Saat ini, media sosial telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan generasi muda. Dari unggahan pencapaian pribadi hingga tren viral, informasi mengalir dengan cepat di platform-platform populer seperti TikTok. Diantara platform media sosial, TikTok menjadi salah satu platform yang paling dominan dalam menyebarkan informasi dengan cepat yang dapat memengaruhi pola pikir dan perilaku sosial manusia. Melalui TikTok, pengguna dapat berkreasi melalui video-video pendek yang sering kali menjadi pusat perhatian.Â
Namun, di balik popularitasnya, TikTok juga berperan besar dalam memicu berbagai reaksi salah satunya Fear of Missing Out (FOMO). Fenomena ini menggambarkan kecemasan atau ketakutan seseorang akan ketinggalan informasi, pengalaman, atau tren yang sedang viral. Hal ini semakin diperburuk dengan dominasi media sosial yang secara terus-menerus menunjukkan gambaran ideal tentang kehidupan yang sempurna yang sering kali tidak mencerminkan kenyataan. Meskipun begitu, banyak orang merasa harus terus-menerus mengikuti tren yang sedang viral agar tidak tertinggal, meskipun hal tersebut bisa berdampak negatif terhadap kesejahteraan mereka.
Dampak Kecanduan Digital
FOMO juga memicu ketergantungan pada media sosial seperti tiktok secara signifikan dikalangan generasi muda. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat FOMO dengan tingkat kecanduan penggunaan TikTok pada remaja. Data dari penelitian tersebut menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05), yang mengindikasikan bahwa semakin tinggi tingkat FOMO, semakin besar kemungkinan remaja mengalami kecanduan pada platform ini (Gita Aresti et al., n.d.). Hal ini menunjukkan Fenomena FOMO dapat menyebabkan ketergantungan yang merugikan pada waktu dan produktivitas manusia.
Dampak Konsumerisme Digital
Tidak hanya memicu kecanduan media sosial, FOMO juga mendorong perilaku konsumtif yang cenderung merugikan. TikTok sering kali mempromosikan berbagai produk melalui konten kreator, mulai dari fashion hingga teknologi terbaru. Hal itu memicu banyaknya pengguna merasa terdorong untuk membeli barang-barang tren yang ditampilkan di platform tersebut demi menunjukkan status sosial mereka. Perilaku konsumtif ini bukanlah karena kebutuhan fungsional, melainkan sekedar terlihat "up to date" untuk menunjukkan status sosial mereka.
Algoritma TikTok dirancang untuk menampilkan konten yang relevan dengan minat pengguna. Hal ini mendorong individu untuk terus membeli produk yang dipromosikan di platform secara terus menerus tanpa memikirkan dampak jangka panjangnya demi merasa tidak ketinggalan dengan seseorang yang mereka idolakan. Perilaku ini menyebabkan tekanan ekonomi yang signifikan sekaligus memperbesar masalah lingkungan seperti peningkatan limbah elektronik akibat barang-barang yang cepat usang yang kini menjadi masalah lingkungan yang semakin meningkat dalam skala global.
Dampak Sosial, Ekonomi dan Kesehatan Mental
FOMO tidak hanya memengaruhi individu secara personal, tetapi juga memiliki dampak sosial yang signifikan. Mereka yang tidak mampu mengikuti tren atau membeli barang yang sedang populer sering kali merasa tertinggal, terpinggirkan, dan kurang dihargai. Hal ini menciptakan ketimpangan sosial yang semakin nyata. Dalam konteks ekonomi, perilaku konsumtif yang berlebihan dapat menyebabkan tekanan finansial bagi individu, terutama bagi mereka yang mudah terpengaruh untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak diperlukan.
Dampak kesehatan mental dari FOMO juga tidak bisa diremehkan. Paparan konten yang tidak realistis di media sosial, termasuk TikTok, dapat meningkatkan kecemasan dan depresi. Perasaan terus-menerus harus "mengejar" tren menciptakan tekanan psikologis yang berdampak buruk pada kesejahteraan generasi muda. Dalam jangka panjang, fenomena ini dapat menyebabkan burnout, kehilangan kepercayaan diri, dan gangguan hubungan sosial.
Â