Mohon tunggu...
Ega Okta Syafan Prayoga
Ega Okta Syafan Prayoga Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Belajar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Revolusi Peer Review: Mengapa Sistem Berbasis Token adalah Jawabannya

8 September 2024   14:25 Diperbarui: 8 September 2024   14:28 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi reviewer (Sumber : Freepik.com)

Revolusi Peer Review: Mengapa Sistem Berbasis Token Adalah Jawabannya


Proses peer review di akademi, terutama dalam bidang sistem informasi, telah menjadi pusat perdebatan dalam beberapa tahun terakhir. Tantangan utama yang dihadapi adalah meningkatnya jumlah makalah yang diajukan dan kekurangan reviewer yang bersedia dan mampu menilai makalah-makalah ini secara tepat waktu. Data dari artikel "Token‐based reviewer economies: Proposed institutions for managing the reviewer shortage problem" oleh Cecil Eng Huang Chua (2024) menunjukkan bahwa perbandingan undangan review terhadap penerimaan berkisar antara 5:1 hingga 8:1 (Ghazoul, 2011; Hazen et al., 2016; Parrish, 2022). Lebih lanjut, penulis menggarisbawahi bahwa sistem review saat ini, yang didasarkan pada ekonomi hadiah (gift economy), tidak lagi memadai untuk menangani skala dan kompleksitas akademi saat ini. Dalam artikel tersebut, Chua mengusulkan dua solusi berbasis token yang bertujuan untuk memperbaiki masalah ini: (1) sistem pasar token di mana token digunakan sebagai mata uang untuk membayar reviewer, dan (2) ekonomi hadiah berbasis token di mana token mewakili nilai sosial dan sejarah.

Pendekatan berbasis token ini bukan tanpa kritik. Sebagian besar kekhawatiran muncul dari ketidakpastian apakah pasar token dapat berfungsi secara efektif di lingkungan akademik yang sudah mapan dan apakah sistem ini benar-benar dapat mengatasi masalah mendasar dari kekurangan reviewer. Chua berpendapat bahwa sistem ini akan memerlukan regulasi manusia yang ketat dan akan membutuhkan waktu untuk menjadi mandiri secara finansial. Namun, usulan ini juga memberikan kesempatan untuk merombak struktur insentif yang ada, yang mungkin dapat memacu lebih banyak partisipasi dari para akademisi dalam proses peer review. Dalam konteks ini, artikel Chua menawarkan perspektif baru yang berani tentang bagaimana proses review akademik dapat dirombak dan disesuaikan dengan kebutuhan zaman, namun juga menimbulkan pertanyaan penting tentang keberlanjutan, keadilan, dan efektivitas sistem yang diusulkan. Hal ini menimbulkan diskusi lebih lanjut tentang peran akademisi dan institusi dalam menciptakan lingkungan akademik yang lebih efisien dan adil.

***

Salah satu masalah mendasar yang diidentifikasi Chua dalam artikel ini adalah kurangnya skala dan keberlanjutan sistem peer review yang saat ini bergantung pada prinsip ekonomi hadiah. Pada dasarnya, sistem ini bekerja dengan asumsi bahwa reviewer akan secara sukarela memberikan waktu dan usaha mereka sebagai bentuk kontribusi terhadap komunitas akademik, tanpa imbalan finansial yang jelas. Namun, dengan semakin banyaknya makalah yang diajukan setiap tahun, beban kerja yang dikenakan pada reviewer menjadi semakin tidak seimbang. Data dari artikel ini menunjukkan bahwa dengan tingkat penerimaan jurnal yang rendah, seperti di bawah 12%, seorang penulis dengan tiga co-author harus melakukan sekitar 13,1 review untuk "membayar kembali" penerimaan satu makalah (Chua, 2024). Ini berarti bahwa seorang akademisi harus mengalokasikan lebih dari satu kali review setiap bulan untuk mempertahankan sistem ini, sebuah tuntutan yang jelas tidak realistis.

Seagai alternatif, Chua mengusulkan sistem pasar berbasis token. Dalam model ini, token akan digunakan sebagai alat tukar yang memungkinkan reviewer mendapatkan imbalan atas layanan mereka. Token ini bisa diperdagangkan di pasar terbuka, atau digunakan untuk "membeli" review lain, menciptakan ekonomi berbasis pasar yang diharapkan dapat menstimulasi partisipasi yang lebih besar dari reviewer. Data dari berbagai studi menunjukkan bahwa insentif keuangan dapat meningkatkan kualitas dan kecepatan review. Misalnya, penelitian oleh Chetty et al. (2014) menunjukkan bahwa reviewer yang dibayar memberikan review yang lebih panjang dan lebih cepat dibandingkan dengan yang tidak dibayar. Selain itu, insentif ini lebih berpengaruh pada akademisi junior dibandingkan senior, yang menunjukkan bahwa pasar token mungkin lebih efektif dalam merekrut reviewer dari kelompok akademisi muda yang lebih membutuhkan insentif ekonomi.

Sementara itu, proposal kedua berbasis ekonomi hadiah token, mengusulkan model yang mempertahankan aspek sosial dari ekonomi hadiah sambil memperkenalkan nilai token sebagai simbol status dan keterlibatan. Token ini akan memiliki sejarah dan dapat diberikan dari satu reviewer ke reviewer lain, menciptakan jaringan "lingkaran review" yang memberikan status sosial kepada para partisipan aktif. Konsep ini didasarkan pada studi antropologi tentang ekonomi hadiah, seperti yang dilakukan oleh Mauss (1954) dan Strathern (1988), di mana partisipasi dalam pertukaran sosial membawa nilai sosial yang tinggi dan memotivasi keterlibatan.

Namun, implementasi kedua sistem ini menghadapi tantangan. Misalnya, dalam model pasar token, ada risiko ketidakstabilan pasar seperti yang terjadi di pasar finansial tradisional. Sejarah panjang pasar seperti Bursa Efek New York, yang berdiri sejak 1817, menunjukkan bahwa bahkan dengan regulasi yang ketat, pasar tetap rentan terhadap kegagalan dan memerlukan intervensi pemerintah secara berkala (Chua, 2024). Untuk itu, Chua menyarankan bahwa pasar token ini harus diawasi oleh "review bank" yang berperan mengatur dan menstabilkan pasar, mengeluarkan dan membeli kembali token untuk mengendalikan inflasi dan memastikan likuiditas pasar tetap terjaga.

***

Proses peer review yang efisien dan adil sangat penting bagi keberlanjutan dan integritas akademik. Usulan Chua tentang penerapan ekonomi berbasis token menawarkan solusi inovatif yang dapat mengatasi masalah kekurangan reviewer yang telah lama menghambat produktivitas akademik. Meskipun ada tantangan terkait penerapan di lapangan, seperti risiko ketidakstabilan pasar dan penerimaan oleh komunitas akademik, pendekatan ini memberikan kerangka baru untuk memahami dan mengelola proses review secara lebih adil dan efektif.

Jika dilaksanakan dengan hati-hati dan diawasi dengan baik, sistem berbasis token dapat membuka peluang bagi reformasi yang lebih besar di dunia akademik, termasuk peningkatan partisipasi reviewer dan pengelolaan sumber daya manusia yang lebih baik. Dengan demikian, solusi ini tidak hanya menjanjikan perbaikan signifikan dalam proses peer review, tetapi juga mendorong terciptanya lingkungan akademik yang lebih adaptif dan responsif terhadap tantangan zaman.

Referensi 

Chua, C. E. H. (2024). Token‐based reviewer economies: Proposed institutions for managing the reviewer shortage problem. Information Systems Journal. https://doi.org/10.1111/isj.12560

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun