Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sejak kemerdekaan, Indonesia hingga sekarang, pemerintah terus melakukan usaha untuk membangun Indonesia dari berbagai aspek kehidupan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Pemerintah melakukan belanja dalam rangka memenuhi kebutuhan pembangunan tersebut,.Â
Oleh karena itu, untuk melakukan pembangunan dibutuhkan pembiayaan yang dapat mendukung terlaksananya program pembangunan pemerintah. Tetapi sering terjadi ketidakseimbangan antara kebutuhan anggaran belanja untuk pembangunan dengan ketersediaan dana untuk membiayai pembangunan-pembangunan tersebut.Â
Pada kondisi inilah, pemerintah membutuhkan dana lebih agar progam pembangunan yang telah direncanakan dapat terealisasi seluruhnya. Salah satu instrumen yang dilakukan dalam kondisi tersebut  adalah berhutang ke luar negeri.
Utang luar negeri adalah utang suatu negara yang diperoleh dari kreditor yang berasal dari luar negara tersebut dapat berupa uang yang diperoleh dari bank swasta, pemerintah negara lain, atau lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia.Â
Saat ini menurut statistik, jumlah utang luar negeri Indonesia (SULNI) pada kuartal I 2019 yang diterbitkan oleh Bank Indonesia (BI) mencatat ULN (Utang Luar Negeri) mencapai US$ 387,6 miliar atau sebesar Rp 5.542,6 triliun (nilai kurs Rp 14.300). Utang tersebut terdiri dari utang pemerintah yang mencapai US$ 187,7 miliar atau sekitar Rp 2.684,1 triliun atau tumbuh 3,6% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.Â
Sementara itu untuk ULN swasta US$ 197,1 miliar tumbuh 12,8% dibandingkan kuartal sebelumnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa Indonesia yang merupakan negara kaya harus berhutang ke luar negeri dengan jumlah yang begitu besar?
Seperti yang telah kita ketahui, sejak Indonesia dipimpin oleh Presiden Jokowi, pembangunan terutama infrastruktur dilaksanakan secara besar-besaran di seluruh Indonesia. Dana untuk pembangunan infrastruktur tidaklah sedikit.Â
Anggaran belanja pemerintah otomatis meningkat seiring meningkatnya kebutuhan pembangunan infrastruktur. Jika hanya mengandalkan penerimaan dari dalam negeri, hal tersebut tidak dapat mencukupi pembiayaan pembangunan yang begitu besar. Oleh karena itu, agar pembangunan infrastuktur dapat terwujud di seluruh Indonesia secara cepat, pemerintah berhutang ke luar negeri.Â
Menurut dari data statistik, utang luar negeri Indonesia (SULNI) per kuartal I 2019, negara yang paling banyak memberikan utang ke Indonesia yang pertama adalah Singapura yakni sebesar US$ 64 miliar, kedua Jepang sebesar US$ 29,01 miliar, ketiga Amerika Serikat (AS) sebesar US$ 21,3 miliar, keempat China sebesar US$ 17,9 miliar, kelima Hong Kong sebesar US$ 15 miliar dan negara Asia lainnya sebesar US$ 10,4 miliar, serta Belanda sebesar US$ 8,3 miliar.Â
Selain negara, ada juga gabungan sindikasi negara-negara yang memberikan pinjaman yakni mencapai US$ 6,6 miliar. Korea Selatan juga menjadi salah satu pemberi pinjaman ke Indonesia yakni dengan nilai US$ 6,3 miliar.Â
Kemudian ada Jerman yang memberikan pinjaman sebesar US$ 4,6 miliar, Prancis juga memberikan pinjaman US$ 4,1 miliar, Inggris memberikan pinjaman sebesar US$ 3,2 miliar, Amerika sebesar US$ 2,6 miliar, negara Eropa lainnya memberi utang US$ 1,9 miliar, dan Australia memberikan pinjaman sebesar US$ 1,2 miliar.Â
Ternyata Indonesia memiliki utang di banyak negara, oleh karena itu, Bank Indonesia dan Pemerintah terus berkoordinasi untuk memantau perkembangan ULN dan mengoptimalkan perannya dalam mendukung pembiayaan pembangunan, dengan meminimalisasi risiko yang dapat memengaruhi stabilitas perekonomian.
Walau terkesan Indonesia memiliki utang yang banyak, utang ini digunakan untuk kesejahteraan masyarakat yaitu dibangunnya banyak infrastruktur yang notabennya Indonesia terlambat dalam pembangunan infrastruktur.Â
Dapat dilihat saat ini, sudah banyak infrastruktur yang dibangun mulai dari jalan tol, pelabuhan, bandara, dan lain sebagainya baik di pulau Jawa maupun di luar pulau Jawa.Â
Infrastruktur yang lengkap diharapkan mampu mempercepat pertumbuhan perekonomian Indonesia sehingga utang-utang tersebut dapat dilunasi dan juga dapat menopang pembangunan pada aspek-aspek lainnya sehingga terwujudnya pembangunan nasional.
Walau sudah banyak pembangunan yang terealisasi, tetap saja utang luar negeri memberikan beberapa dampak negatif bagi negara yang berhutang. Beban pembayaran cicilan dan bunga utang pemerintah berdampak pada beban APBN yang semakin berat, investasi pemerintah yakni belanja pembangunan semakin tertekan karena alokasi dana untuk membayar cicilan utang dan bunganya.Â
Beban cicilan dan bunga utang pemerintah yang semakin besar menggeser alokasi dana-dana untuk pengeluaran kebutuhan lain. Secara tidak langsung, masyarakat terkena dampaknya dengan berkurangnya proporsi pengeluaran untuk kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat (Faisal H.Basri, 2002:254).Â
Pemerintah meminjam dana dari luar negeri juga untuk menutupi defisit anggaran belanjanya pada APBN. Pinjaman pemerintah tersebut bukan hanya untuk membiayai pengeluaran pembangunan, bahkan pernah digunakan untuk menutupi defisit pengeluaran rutinnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H