Mohon tunggu...
Deka Amalia
Deka Amalia Mohon Tunggu... Writer & Writing Trainer -

Telah menjadi dosen selama lebih dari 20 tahun. Ketua komunitas Women Script Community dan mendirikan Writing Training Center. Founder Writerpreneur Club. Dapat dihubungi di fb Deka Amalia Ridwan dan instragram : ig deka66

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tentang Suci, Cinta yang Tak Pernah Putus...

21 Februari 2016   15:25 Diperbarui: 21 Februari 2016   16:54 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Salah satu karya Suci yang jadi ilustasi sebuah buku"][/caption]Kuantarkan Kau ke Gerbang...

Memandangi gadisku kini, seringkali mataku berkaca bahagia dan bangga. Rasa syukur atas segala karunia yang telah Tuhan berikan pada kami. Betapa kehadirannya telah memberikan begitu banyak arti akan hidup yang sesungguhnya. Ia hadir memberikan banyak pembelajaran akan kehidupan ini. Mengikat cinta kasih antara kami sekeluarga lebih dalam. Membuat kami mengerti akan kebesaran dan kasih sayang Tuhan pada umatnya. Aku yakin seandainya semua memahami akan maksud dari setiap pemberian Tuhan maka tak akan ada orang tua yang menyesal jika dikarunia anak yang menyandang disabilitas.

Semua itu tentu juga tidak serta merta aku pahami, dalam perjalanan membesarkan gadis sulung kami. Namun, semakin hari semakin aku menyadari jika ia adalah karunia terbesar dalam hidup kami. Bagi aku terutama, sebagai seorang ibu yang melahirkannya. Ia membuat aku kuat, membuat aku mampu menghadapi segala apapun dengan kebesaran hati. Segala pencapaiannya, cita-citanya, semangatnya, mimpinya, kerja kerasnya, prestasinya, semua...semua membuat kami merasa bangga. Meski perjalanan masih panjang untuknya, namun aku yakin ia mampu meraih semua mimpinya.

Teringat saat ia hadir di tengah-tengah kami. Ia bayi yang kami tunggu selama hampir 4 tahun lebih. Setelah dengan segala doa dan usaha, akhirnya kami dikarunia seorang bayi perempuan yang cantik. Selama kehamilan yang aku jaga sedemikian rupa, aku yakin akan memiliki seorang bayi yang sempurna. Namun Tuhan berkehendak lain, saat bayi kami berusia 8 bulan. Aku curiga ada sesuatu yang berbeda dengannya, karena ia terlalu anteng, tidak terpengaruh oleh berbagai suara. Betul saja, setelah melakukan serangkaian pemeriksaan, akhirnya kami mendengar hasilnya jika ia tuna rungu.

Sejenak aku tenggelam dalam tangis, bingung menghadapi sesuatu yang tidak terduga terjadi dalam hidup kami. Bingung apa yang harus kami lakukan. Hingga suatu malam, saat memandangi wajahnya yang polos, cantik, tersenyum dalam lelap tidurnya. Batinku tersentak, mengapa aku harus menangis jika bayiku tersenyum. Maka sejak itu aku berjanji, tak akan ada lagi air mata, aku akan membuat hidupnya selalu dihiasi senyuman. Aku akan membesarkannya dan membuatnya mandiri. Kupeluk bayiku, dalam senyap malam. Aku terpenjam dan berdoa. Ya Tuhan, ia karunia yang engkau berikan maka aku akan mencintainya tanpa batas. Mendampinya, menjaganya dan memberikan yang terbaik untuknya. Sejak itu hatiku tenang, hatiku merasa damai dalam keikhlasan akan pemberian Tuhan. Tak lagi aku mencari penyebab, tak perlu itu. Ia hadir sebagai buah cinta kasih kami. Ia hadir sebagai karunia yang luar biasa pada kami.

Akhirnya aku mencari segala informasi tentang tuna runggu. Dari berbagai sumber. Apa yang harus aku lakukan untuk bisa memberikan yang terbaik untuk bayi kami. Aku ingin bisa mengatasi dengan tepat sehingga ia bisa memperoleh yang terbaik. Dokter anak kami menyarankan untuk mulai sesi terapi bicara. Kami mendatangi akademi terapi bicara, meski lokasinya cukup jauh dari tempat tinggal kami tetapi tak mengahalangi langkahku untuk secara rutin membawanya kesana. Hingga kemudian memasukannya ke sekolah Santi Rama saat usianya masih batita.

Aku tak menyangka waktu terapi yang dijalani anakku tidak instan, butuh waktu bertahun, butuh kesabaran yang luar biasa untuk memperolah hasil nyata. Bayangkan sejak usia satu tahun hingga usia batita ia belum bisa bicara. Belum ada satu kata bermakna yang keluar dari bibirnya. Sampai aku bermimpi ia memanggil aku, mami...mami....sebab hanya guman yang tak jelas yang keluar dari bibirnya. Badannya yang bongsor tentu kadang menarik perhatian banyak orang jika kami berada di tempat umum. Namun pandangan heran mereka saat itu yang melihat putri kami tidak bisa bicara hanya aku balas dnegan senyuman. Pernah ada seorang ibu mendekati kami dan bertanya, kenapa anaknya, tidak bisa bicara ya? Kasian, sekolah nggak? Aku hanya tersenyum, iya bu anak saya tuna rungu, masih belajar bicara dan tentu saja ia sekolah. Ibu itu tetap melihat aku dengan pandangan kasian, hinggga aku berkata, kami tidak apa-apa, tidak perlu kasian pada kami.

Apa itu menghalangi langkahku? Tidak. Aku membawanya kemana saja. Bagiku itu penting. Ia harus terbiasa berada di tempat umum, bertemu banyak orang hingga itu tentu yang akan sedikit demi sedikit memupuk rasa percaya dirinya. Aku ingin ia merasa tidak berbeda, aku tak ingin sedikit pun keterbatasan dirinya menghalangi langkahnya kelak. Kubiarkan ia bicara dengan siapa saja, karena ternyata dasarnya putriku ini senang bicara. Dan aku adalah penerjemahnya karena aku memahami apa yang ingin disampaikannya. Terutama jika ia ingin sesuatu, entah makanan atau mainan, ia akan berteriak tidak jelas sambil menunjuk benda yang diinginkannya. Dan aku akan menghampirinya, mau ini sayang? Ini bagus ya? Ia melompat kegirangan. Aku selalu mengakhirinya dengan pelukan hangat.

Kesabaran akan membawa buah. Itu pasti ternyata. Hingga akhinya sesi terapi yang tak terhitung lagi sudah kami jalani itu mulai sedikit demi sedikit memberikan hasil yang luar biasa. Saat pertama kali satu kata bermakna keluar dari bibirnya. Aku menangis penuh keharuan. Mi...bola...bola...mi....Ya Tuhan, aku menguncang tubuhnya yang keheranan. Bilang lagi sayang, bilang lagi, mami mau dengar....bola ya...bola....dan ia terus berkata, bola...bola...bola....Aku berteriak kegirangan, anakku bisa bicara...bisa bicara....

Sejak itu, kata demi kata semakin banyak lahir dari bibir mungilnya. Dan, kemudian mulai terangkai dalam satu kalimat yang jelas. Aku mau makan, mau minum susu dan sebagainya. Tak ada yang mustahil bagi yang mau berusaha, maka sejak itu aku yakin, banyak pintu akan terbuka untuk anakku. Meski tentu tidak mudah, tetapi aku yakin pasti akan ada jalan lebar baginya. Ia semakin cerewet dan mulai banyak bertanya tentang berbagai nama benda, aku menulisnya dalam kertas-kertas kecil. Atau, menuliskan nama-nama di bawah gambar. Misalnya gambar piring, lalu aku tulis kata piring di bawahnya. Hingga kosa katanya terus bertambah. Seiring dengan itu, ia mulai bisa membaca dan menulis dengan lancar. Berhitung ternyata pelajaran yang paling dia sukai.

Saat lulus TKLB Santi Rama. Pihak sekolah merekomendasikan anakku ke sekolah umum. Menurut mereka anakku mampu jika mau. Ia cerdas, daya tangkapnya bagus, percaya dirinya tinggi dan bicaranya semakin baik. Maka, aku mencari sekolah yang cocok untuknya. Akhirnya aku menemukan sebuah Sekolah Dasar Islam yang mau menerimanya. Meski dengan syarat jika tidak bisa mengikuti bersedia pindah. Aku sampaikan pada mereka, perlakukan anakku sama saja. ia tidak butuh diistimewakan, ia hanya butuh diterima dengan tulus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun