Waktu belajar di madrasah, siswa tidak pernah bertanya kepada guru yang biasa mengajar di kelas.sang guru berusaha menjawab pertanyaan dari siswanya. Tiba-tiba matanya guru berkaca-kaca. Ia sadar, bahwa penjelasannya kurang memuaskan siswanya. Guru mengakui tak mampu memberi pemahaman lebih baik dari itu.
Di kemudian harinya, dengan penuh kasih guru menggandeng tangan seorang siswanya menghadap kepala madrasah yang dipandang lebih senior dan lebih mumpuni. Sang kepala sekolah pun juga tidak bisa menjawab secara memuaskan kepada siswanya. Seorang giuru dan kepala sekolah pun berminta maaf karena tidak bisa memuaskan jawaban dari pertanyaan siswanya.
Siswa pun melanjutkan belajar dari satu pesantren ke pesantren yang lain untuk mencari jawabannya. Pertanyaan siswa pun sedikit demi sedikit kian terjawab. Makin lama makin luas dan dalam. Sepulang dari pesantren dan siswa pun pulang ke kampung, dan dua guru madrasah itu mendatangi siswanya. Mereka masih ingat pertanyaan  yang diajukan oleh siswanya bertahun-tahun silam itu. Kini giliran mereka meminta penjelasan dari siswanya. Betapa pendidikan itu perlu bertanggung jawab pernuh terhadap perkembangan anak didik.
Di sisi lain -- mafhum mukhalafah-nya -- betapa kecintaan pengajar terhadap peserta didik kini mulai pudar. Kini---lanjutanya---guru kebanyakan mulai berorientasi materi. Baik materi dalam arti transfer informasi dan pengetahuan sesuai kurikulum bagi muridnya maupun materi dalam arti transfer gaji dan tunjangan bagi dirinya. Dalam konteks pertama, proses pendidikan bergeser jadi sekedar pengajaran. Dalam konteks kedua,guru yang seharusnya mesti "digugu" dan "ditiru" menjadi sekedar profesi yang berbasis sertifikasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H