Negara kita sudah lama dihangatkan oleh isu pemindahan ibukota. Isu ini telah lama berhembus sejak presiden pertama kita Ir soekarno. Pada tahun 1950, Ir soekarno menggagas Ibukota RI pindah ke Palangkaraya. Namun gagasan ini tidak jadi direalisasikan, yang pada akhirnya melalui Undang Undang Nomor 10 Tahun 1964, Ir Soekarno menetapkan DKI Jakarta menjadi Ibukota RI.Â
Tak hanya sampai disitu, isu pemindahan ibukota menghangat lagi di era Presiden Soeharto yang menggagas Ibukota RI dpindah ke Jonggol di Bogor. Namun tidak jadi pula direalisasikan.Â
Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dibentuk tim khusus untuk melakukan pengkajian terhadap pemindahan ibukota. Kegiatan ini bersifat tertutup dan hasilnya tidak pernah diberitahukan kepada publik.
Memasuki era Presiden Joko Widodo, isu pemindahan ibukota semakin memanas dikarenakan di era ini tampak keseriusan Pemerintah RI dalam melakukan pengkajian pemindahan ibukota.Â
Hingga pada hari Senin, 26 Agustus 2019 Presiden Joko Widodo  akhirnya benar benar mengumumkan bahwa Ibukota RI dipindah dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur, tepatnya di sebagian Kabupaten Kutai Kartanegara dan sebagian Kabupaten Penajam Panser Utara. Kabar ini mendapat tanggapan dari seluruh rakyat Indonesia baik pro maupun kontra. Rakyat awam menjadi bertanya tanya mengapa ibukota harus dipindah?
Pemerintah memiliki beberapa alasan mengapa Ibukota RI harus dipindah dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Alasan yang pertama yaitu beban jakarta sudah terlalu berat dalam menampung aktivitas manusia di dalamnya. Seperti yang kita ketahui, Jakarta merupakan pusat ekonomi dan bisnis serta pusat pemerintahan.Â
Semua aktivitas dan pembangunan seolah olah hanya terpusat di Jakarta yang dulu merupakan Ibukota RI. Padahal wilayah Jakarta hanya sebesar 661,5 km. Sementara berdasarkan data dari BPS dan Bappenas RI, jumlah populasi penduduk Jakarta diproyeksikan sampai pada tahun 2019 ini mencapai 10,5 juta jiwa. Artinya Jakarta memiliki kepadatan penduduk sebesar 15.873 jiwa/km.Â
Kepadatan di Jakata ini tidak hanya disebabkan oleh penduduk asli Jakarta yang jumlahnya banyak tetapi juga disebabkan oleh penduduk yang datang dari luar jakarta baik yang menetap maupun tidak.Â
Beragam aktivitas di Jakarta menarik minat banyak penduduk dari luar Jakarta untuk datang dan mengadu nasib di Jakarta. Tak dapat dipungkiri, Jakarta sudah terlalu padat.Â
Kepadatan penduduk dan aktvitas manusia di Jakarta ini berdampak pada kualitas lingkungan di Jakarta yang semakin menurun setiap tahunnya. Seperti yang kita ketahui baru baru ini pada hari Kamis, 12 Agustus 2019, Jakarta menyandang gelar sebagai kota dengan kualitas udara terburuk ke 3 di dunia.Â
Tidak hanya itu, ketersediaan air tanah yang merupakan kebutuhan vital manusia di Jakarta juga semakin kritis jumlahnya serta kualitasnya. Ditambah lagi, beban di atas tanah Jakarta membuat permukaan tanah Jakarta mengalami penurunan mencapai 13 cm setiap tahunnya. Bila tidak dicegah, dikhawatirkan Jakarta akan tenggelam dalam waktu beberapa tahun ke depan.Â