknya.
"Hai." Saut Daria

"Daria, kenalin Biru,  maaf nggak asik pada waktu itu, dan jadi sok asik sekarang karena meneriaki mu, tapi perkataan yang kamu lontarkan pada waktu itu, membuat ku menjadi semangat kembali, terimakasih ya."

"Sering sering ketemu, main ke taman." Jawab Daria.

Setelah pertemuan yang tak di sengaja ini, mereka menjadi semakin dekat, dan sering bertemu. Bincang apa saja yang ingin mereka bincangkan. Orang orang melihat mereka seperti menjalin hubungan, kenyataanya mereka hanya teman dekat. Biru tak lupa juga sibuk untuk bekerja, dan Daria sibuk dengan dunianya. Mereka sama sama sibuk, namun bisa meluangkan waktu bersama sama. Mereka lakukan ini terus menerus dalam jangka waktu yang panjang.

Hingga pada akhirnya, tiga tahun di Jakarta. Merasa jenuh bisa di rasakan oleh Biru karena ia sampai sekarang mendapat gaji yang kecil di Jakarta, mimpinya masih terkubur. Ia tak tahu bagaimana lagi, namun ia percaya ada batang cendawan tumbuh, di mana kita berada, maka disana pula rezeki kita. Ia mencoba melamar pekerjaan sebagai cleaning service di salah satu kantor di daerah tersebut. Di terimalahnya ia di kantor tersebut. Masalah gaji perlahan sudah mulai teratasi, umr sudah pasti.

Akhirnya Biru kerja di kantoran. Ia merasa bersyukur walaupun sebagai cleaning service ia bisa merasakan bagaimana kerja di daerah distrik perkantoran di Jakarta. Pintar-pintarnya Biru membuka juga bisnis makanan ringan di Jakarta menggunakan gaji yang ia punya. Ia keliling kota di temani oleh Daria guna mengantarkan pesanan-pesanan online makanan tersebut. Dikit demi sedikit menjadi bukit.

Selama di temani oleh Daria kemana pun ia berada. Biru merasa nyaman, hingga akhirnya jatuh suka. Daria yang berarti kedamaian benar benar membawa kedamaian hidup Biru di Jakarta.
"Daria kamu membawa ku sampai ke titik ini, aku pengen bersama mu terus, kamu mau jadi pacarku?." Biru mengajak berpacaran Daria.

Sontak Daria kaget, dan bingung. Namun ia juga merasakan kenyamanan bersama Biru selama ini. Lantas ia menjawab "Mau, Biru." Mereka resmi berpacaran. Jakarta keras itu jika Jakarta tanpa Daria, menurut Biru seperti itu.

Lima tahun di Jakarta, tidak sia sia. Biru keluar dari cleaning service menjadi pembisnis. Pemasukan nya tidak main main, sekarang ia sudah tidak kekurangan lagi. Ia lalu membelikanya rumah untuk keluarganya di Jakarta, dan mengajak keluarganya pindah ke Jakarta. Ia tak luput juga mengenalkan Daria yang menemaninya selama ini kepada orang tuanya. Pada akhirnya memang doa dan dukungan orang tercinta selalu bisa menguatkan Biru untuk tetap kerja keras hingga titik ini. Walaupun tidak menjadi kerja kantoran. Biru tetap berhasil merubah nasib keluarganya. Ada batang cendawan tumbuh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun